RABI’AH Al-‘ADAWIYYAH SANG PENGGAGAS CINTA
Rabi`ah sering jadi rujukan lewat konsepsi mahabbah-nya, sebagai masa transisi dari konsepsi sebelumnya (khawf, takut dan rajaa’, harapan). Prosesnya via purgativa (penyucian hati) ke via kontemplativa (perenungan dengan berzikir) lantas via illuminativa (tersingkapnya tabir penyekat alam ghaib), sebagai tempat dia diberkahi cinta dan kearifan, yang akan diakhiri dengan union mystica. Terlalu tingginya kecintaan Rabi`ah terhadap Allah mengesankan ada pengabaian atas janji, surga dan ancaman neraka, sebagai motivasi pengabdi. Cinta tanpa pamrih ini, tak pelak menimbulkan revolusi rohaniyah pada masa sesudahnya. Dan masih jarang tulisan yang mencoba untuk mengkritisi dengan penalaran yang jernih untuk kembali ke mahabbah `aqliyyah dari `athifiyyah
Konsekuensi logis setelah ikrar syahadat oleh seseorang, akan menimbulkan kewajiban. Konsepsi kewajiban ini, lantas membawa paham balasan. Artinya, bila seorang mukmin menjalankan kewajiban dan patuh, niscaya akan mendapat balasan dari Allah dan sebaliknya.[1] Berkaitan dengan kewajiban ini, ada hadits Nabi Muhammad SAW. tentang 3 (tiga) pokok ajaran agama Islam yang terpadu (terintegrasi), yaitu iman, Islam, dan ihsan.
Untuk kesinambungan pengamalan Islam dan ihsan, seorang mukmin selalu dituntut untuk menjaga iman dan meningkatkan kualitas ketaqwaannya terhadap Allah. Dalam liku-liku menuju Allah, ada beberapa jalan yang wajib dilalui, sesuai dengan pendidikan agama yang dialaminya, latar belakang sosial budayanya dan kemampuan daya tangkap akalnya serta pilihan kepentingan pribadi dan kemantapan hatinya. Dan jika orang-orang yang mendekati agama Islam itu diamati, maka dengan sederhana bisa dikualifikasikan pada 3 (tiga) cara. Pertama, secara naqli (tradisional), kedua melalui aqli (rasional) dan ketiga dengan kasyfi (mistis). Ketiga pendekatan ini bisa ada pada seseorang, tapi pasti ada titik tekannya yang lebih. Kadang ada pendekatan yang menonjol, lantas surut dan digantikan oleh pendekatan lainnya.[2] Dengan kasyfi, satu di antaranya melalui penjauhan diri dari kemewahan hidup materiil dan pemilihan hidup sederhana. Secara spesifik A. Rivay Siregar menerangkan tentang keragaman aliran tasawuf, yang berawal dari perbedaan dasar pengklasifikasiannya, yaitu: 1) Perbedaan objek dan sasaran tasawuf. 2) Perbedaan kedekatan atau jarak antara manusia dengan Tuhan, dan 3) Perbedaan geografis, dengan melihat daerah munculnya tasawuf.[3]
Muhammad Mahdi al-Ashifi menuturkan, bahwa Ja`far Shadiq (w. 765 H) membagi pengabdi kepada Allah. Pertama, yang menyembah Allah karena takut, sebagai ibadahnya hamba sahaya, kedua, untuk mengharapkan imbalan, seperti pedagang, ketiga, disebabkan rasa cinta. Terakhir itu yang merdeka dan utama.[4] Oleh karena itu, upaya pencarian ridha Allah dan penyembahan kepada-Nya (tunduk dan patuh) karena didasari rasa cinta (mahabbah/hubb), sebagai ibadah tingkat tertinggi.
Pembahasan tentang cinta kepada Allah pasti cenderung mengaitkan Rabi`ah al-`Adawiyyah, seorang perempuan suci abad II H/VIII M. Dia yang pertama membuat bahasa cinta menjadi pokok kosakata rohani Islam[5] dan bersaham besar dalam memperkenalkan cinta Allah dalam mistisisme Islam[6] serta mengajarkan al-hubb dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf.[7] Margaret Smith menilai Rabi`ah sebagai pelopor doktrin ini dan mengkombinasikan dengan kasyf, terbukanya hijab pada akhir tujuan, Sang Kekasih, oleh pecintanya[8] dan Annemarie Schimmel menyatakan wanita yang penyendiri dalam keterasingan suci, … diterima oleh para lelaki sebagai Mariam tanpa noda yang kedua … dan memberikan warna mistik sejati.[9]
Tulisan ini ingin berusaha membuat deskripsi analisis, tentang gagasan cinta yang dilontarkan Rabi`ah, dengan penggunaan metode sosio-historis, sebagai suatu metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan, ajaran atau kejadian dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan di mana kepercayaan, ajaran dan kejadian itu muncul.[10] Di samping itu, pada keterangan tertentu, hendak digunakan pendekatan sejarah, sebagai upaya penelusuran asal-usul dan pertumbuhan pemikiran serta lembaga keagamaan, melalui periode perkembangan sejarah tertentu … karena tulisan ini berusaha mendekati masa lampau.[11]
Riwayat Hidup dan Selintas Kota Bashrah
Rabi`ah al-`Adawiyyah (selanjutnya disebut Rabi`ah) diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M dan wafat 185 H/801 M.[12] Tentang tahun kelahirannya ada sumber yang menyebutkan berbeda. Menurut Ibrahim Zaki Khursyid dkk., bersamaan dengan Hasan Bashri mengawali halaqah atau majlis ta`limnya.[13]
Nama panjang beliau Ummul Khayr binti Ismail Rabi’al (sic!) al-Adawiyyah al-Basriyyah.[14] Keterangan kehidupannya setelah dimerdekakan sedikit sekali. Ada yang bercorak mitos, sebagai anekdot, dan seperti karya legendaris asli serta berlebihan dan agaknya ada cerita tambahan tentang Rabi`ah, hingga diperlukan kejelian dalam analisisnya.
Beliau dilahirkan di suatu perkampungan di luar Bashrah (Irak). Disebut al-Bashriyyah, sebab mengacu kelahiran dan kelamaan tinggalnya di kota Bashrah, hingga wafatnya. Kedua orang tuanya dari keluarga fakir dan sudah meninggal saat Rabi`ah muda. Tak ada data akurat umur Rabi`ah, saat kedua orang tuanya wafat.
Menjelang dan lahirnya Rabi`ah serta masa kanak-kanaknya, kota Bashrah sedang dalam keadaan kelaparan[15] dan kekacauan, baik dari segi ekonomi maupun sosio-politik. Dikisahkan kota Bashrah telah cukup lama dikuasai oleh pasukan Islam pada masa Khalifah `Umar bin al Khattab (memerintah 634 – 644 M).[16] Sudah lama Bashrah merupakan kota pelabuhan yang ramai dan makmur di Teluk Persia. Karena Bashrah merupakan tempat pertemuan beberapa ras dan suku bangsa. Oleh karena itu, terdapatlah akulturasi dan perbenturan banyak aliran pemikiran dan keyakinan.[17]
Bashrah memang merupakan sebuah kota yang telah beberapa kali terkait dengan peristiwa besar. Sebelum terjadi perang Jamal, 36 H/657 M, `Aisyah, Thalhah bin `Ubaydillah dan Zubayr bin `Awwam telah pergi terlebih dahulu ke al-Kharibat, dekat Bashrah untuk mempersiapkan bala tentaranya.[18] Persaingan dan pertentangan di kota Bashrah semakin diramaikan oleh keberadaan markas orang-orang Khawarij, di Batha`ih, dekat Bashrah. Masa awal Khawarij dikenal sebagai pemberontak dan pengacau, termasuk di daerah Bashrah. Bashrah juga pernah didatangi oleh `Abdullah bin Saba’ yang memprogandakan konsepsi `al-washiyah` dari Nabi Muhammad SAW. kepada `Ali bin Abu Thalib, sampai ada issue, bahwa pada diri `Ali bin Abu Thalib ada unsur ketuhanan dan sekaligus Tuhan bersatu dengan atau pada diri `Ali bin Abu Thalib dengan jasmaninya.[19]
Saat Walid bin `Abdul Malik menjabat Khalifah VI (86–96 H/705–715 M) pada Daulah Bani Umayyah, dia mengangkat Hujjaj bin Yusuf menjadi Amir (prince) untuk wilayah belahan timur yang berkedudukan di Bashrah. Dan waktu Zahir bin Shasha, gubernur wilayah Sind membebaskan diri dari kekuasaan pusat, Damaskus, maka hal ini menyebabkan kapal dagang dari Cina dan Asia Tenggara sering dicegat dan dirompak, dalam perjalanan menuju Teluk Persia, pintu masuk pelabuhan Bashrah dan Laut Merah Selatan (Aden). Hal ini semakin membuat bencana dan malapetaka bagi kemakmuran dan perdagangan kota Bashrah.
Sulayman bin `Abdul Malik, Khalifah VII (96–99 H/715–17 M) membebaskan seluruh tahanan politik yang sebelumnya ditahan oleh Hujjaj bin Yusuf. Khawarij dan Syi`ah memperoleh kebebasan kembali dan keleluasaan sepak terjang untuk selalu bergerak di bawah tanah. Puncaknya pada pergantian musim panas tahun 717 M ke musim gugur, Khalifah Sulayman bin `Abdul Malik wafat dan diganti `Umar bin `Abdul `Aziz (99– 101 H/717–720 M), Khalifah VIII, yang terkenal dengan program kebijaksanaan al-Tarbi’, pengakuan terhadap 4 (empat) khalifah Rasyidin dan penghentian kutukan dan celaan atau caci maki terhadap `Ali bin Abu Thalib saat khutbah Jum`ah.[20] Hanya `Umar bin `Aziz-lah, Khalifah VIII, yang dikenal shaleh pada Daulah Bani Umayyah. Dia memperbaiki hubungan pemerintah dengan golongan oposisi. Pertimbangannya memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam, lebih baik daripada menambah perluasan wilayah.[21] Kelonggaran ini menimbulkan ekses yang dimanfaatkan oleh keluarga Bani Hasyim, yang didukung oleh para mawali. Di Kufah, dipimpin oleh Muhammad bin `Ali bin `Abdullah bin `Abbas menyusun gerakan rahasia dan di Khurasan oleh Abu Muslim al-Khurasani.[22] Pada tahun-tahun itulah diperkirakan Rabi`ah lahir, atau masa kecilnya.
Kembali ke Rabi`ah. Di kota Bashrah sudah mulai ada halaqah, pengajian yang dirintis oleh Hasan Bashri.[23] Tak ditemukan data akurat, Rabi`ah pernah mengikuti halaqah tersebut dan berguru kepada seorang syaikh atau seorang guru. Namun menurut A. J. Arberry, dia murid tokoh zahid, yaitu Abu Sulayman ad Darani.[24] Boleh jadi, waktunya habis untuk mencari nafkah dengan menyeberangkan orang, atau kalau tidak, ‘uzlah sendirian di mushalla. Sebab meski orang tua Rabi`ah fakir, pendidikan agama pada keluarga itu sangat dipentingkan. Rabi`ah telah terbiasa terdidik dengan akhlak mulia. Sejak kecil Rabi`ah selalu ikut kegiatan ibadah orang tuanya, baik itu ibadah mahdlah atau hanya sekedar membaca al-Qur’an dan berzikir.
Sesudah wafatnya `Umar bin `Abdul `Aziz, kota Bashrah mengalami kesulitan dan bencana alam, hingga mengakibatkan kelaparan sebagian besar penduduk Bashrah. Ini diperparah oleh pencurian dan perampokan.[25] Bashrah memang sering tidak aman. Lebih-lebih menjelang keruntuhan Daulah Bani Umayyah. Banyak kekacauan dan bencana yang disulut orang-orang Syi`ah, Khawarij dan anak keturunan `Abbas, paman Nabi. Pada perempat pertama adad II H, Daulah Bani Umayyah kehabisan akal untuk mengatasi kekacauan. Keadaan tersebut makin diperparah, ketika Bashrah dilanda kemarau panjang selama setahun dan berkembang menjadi bencana kelaparan yang amat hebat. Akibat lebih buruknya bagi Rabi`ah yang miskin, terpisah dengan saudara-saudaranya.[26]
Ada beberapa versi tentang keadaan setelah orang tua Rabi`ah meninggal dunia. Di antaranya, menurut Muhammad Atiyah Khamis, dia jatuh ke tangan perampok karena dihadang segerombolan penyamun, kemudian dijual dengan harga yang sangat murah, dengan 6 (enam) dirham, kepada keluarga Atik.
Kebengisan tuannya yang membuat Rabi`ah tidak bebas, menambah beban tenaga kala siang. Tapi dia tetap tegar dan kuat berpuasa. Malamnya banyak dihabiskan untuk berzikir dan berdoa kepada Allah, usai shalat malam. Hingga secara kebetulan tuannya itu melihat Rabi`ah sedang sujud dan berdoa. Tuannya melihat ada sinar di atas kepala Rabi`ah dan menerangi kamarnya. Dia ketakutan dan tidak bisa tidur sampai pagi. Esoknya, dia membebaskan Rabi`ah.
Ke manakah Rabi`ah pergi? Tak ada sumber yang akurat dapat membantu untuk mengungkapkan kejadian tersebut. Menurut Abdul Mun`im Qandil, setelah berkali-kali shalat istikharah dan minta fatwa ulama, Rabi`ah menyanyi dengan iringan seruling pada majlis zikir dan malamnya dihabiskan untuk berzikir, bertasbih dan membaca al-Qur’an serta shalat tahajjud.[27] Tak ada keterangan sampai kapan dia menyanyi. Itupun masih diperselisihkan. Rabi`ah tidak pernah kawin, sungguh pun setidaknya ada 2 (dua) orang yang sudah pernah melamarnya untuk berumah tangga.[28]
Suatu saat Rabi`ah sakit dan disarankan berdoa agar Allah menyembuhkan. Rabi`ah menjawab, jika Allah bermaksud mengujiku dengan penyakit ini, mengapa aku harus berpura-pura tidak tahu atas kehendak-Nya? Jadi, jangankan berobat, berdoa untuk kesembuhan saja dia tidak mau. Di hari lain seorang lelaki mendatangi Rabi`ah dan mengadukan perbuatan buruknya. Dia banyak berbuat dosa dan maksiat. Kalau saya bertaubat, apakah Allah akan menerima taubatku? Rabi`ah menjawab, “Tidak, tetapi jika Allah berkenan memberi taubat, maka Allah akan menerima taubatnya”.[29] Menurut Margaret Smith kecuali Allah menakdirkan dia bertaubat dan menerimanya. Sebab taubat itu anugerah Allah. Jika Allah menerima taubatmu, maka engkau akan bertaubat kepada-Nya. Al-Qusyairi, menambahkan ”Tidak! Bahkan seandainya Dia menerimamu, pasti saya bertaubat”.[30] Jadi, taubat hakiki adalah suatu karunia dan taufik dari Allah. Dan taubat itu pemberian Allah, bukannya usaha orang yang berdoa.
Beberapa Batasan tentang al-Mahabbah (al-Hubb)
Ini dimaksudkan untuk mendapat gambaran umum al-mahabbah (al-hubb), lantas jadi kacamata guna melihat kadar kecintaan yang digagas Rabi`ah. Secara bahasa al-mahabbah diartikan mayl al-thab` ilaa al-syay’ al-laadzdz[31] atau suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang melezatkan/ mengenakkan. Menurut al-Qusyayri al-mahabbah/al-hubb diambil dari kata habab (gelembung air) yang selalu di atas air, karena cinta merupakan puncak segalanya dalam hati. Juga merupakan sesuatu yang melambung di atas air ketika hujan turun. Di atas cinta ini hati terasa mendidih dan semakin meluap saat haus serta berkobar kerinduannya untuk bertemu kekasihnya. Di samping itu, al-hubb diambil dari al-habb, sebagai bentuk jamak kata al-habbah (biji). Sedang biji hati, sebagai sesuatu yang berada dan menetap dalam hati, sehingga al-habb (biji-bijian) dinamakan al-hubb (cinta), karena yang dimaksud adalah tempatnya.31
Menurut al-Hujwiri al-mahabbah/al-hubb terambil dari kata al-hibbah, merupakan benih-benih yang jatuh ke bumi di padang pasir. Kata ini ditujukan kepada benih-benih di padang pasir tersebut (al-hibb), karena cinta itu sebagai sumber kehidupan sebagaimana benih-benih itu merupakan asal mula tanaman. Tokoh lain menyatakan, al-mahabbah itu diambil dari al-hubb, yang berarti sebuah tempayan penuh dengan air tenang, karena jika cinta itu berpadu di dan memenuhi hati, maka tak ada ruang bagi pikiran tentang selain yang dicintai. Kata asy-Syibli cinta itu dinamakan al-mahabbah, karena ia menghapus dari hati, segala sesuatu kecuali yang dicintainya. Kata tokoh lain, al-mahabbah diturunkan dari al-habb, jamak al-habbah, dan al-habbah itu relung hati di mana cinta bersemayam. Sumber lain menuturkan, kata itu diturunkan dari al-habab, yaitu gelembung-gelembung air dan luapan-luapannya waktu hujan lebat, karena cinta itu luapan hati yang merindukan persatuan dengan kekasih. Ini sebagaimana badan bisa hidup, karena ada ruh, begitu pula hati dapat hidup karena ada cinta, dan cinta bisa hidup, karena melihat dan bersatu dengan kekasih.[32]
Menurut al-Junaid, dikutip oleh al-Kalabadzi, cinta itu kecenderungan hati. Artinya, hati cenderung kepada Tuhan dan apa yang berhubungan dengan-Nya tanpa dipaksa. Tokoh lain menambahkan, cinta itu penyesuaian, yaitu kepatuhan atas apa yang diperintahkan oleh Tuhan, menjauhkan apa yang dilarang oleh-Nya dan puas dengan apa yang ditetapkan dan diatur oleh-Nya. Sedang kata Ibn Abd al-Shamad, juga dikutip oleh al-Kalabadzi, cinta itu mendatangkan kebutaan dan ketulian; cinta membutakan segalanya, kecuali terhadap Yang Dicintai, sehingga orang itu tidak melihat apapun kecuali Dia.[33]
Menurut ulama salaf, sebagaimana yang dikutip oleh al-Qusyayri, kecintaan seseorang kepada Allah itu suatu kondisi yang dirasakan hatinya, yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Sedang menurut al-Qurasyi, hakikat cinta itu jika kamu memberi, maka kamu memberikan semua yang kamu miliki kepada orang yang kamu cintai, tanpa tersisa sedikit pun. Bagi al-Muhasibi cinta itu sebagai rasa kecenderunganmu kepada sesuatu secara keseluruhan, kemudian kamu lebih mementingkan cinta itu daripada dirimu, jiwamu atau hartamu, kemudian kesetiaanmu padanya, baik ketika berada di tempat sunyi atau di tempat terbuka, kemudian dia memberitahukan kepadamu tentang keteledoran cintamu.[34]
Margaret Smith mengatakan, al-Qusyayri mendefinisikan cinta sebagai kecenderungan hati yang telah diracuni cinta, … kehamonisan dengan Sang Kekasih, penghapusan semua kualitas pecinta, penegakan esensi Sang Kekasih (Allah), dan akhirnya terjalinlah hati sang pecinta itu dengan kehendak Ilahi. Sedang bagi al-Junayd, cinta itu sebagai peleburan di dalam keagungan Sang Kekasih dalam wahana kekuatan sang pecinta. Kata Abu `Abdullah, cinta itu berarti memberikan semua yang engkau miliki kepada Allah yang sangat engkau cintai, sehingga tidak ada lagi sisa dalam dirimu. Sedang kata asy-Syibli hal itu disebut cinta, sebab ia menghapuskan semua kecuali Sang Kekasih dan cinta adalah api yang akan melalap semua kecuali Kehendak Ilahi.[35]
Dalam pada itu, menurut Harun Nasution:
Al-Mahabbah adalah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain, yang berikut: 1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan padaNya. 2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi. 3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi”.[36]
Menurut Asmaran AS dalam Pengantar Studi Tasawuf:
Sesungguhnya mahabbah itu bersumber dari iman. Karena itu, dari imanlah orang dapat mencintai Allah sebagai cinta tingkat pertama, kemudian baru cintanya kepada sesuatu yang lain. Dengan demikian, berarti orang yang mencintai Allah, tidak akan mengorbankan hukum Allah karena kepentingan pribadinya. Dan sebagai konsekuensi dari cintanya kepada Allah, ia juga mencintai rasul-Nya, dan juga harus mencintai seluruh makhluk-Nya.[37]
Dia, yang mengutip Abu Nashr al-Tusi, dalam Al-Luma` melanjutkan dengan membagi al-mahabbah menjadi 3 (tiga) tingkatan
1. Cinta orang banyak (biasa, pen.), yakni mereka yang sudah kenal pada Tuhan dengan zikr, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.
2. Cinta para mutahaqqiqin, yaitu mereka yang sudah kenal pada Tuhan, pada kebesaranNya, pada kekuasaanNya, pada ilmuNya dan lain sebagainya. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dengan Tuhan. Dengan demikian ia dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta yang kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedangkan hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
3. Cinta para siddiqin dan ’arifin, yaitu mereka yang kenal betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai .[38]
Terkait konsepsi al-mahabbah ini, adalah terminologi ridlaa (kepuasan hati), syawq (kerinduan) dan uns (keintiman), sebagai unsurnya. Al-Ridlaa bisa diartikan ketaatan tanpa disertai banyak penyangkalan seorang pecinta terhadap kehendak Yang Dicinta. Juga bisa diartikan ketaatan hati terhadap semua keputusan Allah dan kepasrahan jiwa di dalam menerima ketetapan dan pilihan Allah. Atau keridlaan manusia itu ketetapan hati atau penerimaan secara total terhadap segala keputusan Allah dengan bahagia. Sedang al-Syawq itu kerinduan sang pecinta untuk bertemu dengan Kekasih. Juga dapat dimaknai jiwa yang membara oleh kerinduan kepada Allah. Adapun al-Uns itu suatu keadaan yang dekat sekali melalui kehadiran Allah tanpa ada penghalang. Juga sebagai suatu tanda cinta yang sempurna, di mana seorang hamba itu akan selalu mengingat Allah di dalam hati, kebahagiaan, kesenangan, kerinduan membara dan keintiman mendalam kepada Allah.[39]
Sebagai dasar al-mahabbah, seringkali 2 (dua) ayat al-Qur’an dijadikan landasannya, yaitu Q. S. al-Maidah 54 dan Ali Imran 30. Sedangkan dasar al-Hadits yang berarti: Hambaku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sehingga Aku cinta padanya. Orang yang Ku cinta menjadi telinga, mata dan tangan-Ku.
Cinta Menurut Rabi`Ah
Menurut Margaret Smith, Rabi`ah dinilai orang pertama yang menyatakan doktrin cinta tanpa pamrih kepada Allah. Di dalam sejarah perkembangan tasawuf, hal ini merupakan konsepsi baru di kalangan para sufi kala itu. Untuk mengetahui lebih jauh tentang konsepsi al-mahabbah atau al-hubb menurut Rabi`ah, akan ditelusuri pernyataannya tentang cinta.
Pada suatu waktu Rabi`ah ditanya pendapatnya tentang batasan konsepsi cinta. Rabi`ah menjawab:
Cinta berbicara dengan kerinduan dan perasaan. Mereka yang merasakan cinta saja yang dapat mengenal apa itu cinta. Cinta tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Tak mungkin orang dapat menjelaskan sesuatu yang belum dikenalnya. Atau mengenali sesuatu yang belum pernah digaulinya. Cinta tak mungkin dikenal lewat hawa nafsu terlebih bila tuntutan cinta itu dikesampingkan. Cinta bisa membuat orang jadi bingung, akan menutup untuk menyatakan sesuatu. Cinta mampu menguasai hati.[40]
Pada kesempatan yang lain, ada juga orang yang menanyakan cinta kepada Rabi`ah. Rabi`ah juga menjawab, bahwa: “Cinta muncul dari keazalian (azl) dan menuju keabadian (abad) serta tidak terlingkupi oleh salah satu dari delapan belas ribu alam yang mampu meminum hatta seteguk serbatnya”.[41]
Dalam dialog lain, ada 2 (dua) batasan cinta yang sering dinyatakan Rabi`ah. Pernyataan pertama, sebagai ekspresi cinta hamba kepada Allah, maka cinta itu harus menutup selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta. Dengan kata lain, maka 1, dia harus memalingkan punggungnya dari dunia dan segala daya tariknya. Lanjutnya 2, dia harus memisahkan dirinya sesama makhluk ciptaan Allah, supaya dia tak bisa menarik dari Sang Pencipta. Tambahnya 3, dia harus bangkit dari semua keinginan nafsu duniawi dan tidak memberikan peluang adanya kesenangan dan kesengsaraan. Karena kesenangan dan kesengasaraan dikhawa-tirkan mengganggu perenungan pada Yang Maha Suci. Terlihat sekali, Tuhan dipandang oleh Rabi`ah dengan penuh kecemburuan sebagai titik konsentrasinya, sebab hanya Dia sendirilah yang wajib dicintai hamba-Nya.[42]
Pernyataan kedua, kadar cinta kepada Allah itu harus tidak ada pamrih apapun. Artinya, seseorang tidak dibenarkan mengharapkan balasan dari Allah, baik ganjaran (pahala) maupun pembebasan hukuman, paling tidak pengurangan. Sebab yang dicari seorang hamba itu melaksanakan keinginan Allah dan menyempurnakannya. Karenanya, kecintaan seseorang itu bisa saja diubah agar lebih tinggi tingkatannya, hingga Allah benar-benar dicintai. Lewat kadar kecintaan inilah, menurut Rabi`ah dalam penafsiran Margaret Smith, Allah akan menyatakan diri-Nya sendiri dalam keindahan yang sempurna. Dan melalui jalan cinta inilah, jiwa yang mencintai akhirnya mampu menyatu dengan Yang Dicintai dan di dalam kehendak-Nya itulah akan ditemui kedamaian.[43]
Pada hari yang lain, Rabi`ah menyatakan 2 (dua) macam pembagian cinta, sebagai puncak tasawufnya dan dinilai telah mencapai tingkatan tertinggi dalam tahap cinta. Pembagian cinta tersebut, lariknya adalah:
أحبك حبين حب الـهوى # وحب لأنك أهل لذاكا
وأما الذي هو حب الهوى # فشغلي بذكرك عمن سواكـا
وأما الذي أنت أهل له # فكشفك لي الحجب حتى أراكا
فلا الحمد في ذا أو ذاك لي # ولكن لك الحمـد في ذا وذاكـا
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta
Cinta yang timbul dari kerinduan hatiku dan cinta dari anugrah-Mu
Adapun cinta dari kerinduanku
Menenggelamkan hati berzikir pada-Mu daripada selain Kamu
Adapun cinta yang dari anugrah-Mu
Adalah anugrah-Mu membukakan tabir sehingga aku melihat wajah-Mu
Tidak ada puji untuk ini dan untuk itu bagiku
Akan tetapi dari-Mu segala puji baik untuk ini dan untuk itu”.[44]
Pembagian cinta ini dinilai sebagai pelengkap keteladanan awal suatu peralihan. Sejak saat itu, lambat laun mempengaruhi karakteristik sufisme, yakni pengalihan sufisme dari pola hidup protes terhadap dominasi duniawi (kemewahan hidup ekonomi dan konflik politik?, pen.), kepada suatu teori kemaujudan dan tatanan teosofi. Karena tasawuf itu pada dasarnya ekstrim rohaniyah, maka dalam pembagian cinta, Rabi`ah-lah orang yang merintis untuk membelokkan ajaran Islam ke arah mistik yang ekstrim rohaniyah. Dialah pelopor yang memperkenalkan cita ajaran mistik dalam Islam. Dimaksud, terbukanya tabir penyekat alam ghaib, sehingga sang sufi akan bisa menyaksikan dan mengalami serta berhubungan langsung dengan dunia ghaib dan zat Allah.
Kembali ke banyaknya pernyataan cinta Rabi`ah. Muncul pertanyaan, apakah muncul begitu saja, tanpa suatu proses? Dalam penelusuran Muhammad Atiyah Khamis, Rabi`ah telah memperluas beberapa makna ataupun lingkup cinta Ilahi. Dulu Rabi`ah mencintai Allah sebagaimana lazimnya kebanyakan umat Islam, yaitu didorong karena mengharapkan surga Allah dan sebaliknya takut akan neraka-Nya. Ini ternyata jelas melalui pertanyaan doa Rabi`ah kepada Allah, yaitu … “O, Tuhan, apakah Engkau akan membakar hamba-Mu di dalam neraka, yang hatinya terpaut pada-Mu, dan lidahnya selalu menyebut-Mu, dan hamba yang senantiasa takwa pada-Mu?[45]
Sesudah Rabi`ah menyadari bahwa landasan cinta seperti itu dianggap cinta yang masih sempit, Rabi`ah meningkatkan motivasi dirinya sehingga dia sampai luluh dalam cinta Ilahi. Artinya, dia mencintai Allah karena memang Allah patut untuk dicintai, bukan karena ketakutan terhadap neraka ataupun disebabkan mengharapkan surga-Nya. Ini terlihat, saat Rabi`ah sakit. Waktu jama`ah menjenguk dan menanyakan keadaannya, dia menjawab, aku tak tahu penyebab penyakitku ini. Demi Allah, diperlihatkan padaku surga, lalu aku tertarik untuk memilikinya. Mungkin Tuhan cemburu akan sikapku ini, lalu Dia mencelaku. Dia menghendaki agar aku kembali kepada-Nya dan menyadari kesalahanku. Jadi dia tidak ingin menjadi pekerja wanita yang tidak baik.
Terus ada peningkatan lagi. Dia justru minta dibakar api neraka, jika menyembah Allah karena takut neraka dan sekaligus mengharamkan surga, kalau dia mengharapkan surga. Atas dasar cinta dalam penyembahan Allah, dia berkata, limpahkanlah ganjaran yang lebih baik. Dia minta diberi kesempatan melihat wajah Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia, hingga merasa bahagia berada dekat dengan Allah pada hari kebangkitan. Lantas perasaan bahagia itu diakhiri dengan … bagiku (Rabi`ah) cukuplah keridlaan-Mu saja.
إلهى لو كنت أعبدك خوفا من نارك فأحرقني بنار جهنم
وإذا كنت أعبدك طمعا في جنتك فأحرمنيها
وإما كنت أعبدك من أجل محبتك فلآ تحرمني من مشاهدة وجهك [46]
“Wahai, Tuhan! Apabika aku beribadah kepada-Mu hanya karena takut kepada neraka-Mu maka bakarlah aku di neraka-Mu. Dan apabila aku beribadah kepada-Mu hanya menginginkan surga-Mu maka keluarkanlah aku dari surga-Mu. Tetapi, jika aku beribadah kepada-Mu hanya untuk-Mu semata, berikanlah kepadaku keindahan-Mu yang abadi “.[47]
Begitu tingginya kadar kecintaan Rabi`ah kepada Allah hingga pada gilirannya, dia menilai tidur itu tidak saja sebagai bagian dari rangkaian mata rantai ibadahnya, akan tetapi juga sekaligus sebagai musuhnya yang telah menyebabkan berkurangnya ibadah. Perhatikan petikan berikut ini:
Wahai Tuhanku, semua manusia telah tidur nyenyak. Raja-raja telah mengunci pintu istana masing-masing. Suami istri telah berbaring di atas sofanya. Namun, Rabi`ah yang banyak dosa ini masih bersimpuh di hadapan-Mu. Kebesaran dan Kemuliaan-Mu-lah yang membuat aku terus berjaga malam begini”.[48]
Begitu terpusatnya cinta Rabi`ah kepada Allah, pada gilirannya cinta bagi Rabi`ah adalah fanaa’ kepada Allah, hanya tertuju kepada-Nya. Cinta bagi Rabi`ah itu tenggelam dalam renungan mengenai Allah dan berpaling daripada segala makhluk, hingga tidak ada lagi dalam jiwanya perasaan marah atau benci terhadap musuh.
Dalam pendalaman studi Margaret Smith, melalui telaahan Tadzkirah al-Awliya’-nya Fariduddin al-Aththar, yaitu … “Keberadaanku telah tiada dan jati diriku pun telah lenyap. Aku telah menjadi satu dengan-Nya. Penyembuh penyakitnya itu menyatu dengan Sahabat-Nya dan di akhirat nanti dia akan meraihnya.[49] Dalam cinta sempurna seperti itu, ahli sufi tak ada lagi dan hilang diri. Aku menyatu dengan-Nya dan sekaligus milik-Nya. Sedangkan tilikan Syu`ayb bin `Abdul `Aziz al-Hurayfisy, ar-Raudh al-Faiq yang dikutip oleh Margaret Smith, harapanku adalah penyatuan dengan-Nya, sebab itulah tujuan dari keinginanku.[50]
Dalam telaah pustaka oleh Margaret Smith tentang Rabi`ah dan biografinya, paling tidak ada 24 tulisan. Rentang yang paling pendek, dari wafatnya Rabi`ah dengan penulis termuda, al-Jaahiz (wafat 869 M) itu 68 tahun, setidaknya terpotong satu generasi. Dan ada 10 (sepuluh) penulis sebelum Fariduddin al-Aththar (wafat 1230 M). Hal yang menarik dari Fariduddin al-Aththar, tulisannya tentang Rabi`ah dinilai oleh Margaret Smith sebagai keterangan yang terbanyak. Itupun selisih waktunya, ± 419 tahun atau 4 (empat) abad. Sumber informasi tentang kehidupan Rabi`ah dan pendapatnya, hanya terdiri dari beberapa penggalan dan dalam beberapa kasus tertentu, agak sulit dipercaya begitu saja. Karena penulis biografi atau pendapat Rabi`ah, hidup lama sesudah meninggalnya Rabi`ah.[51]
Nourouzzaman Shiddiqi mengingatkan, ingatan manusia atas suatu peristiwa yang telah terjadi, apalagi dalam waktu yang jauh dari kejadian tersebut, sulit untuk tidak diragukan tak terlupa atau salah dalam mengingat. Karena penulisan sejarah bukanlah semata-mata memberitahukan rangkaian peristiwanya saja, tapi juga penafsiran penulis atas peristiwa tersebut.[52] Dengan kalimat lain, upaya untuk menelusuri atau melacak kecenderungan historis, telah diperumit oleh periode waktu yang dijadikan atribut isi koleksi biografis; yaitu masa hidup subjek, masa hidup penulis dan atau masa hidup nara sumber penulis. Kamus biografis awal Islam jarang mencantumkan tahun dan juga masa hidup subjek hanya dapat ditunjukkan dengan cara dikaitkan dengan peristiwa atau orang tertentu. Karenanya, tumpang tindih strata historis yang ada pada koleksi biografis, menjadi kendala dalam upaya merekonstruksi peta waktu sederhana dari proporsi wanita muslim terkemuka dan peranan yang mereka mainkan.
Kekurangan informasi tentang identitas wanita sufi, sangat menyulitkan untuk menceritakan pribadi historis dari wanita sufi. Abu `Abdirrahman (wafat 412 H/1021 M) adalah penulis Thabaqatus Shufiyah, kamus Sufi paling awal yang masih bisa dilacak. Buku itu berisi sejumlah wanita yang disebut oleh penulis terkemudian. Sayang bagian tentang wanita yang ada, tampaknya sudah hilang. Abu Nu`aym al-Isfahani (wafat 1038 M), penulis Hilyatul Awliya’ ditulis pada abad V H/11 M, berisi 28 biografi wanita, tapi semuanya generasi Nabi. Abu al-Qasim al-Qusyayri (wafat 465 H/1074 M), menulis 83 biografi pria semua. Al-Hujwiri (wafat 456 atau 464 H/1064 atau 1072 M) dalam menyusun biografi sufi tak menyebut seorang wanita sufi. Sedangkan `Abdurrahman bin `Ali bin al-Jauzi (wafat 597 H/1200 M) menulis 240 wanita, hampir seperempat dari semua entrinya. Adapun Fariduddin al-Aththar (wafat 628 H/230 M) menyusun ikhtisar riwayat hidup para wali, berisi biografi panjang dan informatif. Dari 72 sufi, hanya seorang yang wanita, yaitu Rabi`ah.[53] Boleh jadi itulah sebabnya, mengapa beberapa penulis abad 20 mengomentari sebagian sebagai anekdot, legenda dan mitologi. Dengan demikian, memang dibutuhkan kejelian yang tinggi dan daya nalar yang kritis.
Jadi sangat sulit memang, terlebih kadang kisah tentang wanita sufi hanya berjudul ‘seorang wanita shaleh’. Dari kisah-kisah yang ada, tidak juga digunakan metodologi periwayatan yang ketat, sebagaimana yang terjadi pada hadis. Tahun jarang sekali disebutkan. Kalaupun dicantumkan, tampaknya diambil dari sumber-sumber sejarah, bukan dari riwayat sufi.
Wajib diakui dengan jujur, memang, para penulis sufi sering menekankan, bahwa bila seorang wanita telah mencapai keadaan spiritual yang tinggi, maka dia tidak dapat dianggap sebagai wanita sejati. Valerie J. Hoffman-Ladd yang mengutip A. J. Arberry, menyatakan bahwa Rabi`ah adalah sufi perempuan yang termasyhur. Puisi-puisinya tentang cinta kepada Tuhan telah memberikan inspirasi kepada para sufi sampai saat ini. Tradisi sufi bahkan menggambarkan, bahwa Rabi`ah justru lebih cerdas bila dibandingkan dengan kawan-kawan lakinya. Dia melanjutkan, saat seorang perempuan menjadi ‘seorang laki-laki’ di jalan Tuhan, perempuan itu sama dengan laki-laki dan seseorang tidak dapat lagi memandangnya sebagai seorang perempuan.[54]
Tujuan tasawuf ialah memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Allah, yang intinya kesadaran adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan-Nya. Melalui kasyf al-mahjub (terbukanya tabir), Rabi`ah dinilai Margaret Smith dalam Reading from the Mystics of Islam, sebagai pelopor pengajar mistik Islam.[55] Dengan cita ajaran mistik ini, Rabi`ah berusaha mengalihkan secara drastis tujuan hidup, agar takut neraka dan harapan surga, menjadi untuk melihat keindahan wajah Allah, langsung bertatap muka. Bahkan bila mungkin bersatu dengan Allah. Di tangan para sufi nantinya, yang telah dirintis Rabi`ah, pemahaman dan pengamalan Islam beralih ke arah ekstrim rohaniyah. Memang tasawuf sebagai ajaran mistik, berwatak eskapisme (melepaskan/melarikan). Karena penguasa-an ilmu ghaib dan ma`rifah pada zat Allah sebagai kebesaran segala-galanya. Karenanya, dunia dan apa saja selain Allah, sebagai tabir yang mengotori hati manusia.
Tasawuf di tangan Rabi`ah telah menimbulkan revolusi rohani. Islam sebagai agama yang cinta iman dan amal shaleh, oleh Rabi`ah dengan 2 (dua) macam cintanya diubah menjadi cinta rindu, berzikir pada Allah, melupakan semuanya, dengan segala konsekuensinya. Tujuan hidup mencari akhirat dinilai sebagai tabir menyesatkan yang wajib dilenyapkan. Harapan surga dan takut neraka dihina sebagai pedagang mencari laba dan ganti rugi. Padahal cinta Islam adalah agar zikir, pikir untuk amal dengan etos kerja tinggi untuk membangun dunia (Q. S. Al-Baqarah: 126), diganti jadi zikir dan merenung. Zikir sebagai pengendalian diri secara bertanggung jawab digeser jadi wasilah atau sarana meditasi, menyongsong terbukanya tabir ghaib dan anugerah fanaa` fi Allah.
Konsep cinta Ilahi-nya Rabi`ah, menurut Ibrahim Hilal sangat jauh dari spirit al-Qur’an karena anggapan bahwa puncak kenikmatan tertinggi adalah penyaksian zat Yang Maha Esa serta berkomunikasi langsung dengan-Nya. Orientasi cinta Ilahi akan membuahkan perenungan tentang penyaksian zat Yang Maha Tinggi, dengan konsekuensi, antara lain, pengabaian janji dan ancaman Allah. Ini akan mengakibatkan stagnasi (kemandegan) kehidupan duniawi manusia, terhentinya proses dinamika pemikiran manusia dan kegagalan seluruh kegiatan pengajaran dan ilmu.[56]
Cinta kepada Allah dan Rasul adalah cinta rasional (hubbun `aqliyyun) atau taat, bukan cinta emosional berlebihan (laa `aathifiyyun). Memang, pada dasarnya cinta itu emosional, namun dalam Islam tetap wajib dikendalikan dalam batas nalar yang jernih. Ini akan menghasilkan rasa ikhlas bakti dan beribadah, bukan ingin menguasainya dan memuaskan emosinya. Dalam Q. S. Ali `Imran: 31 terlihat penyaluran cinta kepada Allah dan Rasul, dengan menaati-Nya dan mengikuti sunnahnya, bukan cinta yang akhirnya memunculkan ungkapan yang melewati batas, berwatak egois kerohanian dan hanya merindukan kebahagiaan pribadi. Cinta yang diajarkan al-Qur’an dan al-Hadits adalah cinta taat, yaitu cinta hormat, yang masih dikendalikan penalaran rasional, bukan didorong perasaan yang membuta. Artinya, akal manusia mendorong ketaatan karena hal itu merupakan jalan untuk mencapai tujuan hidupnya. Cinta rasional inilah yang diamalkan oleh Rasul dan para sahabat hingga ± akhir abad I H.
Konsepsi Rabiah tentang mahabbah dan fanaa` merupakan sesuatu yang dilebih-lebihkan oleh para pelakunya. Mistik jenis inilah yang telah keluar dari apa yang digariskan oleh Islam dan hal-hal yang sudah disepakati kebenarannya oleh kaum sufi kalangan Ahlus Sunnah.
Pada pertengahan abad II H dan seterusnya, para sufi mulai mengembangkan konsepsi cinta yang menyimpang dari batas ketentuan syari`ah, seperti yang dikembangkan oleh Rabi`ah. Karena cinta kepada Allah menyesuaikan dengan sikap pasrah dan ridla menjadi ajaran ikhlas menerima bencana dan anugerah itu sama saja. Cinta kepada Allah mulai menyesuaikan dengan watak perintis ajaran tasawuf, yang mengutamakan sikap tawakkal mutlak (tanpa ikhtiyar, pilihan terbaik atau usaha) dan rela menerima semua derita, sebagai karunia Allah. Pada saatnya nanti, memuncak pada pencapaian cita ma`rifah ke arah ittihad (union mystic) dan hulul (immanensi Tuhan pada diri manusia).
Wajib diakui dengan jujur, bahwa tasawuf sangat bisa menambah kedalaman dan penghayatan spiritualitas agama, serta jadi sarana pembina akhlak karimah. Dari tinjauan ini, pengaruhnya positip sekali. Sebaliknya watak ajaran yang ekstrim rohaniyah ini akan menurunkan daya nalar yang kritis dan jangan-jangan dikhawatirkan terperosok ke dalam paham yang menyimpang dari syari`ah yang lurus pemahamannya.
Konsepsi al-Mahabbah yang digagas oleh Rabi`ah, pada satu sisi sangat mendorong motivasi umat dalam ibadah untuk selalu lillaahi ta`ala, dengan menyeimbangkan hablum minallah dan mestinya jangan sampai mengurangi interaksi habulum minnnas. Namun di sisi lain, pada gilirannya nanti telah membuka peluang munculnya tasawuf falsafati yang gagasan-gagasannya lebih cenderung mengundang kontroversi umat secara umum. Peristiwa mi`raj Nabi dalam sejarah perjalanan umat manusia, pilihan itu hanya diberikan kepada Nabi Muhammad, lain tidak. Oleh karena itu, kehidupan pengamalan agama pada zaman Nabi dan sahabat, seringkali dijadikan obsesi mayoritas umat Islam, untuk tidak ‘neka-neka’, sungguh pun dalam kenyataan di lapangan antara satu kelompok umat dengan umat lainnya dalam waktu dan tempat yang sama, apalagi berlainan, bisa sama dan dapat pula berbeda, tapi tetap dalam bingkai pemahaman al-Qur’an dan al-Hadits.
Daftar Pustaka
Ali, A. Mukti. Agama dan Pembangunan di Indonesia, Bagian VIII, Jakarta, Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, Departemen Agama Republik Indonesia, 1977.
_____. Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Bandung, Mizan, 1412/1997.
Ali, A. Mukti. dkk. Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jilid 3, Jakarta, Depag RI, 1992/1993.
Amin, Ahmad. Alih bahasa Zaini Dahlan, Fadjar Islam, Djakarta, Bulan Bintang, 1968.
Arberry, A.J. terj. Bambang Herawan, Pasang-Surut Aliran Tasawuf, Bandung, Mizan, Sya`ban 1405/Mei 1985.
Ashify, Syaikh Muhammad Mahdi Al-. terj. Ikhlash, dkk., Muatan Cinta Ilahi dalam Doa-doa Ahlul Bayt, cet. II, Bandung, Pustaka Hidayah, Jumada Al-Ula 1416/Oktober 1995.
Asmaran AS. Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 1994.
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, cet. IV, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 1996.
Dasuki, A. Hafizh dkk. Ensiklopedi Islam, Jilid 4, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994.
Esposito, John L. (ed.). terj. Eva Y. N. dkk. Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Jilid 4, Bandung, Mizan, Syawwal 1421/Juni 2001.
Fariduddin al-Attar. terj. Anas Mahyuddin, Warisan Para Awliya, cet. II, Bandung, Pustaka, 1415 H/1994 M.
Ghaznawi, Abul-Hasan `Ali bin `Utsman bin `Ali Al-Jullabi al-. terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi W.M., Kasyful Mahjub: Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf, Bandung, Mizan, Sya`ban 1412/Maret 1992.
Hamka, Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad, tjet. VI, Djakarta, Pustaka Islam, 1966.
Ibrahim Hilal. terj Ija Suntana dan E. Kusdian, Tasawuf, Antara Agama dan Falsafah: Sebuah Kritik Metodologis, Bandung, Pustaka Hidayah, Syawwal 1422/Januari 2002.
Javad Nurbakhsh. terj. MS Nasrullah & Ahsin Mohamad, Wanita-wanita Sufi, cet. II, Bandung, Mizan, Rabi` al-Tsani 1417H/September 1996M.
Kalabadzi, Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya`qub al-Bukhari al-. terj. Rahmani Astuti, Ajaran Kaum Sufi, Bandung, Mizan, Rajab 1405/April 1985.
Khamis, Muhammad Atiyyah. terj. Aliudin Mahjuddin, Penyair Wanita Sufi Rabi’ah Al Adawiyah, Jakarta, Pustaka Firdaus, t. th.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, h.389, yang mengutip Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah, 4 Jilid, Jilid. 2, Riyadl, Maktabat al-Riyadl al-Haditsah, t.th.
Murata, Sachiko. terj. Rahmani Astuti dan M. S. Nashrulah, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, cet. VI, Bandung, Mizan, Jumada Al-Tsaniyah 1419/Oktober 1998.
Nasution, Harun. dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1992.
Nasution, Harun. Falsafah & Mistisisme dalam Islam, cet. VIII, Jakarta, Bulan Bintang, 1992.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta, Bulan Bintang, 1974.
Qandil, Abdul Mun`im. terj. Mohd. Royhan Hasbullah dan Mohd. Sofyan Amrullah. Figur Wanita Sufi : Perjalanan Hidup Rabi’ah al-Adawiyah dan Cintanya kepada Allah, cet. III, Surabaya, Pustaka Progressif, 2000.
Qusyairi An Naisaburi, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-. Peny. Umar Faruq. Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, Jakarta, Pustaka Amani, Jumadil Akhirah 1419/Oktober 1998.
Roded, Ruth. terj. Ilyas Hasan. Kembang Peradaban: Citra Wanita di Mata para Penulis Biografi Muslim, Bandung, Mizan, Shafar 1416/Juli 1995.
Sakkakini, Widad El. terj. oleh Zoya Herawati. Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi`ah Al-Adawiah: Dari Lorong Derita Mencapai Cinta Ilahi, cet. II, Surabaya, Risalah Gusti, 2000.
Schimmel, Annemarie. terj. Sapardi Djoko Damono dkk. Dimensi Mistik dalam Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1986.
Shadily, Hassan dkk. Ensiklopedi Indonesia, Jilid 6, Jakarta, Ichtiar Baru-van Hoeve, 1984.
Shiddiqi, Nourouzzaman. Menguak Sejarah Muslim: Suatu Kritik Metodologis, Yogyakarta, PLP2M, 1984.
Siregar, A. Rivay. Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 1999.
Smith, Margareth. terj. Jamilah Baraja. Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan, cet. IV, Surabaya, Risalah Gusti, 2001.
Soe’yb, Joesoef. Peranan Aliran I’tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1982.
Soe’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin, Jakarta, Bulan Bintang, 1979.
Soe’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Umayyah I di Damaskus, Jakarta, Bulan Bintang, 1977.
Sururin. Rabi’ah al-Adawiyah Hubb al-Illahi (sic!): Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah dan Makrifah, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2000.
Syed Mahmudunnasir. terj. Adang Affandi, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, cet. IV, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1994.
Taftazani, Taftazani, Abu al-Wafa` al-Ghanimi al-. terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung, Pustaka, 1406 H/1985 M.
Yasuu`iy, al-Ab Luwiis Ma`luuf al-. al-Munjid fii al-Lughah wa al-Adab wa al-`Uluum, Bayruut, al-Mathba`ah al-Kaatsuuliikiyyah, al-Thaba`ah al-Tsaaminah `Asyrah, t.th.
*Penulis adalah alumnus Fakultas Usuluddin, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1982 dan sejak 1992 menjadi dosen tetap STAIN Purwokerto.
[1]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 9.
[2]A. Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, (Bandung: Mizan, 1412/1997), h. 19.
[3]Lihat A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999), h. 52 –53. Bandingkan dengan Reynold A. Nicholson, terj. Tim Penerjemah Bumi Aksara, Mistik Dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), h. 2, Ciri ini dibentuk oleh pengaruh lingkungan … yang kemudian tumbuh dan berkembang pesat di kalangan masyarakat.
[4]Syaikh Muhammad Mahdi Al-Ashify, terj. Ikhlash, dkk., Muatan Cinta Ilahi dalam Doa-Doa Ahlul Bayt, cet. II, (Bandung: Pustaka Hidayah, Jumada al-Ula 1416/Oktober 1995), h.14.
[5]Sachiko Murata, terj. Rahmani Astuti dan M. S. Nashrulah, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, cet. VI, (Bandung: Mizan, Jumada Al-Tsaniyah 1419/Oktober 1998), h. 329.
[6]Fariduddin al-Attar, terj. Anas Mahyuddin, Warisan Para Awliya, cet. II, (Bandung: Pustaka, 1415 H/1994 M), h. 47.
[7]A. Rivay Siregar, op. cit., h. 76.
[8]Margareth Smith, terj. Jamilah Baraja, Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan, cet. IV, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), h. 110.
[9]Annemarie Schimmel, terj. Sapardi Djoko Damono dkk., Dimensi Mistik dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 38 dan tentang arti kata mistik, asal kata Yunani myein, lih. Ibid., h. 1 dan 2.
[10]A. Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia, Bagian VIII, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, 1977), h. 65.
[11]Joachim Wach, terj. oleh Djam`annuri, Ilmu Perbandingan Agama: Inti dan Bentuk Pengalaman Keagamaan, (Jakarta: Rajawali, 1984), h.30-32.
[12]A. Hafizh Dasuki dkk., Ensiklopedi Islam, Jilid 4, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.148.
[13]Ibrahim Zaki Khursyid dkk. Daairah al-Ma`aarif al-Islaamiyyah, al-Mujallad at-Taasi`, (t.t.: t.p., t.th.), h.357.
[14]Hassan Shadily dkk., Ensiklopedi Indonesia, Jilid 6, (Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1984), h.2819. Sedangkan menurut A. Hafizh Dasuki dkk., loc. cit., Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyyah al-Qissiyah, Harun Nasution dkk., loc. cit., Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah, Abu al-Wafa` al-Ghanimi al-Taftazani, terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1406 H/1985 M, h. 82, Ummul Khair Rabi’ah binti Isma`il al-Adawiyyah al-Qisiyyah.
[15]Harun Nasution dkk., loc. cit. dan bandingkan dengan Abdul Mun`im Qandil, terj. Mohd. Royhan Hasbullah dan Mohd. Sofyan Amrullah, Figur Wanita Sufi: Perjalanan Hidup Rabi’ah Al-Adawiyah dan Cintanya kepada Allah, cet. III, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2000), h.19.
[16]Ahmad Amin, alih bahasa Zaini Dahlan, Fadjar Islam, (Djakarta: Bulan Bintang, 1968), h.233.
[17]Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran I’tizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1982), h.184.
[18]Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h.476.
[19]Syed Mahmudunnasir, terj. Adang Affandi, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, cet. IV, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h.191.
[20]Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin, op. cit., h.175-176, bandingkan dengan Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, t.th.), h.389, yang mengutip Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah, Jilid. 2, (Riyadl: Maktabat al-Riyadl al-Haditsah, t.th.), h.187-188.
[21]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, cet. IV, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1996), h. 47.
[22]Joesoef Soe’yb, Sejarah Daulat Umayyah I di Damaskus, (Jakarta, Bulan Bintang, 1977), h.180.
[23]Hamka, Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad, tjet. VI, (Djakarta: Pustaka Islam, 1966), h. 66 dan Margaret Smith, op. cit., h.55.
[24]A. J. Arberry, terj. Bambang Herawan, Pasang-Surut Aliran Tasawuf, (Bandung: Mizan, Sya`ban 1405/Mei 1985), h.51.
[25]Sururin, Rabi’ah al-Adawiyah Hubb al-Illahi (sic!): Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah dan Makrifah, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2000), h.30-31.
[26]Widad El Sakkani, Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah Al-‘Adawiah: dari Lorong Derita Mencapai Cinta Ilahi, cet. II, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h.12.
[27]Abdul Mun`im Qandil, op. cit., h.49-50, 154.
[28]Ibid., h. 63, 78 dan Muhammad Atiyah Khamis, op. cit., h. 31 dan Margaret Smith, op. cit., h.13-14.
[29]Muhammad Atiyah Khamis, op. cit., h.43.
[30]Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi An Naisaburi, Umar Faruq (peny.), Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, Pustaka Amani, Jakarta, Jumadil Akhirah 1419/Oktober 1998, hal. 125.
[31]al-Ab Luwiis Ma`luuf al-Yasuu`iy, al-Munjid fii al-Lughah wa al-Adab wa al-`Uluum, (Bayruut: al-Mathba`ah al-Kaatsuuliikiyyah, al-Thaba`ah al-Tsaaminah `Asyrah, t.th.), h.113.
[32]Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi An Naisaburi, op. cit., h.477-478.
[33]Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya`qub al-Bukhari al-Kalabadzi, terj. Rahmani Astuti, Ajaran Kaum Sufi, (Bandung: Mizan, Rajab 1405/April 1985), h.138-139.
[34]Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi An Naisaburi, op. cit., h. 478, 479 dan 481.
[35]Margaret Smith, op. cit., h.107.
[36]Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme dalam Islam, cet. VIII, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.70.
[37]Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1994), h.130-131.
[38]Ibid.
[39]Margaret Smith, op. cit., h.101-106.
[40]Abdul Mun`im Qandil, op. cit., h.188 dan bandingkan dengan Muhammad Atiyah Khamis, op. cit., h.61.
[41]Javad Nurbakhsh, terj. MS Nasrullah & Ahsin Mohamad, Wanita-wanita Sufi, cet. II, (Bandung: Mizan, Rabi` al-Tsani 1417/September 1996), h.52 dan bandingkan dengan Margaret Smith, op. cit., h.113.
[42]Ibid., h.122.
[43]Ibid., h. 122- 23.
[44]Mengutip dari Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1996), h.30.
[45]Muhammad Atiyah Khamis, op. cit., h.59.
[46]A. Rivay Siregar, op. cit., h. 24, mengutip Qamar Kailani, Fii at-Tashawwuf al-Islaamy, (t.t.: Dar al-Ma`aarif, 1976).
[47]Reynold A. Nicholson, op. cit., h.89.
[48]Abdul Mun`im Qandil, op. cit., h.195 dan bandingkan dengan Harun Nasution, op. cit., h.72.
[49]Margaret Smith, op. cit., h.124.
[50]Margaret Smith, loc. cit. dan bandingkan dengan Simuh, op. cit., h.31.
[51]Margaret Smith, op. cit., h. ix-xxiii.
[52]Nourouzzaman Shiddiqi, Menguak Sejarah Muslim: Suatu Kritik Metodologis, (Yogyakarta: PLP2M, 1984), h.53, 162.
[53]Ruth Roded, op. cit., h.30-32.
[54]John L. Esposito Ed., Penerjemah Eva Y. N. dkk., Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Jilid 4, (Bandung: Mizan, Syawwal 1421/Juni 2001), h.316-317.
[55]Simuh, op. cit., h.30.
[56]Ibrahim Hilal, terjemah Ija Suntana dan E. Kusdian, Tasawuf, Antara Agama dan Falsafah: Sebuah Kritik Metodologis, (Bandung: Pustaka Hidayah, Syawwal 1422/Januari 2002), h. 81, 85.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar