Minggu, 13 Januari 2008

Dialog Antar Agama dalam Al

PARADIGMA DIALOG ANTARAGAMA
DALAM ALQURAN

Oleh : Hamidi Ilhami*

Abstrak
Dialog antaragama adalah sesuatu yang sangat urgen dan signifikan, karena merupakan rekonsiliasi dari pluralisme agama. Alquran sebagai kitab suci agama Islam tentu saja tidak melupakan hal tersebut. Tulisan ini mencoba memahami beberapa ayat Alquran yang berkenaan dengan persoalan dialog antaragama. Setidaknya ada empat paradigma yang dapat diungkapkan untuk dijadikan landasan dalam melakukan dialog antaragama, yaitu: kesadaran akan perbedaan, kebebasan beragama, kebenaran bersifat universal dan doktrin supersessionisme Alquran sebagai legitimasi bagi agama-agama sebelumnya.
Kata kunci: Alquran, dialog antaragama dan pluralisme
A. Pendahuluan
Salah satu wacana intelektual yang cukup mengesankan sejak abad ke-20 hingga sekarang adalah maraknya perbincangan mengenai dialog antaragama.
Pengertian dialog dalam konteks ini bukanlah hanya sekedar percakapan antara dua orang atau lebih dalam melakukan pertukaran nilai yang dimiliki oleh masing-masing pihak, akan tetapi lebih dari itu, yaitu: mencakup pula pergaulan antara pribadi-pribadi untuk saling membuka diri dan berusaha mengenal satu sama lain secara apa adanya, sehingga tercipta kerukunan, kedamaian dan kerja sama yang konstruktif.
Sesungguhnya, masih banyak dari kalangan umat Islam yang enggan untuk melakukan dialog dengan pemeluk agama lain (dialog antaragama), bahkan untuk sekedar melakukan interaksi sosial sekalipun, mereka terasa sangat kaku dan sensitif. Padahal secara konseptual wacana dialog antaragama telah berkembang sangat jauh, bahkan sudah mengarah pada terciptanya "teologi universal", yaitu sebuah pandangan yang mengatakan bahwa semua agama pada dasarnya adalah sama.[1]
Menurut A. Mukti Ali bahwa sebagian umat Islam tidak menganggap dialog antaragama sebagai sebuah perkembangan yang penting dalam pemikiran agama kontemporer karena mereka percaya bahwa hanya agama mereka-lah yang mengandung kebenaran. Dan inilah alasan mengapa dialog dengan pemeluk agama lain tidak penting. Ditambahkannya pula bahwa persoalan dialog antaragama, menjadi lebih kontroversial lagi di kalangan sebagian umat Islam karena mereka tahu bahwa ilmuwan-ilmuwan Kristiani-lah yang pertama kali memunculkan gagasan tentang dialog antaragama. Menurut keyakinan mereka, munculnya gagasan dialog antaragama disebabkan kegagalan usaha-usaha misionaris dalam pengabaran Injil pada masa-masa sebelumnya, lalu sekarang berusaha untuk menambah keterangan baru, yaitu berusaha menggunakan sarana dialog antaragama sebagai satu cara untuk membangun komunikasi.[2]
Selain itu, respon negatif sebagian umat Islam terhadap dialog antaragama boleh jadi disebabkan pula oleh adanya perasaan insecurity dan ketakutan mereka, di mana kasus konversi sering mengisyaratkan karena kompromi atau dialog dengan agama lain.
Sejak 14 abad yang silam, Alquran sebagai kitab suci agama Islam, telah memberikan tuntunan kepada umat Islam dalam rangka melaksanakan dialog dengan pemeluk agama lain (dialog antaragama). Hanya saja tuntunan Alquran tentang dialog antaragama tersebut belum terungkap secara jelas. Hal ini tentu saja menjadi salah satu penyebab mengapa sebagian umat Islam menjadi anti dialog antaragama.
Tulisan ini mencoba mengungkapkan beberapa paradigma dialog antaragama dalam Alquran dengan metode Tafsir Maudhu’iy, yaitu: menghimpun ayat-ayat dari pelbagai surah dalam Alquran yang sama-sama membicarakan satu masalah, lalu ayat-ayat tersebut diletakkan dalam satu tema bahasan.[3] Adapun istilah paradigma dalam konteks ini berarti cara berpikir (mode of thought) atau cara meneliti (mode of inquiry) atau cara mengetahui (mode of knowing).[4] Jadi yang dimaksud dengan paradigma dialog antaragama dalam Alquran adalah prinsip-prinsip dalam melakukan dialog antaragama yang diambil dari pemahaman ayat-ayat Alquran.
B. Tentang Dialog Antaragama
1. Signifikansi dialog antaragama
Setidaknya ada dua hal yang dapat dijadikan alasan perlunya diadakan dialog antaragama. Pertama, secara sosiologis, yakni era globalisasi dan informasi yang telah melanda seluruh aspek kehidupan manusia, di mana planet bumi telah menjelma menjadi kamar-kamar masyarakat tanpa sekat, tentu akan memunculkan apa yang disebut dengan pluralisme, termasuk pluralisme agama. Komaruddin Hidayat menyebut pluralisme agama sebagai sunnatullah (hukum sejarah), sebab menurutnya, inti keberagamaan adalah hasil pikiran sadar dan bebas, dan hal itu merupakan jalinan subjektif antara seseorang dengan Tuhannya. Oleh karena itulah pluralisme paham dan perilaku keberagamaan menjadi niscaya.[5]
Kedua, secara kemanusiaan, yaitu sebagaimana yang kita lihat dewasa ini, peradaban modern telah tampil dalam dua wajah yang antagonistis. Di satu pihak peradaban modern telah berhasil menciptakan kemajuan yang spektakuler, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dan kemakmuran fisik. Namun pada saat yang sama, ia juga telah mencetak pola hidup sekularisme, materialisme, dan individualisme, sehingga muncullah pelbagai problem moral dan kemanusian, di mana manusia kehilangan unsur spritualitasnya dan sarat dengan kompetisi dalam tempo tinggi, terjebak dalam kehidupan yang keras serta tidak bersahabat. Akibatnya lahirlah patalogi-patalogi sosial, seperti, perampokan, pembunuhan, pelanggaran HAM, dan sebagainya.
Akhir-akhir ini agama-agama dipandang dapat memberikan wajah baru bagi peradaban modern dengan segenap problematikanya tersebut. Anggapan ini tentu hanya menjadi sebuah retorika belaka, jika agama-agama tampil secara sendiri-sendiri dan sibuk menghadapi konflik antar pemeluk-pemeluknya. Untuk itulah diperlukan adanya dialog antaragama, agar agama betul-betul dapat diberdayakan sebagaimana mestinya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan umat manusia.
Kenyataan ini, sudah barang tentu memaksa kita semua untuk meningkatkan kedewasaan dalam menghadapi perbedaan dan memperluas wawasan paham keagamaan, agar perbedaan tidak menimbulkan konflik, tetapi merupakan sebagai aset budaya dan politik. Dialog antaragama nampaknya cukup relevan dan kondusif dalam hal ini. Atau menurut istilah Frederick J. Streng dialog antaragama merupakan sebuah bentuk rekonsiliasi dari pluralitas keagamaan.[6]
2. Konsepsi dialog antaragama
Dialog adalah suatu percakapan antara dua orang atau lebih yang memiliki pandangan yang berbeda tentang sebuah masalah. Tujuan utamanya adalah agar setiap pihak dapat memahami pihak lain sehingga masing-masing dapat memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas dan berkembang. Dalam dialog setiap pihak harus bersedia mendengarkan pihak lain secara terbuka dan penuh perhatian, karena dialog menuntut setiap pihak untuk memahami posisi pihak lain setepat mungkin, dan tidak mustahil jika mau jujur, satu pihak akan menemukan posisi pihak lain begitu meyakinkan, lalu menerimanya. Jadi dialog bukan hanya sekedar debat yang tujuannya semata-mata untuk mengalahkan pihak lain.[7]
A. Mukti Ali menambahkan bahwa dialog berarti juga concourse, yaitu berlari atau bergerak bersama-sama, bukan hanya berbicara satu dengan yang lainnya saja.[8]
Jadi yang dimaksud dialog antaragama adalah suatu tema wicara antara dua atau lebih pemeluk agama yang berbeda, di mana diadakan pertukaran nilai dan informasi keagamaan pihak masing-masing untuk mencapai bentuk kerja sama dalam semangat kerukunan.[9]
Berikut ini ada beberapa pedoman dasar dialog antaragama yang didesain oleh Leonard Swidler.
1) Tujuan dialog antaragama adalah untuk menambah pengetahuan, yakni mengembangkan persepsi dan pemahaman tentang realitas, yang selanjutnya dilaksanakan secara tepat.
2) Dialog antaragama harus dari dua pihak yang masing-masing sebagai pemeluk agama.
3) Masing-masing pihak dalam dialog antaragama harus bersikap jujur dan ikhlas. Selain itu, masing-masing pihak juga harus menganggap pihak lain jujur dan ikhlas.
4) Dalam dialog antaragama tidak boleh membandingkan antara konsep dengan praktek. Tetapi hendaknya yang dibandingkan adalah konsep dengan konsep, atau praktek dengan praktek.
5) Masing-masing pihak dalam dialog antaragama harus memposisikan dirinya sesuai dengan eksisitensinya sendiri. Artinya seorang yang beragama Islam, harus berdiri sebagai seorang muslim, tidak boleh dia berdiri atas nama umat Kristiani atau umat lainnya.
6) Masing-masing pihak dalam dialog antaragama tidak dibenarkan memiliki asumsi untuk mencari perbedaan-perbedaan, tetapi harus berusaha mencoba setuju dengan pihak lain sejauh masih terpelihara integritas keyakinannya.
7) Dialog antaragama hanya bisa dilakukan dengan posisi seimbang. Artinya masing-masing pihak sama-sama untuk saling memberi pengetahuan. Apabila seorang muslim, misalnya, memandang pihak lain di bawah dia atau sebaliknya, tidak mungkin terjadi dialog.
8) Dialog antaragama bisa terlaksana atas dasar saling percaya. Artinya masing-masing pihak memang benar-benar ingin berdialog dan memenuhi syarat untuk itu. Orang yang tidak memahami agamanya sendiri, umpamanya, tidak bisa ikut dialog.
9) Orang yang berniat mengikut dialog antaragama, setidaknya memiliki sifat kritis terhadap dirinya dan agamanya. Jadi dia sadar benar bahwa diri dan keberagamaannya masih perlu penyempurnaan.
10) Masing-masing pihak dalam dialog antaragama harus mencoba untuk menghayati agama atau kepercayaan pihak lain secara mendalam. Sebab untuk memahami suatu agama secara tepat, seseorang harus melakukan passing over ke dalam agama tersebut, dan kemudian kembali dengan terang, penuh pengalaman dan mendalam.[10]
3. Lapangan dan bentuk dialog antaragama[AC1]
Dialog antaragama mencakup tiga bidang lapangan operasional. Pertama, dialog antaragama dalam dataran praksis. Dalam hal ini dialog antaragama biasanya mengambil bentuk dialog kehidupan, yaitu orang dari pelbagai agama dan keyakinan hidup dalam kebersamaan pada sebuah komunitas bersama. Atau bisa juga dengan mengambil bentuk kegiatan sosial, di mana para pemeluk agama mencoba berkolaborasi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Kedua, dialog antaragama dalam dataran spritual. Dalam hal ini dialog antaragama bisa mengambil bentuk komunikasi pengalaman keagamaan dari masing-masing pemeluk agama. Atau bisa juga dalam bentuk do'a bersama. Ketiga, dialog antaragama dalam dataran kognitif. Dalam hal ini dialog antaragama mengambil bentuk diskusi teologis di mana para pemeluk agama tukar menukar informasi tentang keyakinan, kepercayaan dan amalan-amalan agama mereka masing-masing dan berusaha untuk mencari saling pengertian dengan perantaraan diskusi tersebut.[11]
4. Tingkatan dialog antaragama
Dialog antaragama dapat dilakukan dalam tiga tingkatan. Pertama, tingkatan saling mengenal dan mengetahui satu sama lain di antara para pemeluk agama yang berbeda, karena adanya perasaan untuk saling menghormati dan menghargai di antara mereka. Kedua, tingkatan adanya upaya untuk saling mengamati perbedaan nilai-nilai yang diyakini masing-masing pemeluk agama yang berbeda dengan harapan untuk mencari penyesuaian dengan diri sendiri. Ketiga, tingkatan adanya upaya untuk mencari dan menyingkapkan wilayah realitas baru dan kebenaran yang belum terungkap sebelumnya sebagai hasil dari dialog tersebut. Dengan menjaga integritas dan sikap keterbukaan dalam tukar pendapat, maka terbuka peluang untuk terjadinya asimilasi yang bermanfaat bagi kedua belah pihak.[12]
C. Beberapa Paradigma Dialog Antaragama dalam Alquran
1. Kesadaran akan perbedaan
Suatu dialog terjadi pasti didahului oleh adanya perbedaan. Begitu pula halnya dengan terjadinya konflik, pasti karena adanya perbedaan. Tidak ada dialog atau konflik tanpa perbedaan. Dengan kata lain, dialog dan konflik adalah saudara kembar yang lahir dari ibu yang bernama perbedaan. Hanya saja, dialog adalah anak yang baik dan berbudi, sedangkan konflik adalah anak yang nakal dan perusak.
Adapun yang dimaksud dengan perbedaan di sini adalah identik dengan apa yang biasa diistilahkan dengan keanekaragaman atau pluralisme, yaitu keadaan adanya sejumlah kelompok dalam sebuah negara atau masyarakat yang memiliki perbedaan-perbedaan, baik dari segi suku atau budaya atau agama atau dari segi yang lainnya. Dengan kata lain pluralisme adalah keadaan yang beranekaragam.[13]
Era sekarang adalah era pluralisme. Lihatlah segala fenomena yang ada di sekeliling kita, budaya, agama, ras, pendidikan, bangsa, negara, belum lagi aspirasi politik, semuanya menampakkan wajah yang pluralistik.
Menurut M. Amin Abdullah, pluralisme sebenarnya sudah ada sejak dulu kala, namun gambaran pluralisme tempo dulu belum sejelas seperti sekarang. Hasil teknologi modern dalam bidang transportasi dan komunikasi-lah yang menjadikan pluralisme tersebut semakin dihayati dan dipahami oleh banyak orang di manapun mereka berada.[14]
Anselm Kyongsuk Min juga mengatakan bahwa sebagai realitas sosial, pluralisme adalah fakta yang sudah berlangsung sejak lama (ancent fact).[15]
Oleh karena itulah, tidak heran jika dikatakan bahwa pluralisme adalah kenyataan yang tidak mungkin dihindari. Pluralisme adalah fakta sejarah. Pluralisme adalah hukum alam (sunnatullah). Pluralisme adalah setua usia manusia dan selamanya akan ada. Mengingkari pluralisme berarti mengingkari dirinya sendiri.
Menurut Alquran, perbedaan atau pluralisme adalah kehendak Allah Swt. atau ciptaan Ilahi atau ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.[16]
Rasyid Ridha memahami ayat Alquran yang menyatakan bahwa Allah Swt. yang berkehendak menciptakan adanya perbedaan di tengah manusia, artinya bahwa fitrah atau sifat alamiah manusia adalah berbeda-beda dalam segala hal.[17] Hal ini senada dengan pendapat Alwi Shihab yang mengatakan bahwa perbedaan atau pluralisme merupakan ketentuan alam (order of nature).[18]
Imam al-Ghazali mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Imarah, bahwa bagaimana mungkin manusia bersatu untuk mendengarkan, padahal telah ditetapkan bahwa mereka akan terus berbeda. Dan karena berbeda-beda itu pula Allah Swt. menciptakan mereka.[19]
Jadi, hakikat keanekaragaman atau pluralisme menurut Alquran adalah sebagai fitrah (sifat yang melekat secara alamiah) bagi sekalian manusia. Allah Swt. telah menjadikan manusia berbeda-beda. Dengan kata lain, bahwa sifat alamiah manusia adalah berbeda-beda, baik dalam bentuk fisik, pemikiran, atau pun perbuatan.
Dengan demikian, dalam perspektif Alquran, perbedaan atau keanekaragaman atau pluralisme bukan sekedar sesuatu yang dibolehkan atau satu macam dari hak-hak asasi manusia, tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai sesuatu yang harus diimani dan diyakini. Mengingkari keanekaragaman berarti mengingkari ayat-ayat Allah Swt. Mengingkari keanekaragaman berarti mengingkari diri sendiri.
Oleh karena itulah, hal yang terpenting sekarang adalah bagaimana sikap terhadap perbedaan atau keanekaragaman atau pluralisme yang merupakan kehendak Allah Swt. atau sifat alamiah dari manusia itu sendiri? Karena sebagaimana dikatakan di atas, perbedaan atau pluralisme, selain bisa melahirkan dialog yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan kehidupan, juga bisa melahirkan konflik yang sangat merugikan.
Bagi Alquran, keanekaragaman berarti keharusan bagi masing-masing individu, masyarakat atau bangsa agar tidak saling menghina satu-sama lain.[20] Sebaliknya, hendaknya mereka saling membuka diri, saling belajar kebudayaan dan melakukan dialog, yaitu saling mendengarkan pendapat masing-masing dan mengambil mana yang paling baik. Inilah cara-cara yang ditempuh oleh orang-orang yang mendapatkan kasih sayang dari Allah Swt.[21]
Selain itu perbedaan atau pluralisme hendaknya juga menjadi motivator untuk berkompetisi, saling dorong serta berlomba di antara individu, masyarakat, pemikiran, filsafat serta peradaban, agar hidup menjadi lebih dinamis.[22] Jadi keanekaragaman dalam konteks ini adalah monivator bagi kreativitas, serta saling dorong dalam medan kemajuan dan peningkatan peradaban.
Ayat Alquran yang menyatakan bahwa pada mulanya manusia adalah "satu umat", kemudian mereka bercerai-berai karena adanya kezaliman di antara mereka,[23] nampaknya dapat dijadikan kesatuan nilai yang konstan dan prinsip-prinsip yang menyatukan di antara pihak-pihak yang berbeda. Karena yang dimaksud dengan "satu umat"[24] dalam ayat tersebut, menurut pemahaman penulis, adalah satu sebagai jenis yang bernama manusia, dan bahwa manusia secara alamiah (fitrahnya) adalah berbeda-beda. Jadi makna "satu umat" tersebut adalah kesadaran akan kesatuan sebagai jenis manusia yang selalu berbeda. Dengan kesadaran seperti ini perpecahan bisa dihindari. Sebaliknya pengingkaran terhadap kesatuan jenis manusia yang selalu berbeda akan menimbulkan pertentangan.
Untuk itu, dalam konteks pluralisme agama, dialog antaragama berarti kesadaran akan adanya keanekaragaman agama sesuai dengan kecenderungan masing-masing. Dalam konteks ini pula dialog antaragama didefinisikan sebagai pertukaran ide, baik teoritis ataupun praksis, yang diformulasikan dengan cara yang berbeda-beda.
2. Kebebasan Beragama
Salah satu wujud dari kesadaran akan perbedaan atau keanekaragaman adalah bahwa setiap orang atau kelompok diberi kebebasan untuk "hidup". Seseorang atau suatu kelompok tidak selayaknya memaksa pihak lain untuk sama dan sejalan dengannya. Tetapi seharusnyalah dia membiarkan kebebasan bagi setiap orang atau kelompok untuk memilih sesuatu yang dianggap sesuai dengan kecenderungan masing-masing, sebagaimana dia juga bebas untuk memilih sesuatu sesuai dengan kecenderungannya sendiri.
Hal ini disebabkan karena secara fitrahnya manusia tercipta dilengkapi dengan adanya sesuatu yang istimewa, yaitu rûh,[25] pendengaran, penglihatan dan hati-nurani/akal-pikiran,[26] sehingga manusia mempunyai kesadaran penuh dan kemampuan untuk memilih.[27] Oleh karena itulah pemaksaan terhadap seseorang atau kelompok, meskipun atas nama kebenaran sekalipun, adalah bertentangan dengan kemanusiaan sendiri. Sebab kalau seseorang boleh memaksa orang lain atas nama kebenaran, berarti orang lain itu juga boleh memaksa dia atas nama kebenaran. Karena masing-masing memaksakan kehendak, maka yang muncul bukan lagi kebenaran, tetapi konflik.
Hanya dengan kebebasan, kata Ismail Raji al-Faruqi, manusia mampu mengaktualkan bagian dari moral yang sejalan dengan kehendak Tuhan. Esensi manusia adalah kapasitasnya untuk memikul tanggung jawab tindakan-tindakan moral. Pemaksaan merupakan suatu pelanggaran terhadap kebebasan dan tanggung jawab, dan sama sekali bertentangan dengan hubungan manusia dengan keinginan Tuhan.[28]
Memilih agama, misalnya, adalah hak setiap individu. Karena agama pada prinsipnya adalah bentuk hubungan sadar antara seorang hamba dan Tuhannya. Semakin bebas seseorang dalam berhubungan dengan Tuhannya, semakin mampu dia merasakan kehadiran Tuhan dan semakin dalam nilai-nilai keagamaan yang dia miliki. Dengan demikian, agama akan menjadi lebih hidup dan bermanfaat dalam kehidupannya. Sebaliknya, semakin dipaksakan seseorang untuk memeluk suatu agama, semakin dia tidak mengerti dengan nilai-nilai keagamaan tersebut. Dan itu berarti semakin jauh dia dari manfaat agama itu sendiri. Maka, jadilah agama sebagai sebuah simbol-formalistik belaka. Agama dengan mudah dijadikan alat legitimasi politik. Akhirnya agama tidak lebih dari sebuah alat penindasan bagi penguasa dan lambang kebodohan bagi rakyat.
Oleh karena itulah, menurut Ismet Natsir, kebebasan beragama tidak hanya sekedar hak untuk memilih atau bertukar agama, tetapi yang terpenting adalah untuk pembangunan sumber daya manusia serta pembangunan agama itu sendiri, baik secara kelembagaan, pengkaderan, pemahaman dan pemikiran yang kreatif. Walhasil, ketidakadaan kebebasan dalam beragama, organisasi keagamaan nyaris tidak berkembang. Kehidupan beragama menjadi mandul dan beku, tanpa kontribusi yang berarti. Potret buruk ini sering enggan dipandang sehingga ketika bicara tentang hak asasi beragama, yang segera muncul adalah wajah ketakutan; takut pengikut berkurang, takut ekspansi golongan agama lain, takut ini dan takut itu. Dalam suasana seperti ini permasalahan akan sukar diletakkan di atas meja untuk dianalisis bersama.[29]
Sementara itu, Kautsar Azhari Noer, mensinyalir bahwa sikap ketakutan adalah cermin kegoyahan (lemah iman). Sebaliknya keterbukaan/kebebasan adalah cermin kekokohan (iman yang kuat). Kekokohan dalam beriman/ beragama bagi seseorang justru terbukti ketika dia berani berhadapan dengan orang-orang lain yang berbeda dengannya.[30]
Bagi umat Islam, sebenarnya ketakutan seperti itu tidak perlu ada. Alquran sendiri, tidak membenarkan adanya pemaksaan dalam beragama, karena manusia pada dasarnya mampu untuk memilah antara yang benar dan yang salah.[31] Bahkan dalam Alquran, Allah Swt. pernah menegur Rasul-Nya, Muhammad Saw., ketika beliau berhasrat memaksa semua manusia untuk mengikuti beliau.[32]
Jadi, petunjuk Alquran sangat jelas, pemilihan seseorang terhadap agama haruslah berdasarkan pada kesukarelaan, bukan karena paksaan, baik dalam bentuk fisik maupun sugestif dengan berbagai manifestasinya.
Alquran menegaskan, yang dengan mudah kita pahami sebagai suatu rasa kebebasan beragama, yaitu barang siapa beriman silakan beriman, dan barang siapa menolak silakan menolak.[33] Hanya saja pilihan itu harus dipertanggungjawabkan. Artinya kalau pilihan itu baik, maka akan memperoleh kebaikan, kalau buruk, maka tanggung sendiri akibat-akibatnya.[34]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika saja setiap umat beragama memberikan kebebasan kepada dirinya dan orang lain dalam memilih agama, yang pasti konflik antaragama tidak akan ada. Lebih dari itu, akan muncul sikap demokratis, jujur, terbuka, kritis dan dinamis dalam beragama. Dalam konteks ini, dialog antaragama akan berjalan dengan sendirinya, bahkan bukan hanya sekedar untuk menciptakan kerukunan atau toleransi, tapi juga saling memahami posisi masing-masing sebagai wahana untuk saling belajar, memperkaya, menyuburkan atau memperdalam pengalaman keagamaan serta mencari makna terdalam bagi kehidupan masing-masing.
3. Kebenaran bersifat universal
Adalah wajar jika seorang pemeluk agama mengklaim bahwa agama yang dianutnya-lah yang benar. Beragama tanpa disertai klaim kebenaran pada dirinya tidak ada artinya. Agama tanpa klaim kebenaran ibarat pohon tak berbuah. Agama tanpa adanya klaim kebenaran -- yang oleh Whitehead disebut dogma, atau oleh Fazlur Rahman disebut normatif (transcendent aspect)--, maka agama sebagai bentuk kehidupan (form of life) yang distinctive tak akan punya kekuatan simbolik yang bisa menarik pengikutnya.[35]
Hanya saja klaim kebenaran agama yang diyakini seseorang tidak sepantasnya menafikan agama orang lain, apalagi diikuti dengan pemaksaan kehendak, hingga jatuh pada radikalisme, ekstremisme, bahkan terorisme.
Menurut Alquran, kebenaran bersifat universal. Artinya kebenaran itu tidak terbatas oleh ruang dan waktu, sehingga kebenaran itu ada pada siapa saja, di mana saja dan kapan saja.
Sebagai salah satu contoh, Alquran menyatakan bahwa agama yang diterima di sisi Allah Swt. adalah al-Islâm.[36] Dalam ayat lain dinyatakan bahwa siapa yang menganut agama selain al-Islâm, maka agamanya itu sekali-kali tidak akan diterima dan di hari Akhir nanti dia termasuk orang-orang yang rugi.[37]
Menurut Ibnu Taymiyyah, sebagaimana yang dikutip oleh Nurcholish Madjid, kata al-Islâm mengandung pengertian al-istislâm (=sikap berserah diri) dan al-inqiyât (=tunduk dan patuh) serta mengandung pula makna al-ikhlâsh (=tulus). Maka, tidak boleh tidak, dalam agama harus ada sikap berserah diri kepada Tuhan dan meninggalkan berserah diri kepada selain-Nya. Dari sudut pandang inilah dapat dipahami bahwa menganut agama selain al-Islâm atau yang tidak disertai sikap penuh pasrah dan berserah diri kepada Tuhan adalah suatu sikap yang salah. Sekalipun secara sosiologis dan formal seseorang adalah beragama Islam atau muslim, namun jika tidak ada padanya nilai-nilai al-Islâm tersebut, maka dia juga termasuk kategori keagamaan yang salah.[38]
Senada dengan pendapat Nurcholish Madjid di atas, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha mengatakan bahwa seorang "muslim" yang benar adalah mereka yang terhindar dari noda-noda syirik yang menyekutukan Tuhan, tapi beramal dengan didasari ketulusan dan kepasrahan kepada Tuhan di mana saja dan kapan saja serta dari agama manapun juga.[39]
Mengapa agama yang benar adalah agama yang memiliki nilai-nilai al-Islâm (dalam arti tunduk dan pasrah hanya kepada Tuhan), adalah terkait dengan sifat alamiah (fitrah) manusia untuk mengabdi atau menyembah. Persoalannya adalah kepada apa atau siapa manusia mengabdi atau menyembah. Jika hasrat itu tidak tersalurkan dengan baik dan benar, maka akan menimbulkan kesengsaraan, yaitu menjadikan manusia terhalang dari memperoleh harkat dan martabatnya sendiri. Oleh karena itulah manusia harus mengabdi dan menyembah hanya kepada Tuhan, Wujud Mutlak yang benar-benar Mutlak, sehingga Mutlak pula tidak ada bandingan atau padanan. Jadi, al-Islâm adalah merupakan perwujudan penyaluran naluri dan hasrat alamiah manusia untuk mengabdi dan menyembah ke arah sasaran pemujaan yang benar dan dengan cara yang benar, sehingga memiliki konsekuensi yang benar pula.[40]
Jadi setiap agama yang memiliki nilai-nilai al-Islâm, yaitu sikap pasrah dan tunduk hanya kepada Tuhan, maka agama itu adalah benar, bahkan dari bangsa jin sekalipun.[41]
Sikap universal juga dilakukan oleh Alquran ketika menanggapi pengakuan umat Yahudi dan Nasrani (ahli kitab) yang saling mengklaim bahwa hanya mereka yang masuk surga,[42] dan mereka sama sekali tidak akan pernah masuk neraka.[43] Dan bahkan di antara kedua umat beragama tersebut terlibat polemik untuk saling menjatuhkan.[44] Alquran membantah klaim mereka dengan menggunakan argumentasi yang universal, yaitu semua manusia yang patuh dan tunduk hanya kepada Tuhan dan berbuat baik, tidak ada kekhawatiran dan kesedihan bagi mereka.[45] Sebaliknya siapa yang berbuat dosa dan tidak menyadari hal itu, orang itulah yang masuk neraka.[46]
Pada ayat lain, Alquran kembali mengemukakan sebuah argumen yang umum dan universal, untuk menanggapi pengakuan umat Yahudi dan Nasrani yang mengklaim diri mereka sebagai orang yang paling dikasihi Tuhan. Dalam hal ini Alquran mengatakan bahwa mereka juga adalah manusia biasa. Allah Swt. memperlakukan sama di antara umat manusia, mengampuni atau menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya.[47]
Sikap universal juga nampak pada saat Alquran menanggapi klaim umat Yahudi dan Nasrani yang masing-masing mengatakan bahwa Nabi Ibrahim as. adalah dari kelompok mereka. Nabi Ibrahim, tegas Alquran, bukan dari kelompok Yahudi atau Nasrani, tapi dia adalah seorang manusia yang patuh dan tunduk hanya kepada Allah Swt., tidak kepada yang lain-Nya.[48]
Sikap universal ini, sebagaimana yang direkam oleh Alquran, pernah juga dipraktikkan oleh Nabi Musa As. beserta pengikut beliau (umat Yahudi) dan Nabi Isa as. beserta al-Hawâriyyîn (umat Nasrani), ketika mereka berhadapan dengan orang-orang yang mendustakan mereka. Dengan tegas mereka mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang tunduk dan pasrah hanya kepada Allah Swt..[49]
Oleh karena itulah, lewat Alquran, Allah Swt. memberi tuntunan kepada Nabi Muhammad Saw. beserta umat Islam, agar jika berhadapan dengan orang-orang yang menentang mereka, harus dengan sikap universal dengan mengatakan: "kami adalah orang-orang yang tunduk dan pasrah hanya kepada Allah Swt.".[50]
Demikianlah beberapa ayat Alquran yang dapat dijadikan contoh sehubungan dengan adanya klaim kebenaran pada setiap pemeluk agama. Kebenaran, menurut Alquran, bersifat universal, tidak parsial. Dan jika semua pemeluk agama menyadari hal ini, maka titik temu agama-agama akan mudah diidentifikasi, dan ini tentunya akan membawa pada dialog antaragama yang konstruktif.
4. Doktrin supersessionisme: legitimasi agama-agama sebelumnya
Dalam sejarah agama-agama, hampir dapat dipastikan bahwa setiap agama lahir didahului oleh agama sebelumnya. Dan di setiap agama yang datang kemudian itu, selalu muncul klaim sebagai pengganti bagi agama sebelumnya. Hal itu tentu saja sulit diterima oleh pemeluk agama yang lebih dahulu.
Faham atau keyakinan doktrinal-teologis yang mengklaim bahwa agama yang datang belakangan berfungsi meng-abrogasi atau menggeser agama sebelumnya itulah yang disebut dengan doktrin supersessionisme.[51]
Dalam sejarah agama-agama Semitik (Yahudi, Nasrani dan Islam) misalnya, umat Yahudi adalah yang pertama kali jengkel dan marah atas klaim umat Nasrani yang menganggap bahwa kedatangan Isa As. atau Yesus berarti mengakhiri eksistensi keabsahan agama Yahudi. Semangat supersessionisme telah mendorong umat Nasrani ikut mendukung Nazi di Jerman dalam perang dunia ke-2 yang telah membantai ribuan umat Yahudi.[52]
Dan ketika Nabi Muhammad Saw. pada gilirannya menyatakan dirinya sebagai utusan Allah Swt., juga dirasakan sebagai mengakhiri agama-agama sebelumnya. Dalam Alquran, jelas sekali digambarkan keberatan pemeluk agama sebelumnya, terutama umat Yahudi dan Nasrani terhadap kedatangan Islam.[53]
Islam hingga sekarang diuntungkan dengan tiadanya klaim kemunculan agama baru yang memperoleh sukses besar. Secara normatif, kenyataan ini tentu saja terkait dengan doktrin Alquran yang mengatakan bahwa nabi Muhammad Saw. adalah Nabi dan Rasul terakhir, penutup para Nabi dan Rasul.[54]
Kenyataan sejarah dan pernyataan Alquran tersebut adalah bukti bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah benar-benar nabi dan rasul terakhir dalam rangkaian kenabian dan kerasulan sepanjang sejarah keagamaan umat manusia. Dan tentunya agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw. adalah agama yang terakhir dan paling memadai dan sempurna.
Menurut Fazlur Rahman, beberapa modernis muslim berkeyakinan bahwa dengan agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw. beserta kitab sucinya, manusia dapat dianggap telah mencapai kedewasaan rasional dan oleh karena itu tidak diperlukan lagi wahyu Allah Swt., tetapi karena umat manusia masih mengalami kebingungan moral dan tidak bisa mengimbangi derap kemajuan ilmu pengetahuan, maka agar konsisten dan berarti, argumentasi ini harus ditambahkan dengan bahwa kedewasaan moral seseorang tergantung pada perjuangannya yang terus menerus mencari petunjuk dari kitab-kitab suci yang telah diturunkan Allah Swt., khususnya Alquran.[55]
Persoalannya sekarang, apakah kedatangan Islam bertujuan untuk menghapus semua agama sebelumnya?
Pernyataan Alquran mengenai status Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul terakhir atau sebagai penutup para nabi dan rasul menggunakan istilah "khâtam" (khâtam al-nabiyyîn) yang menurut Nurcholish Madjid makna literalnya adalah cincin, yaitu cincin pengesahan dokumen. Oleh karena itulah fungsi Muhammad Saw. adalah memberi pengesahan kepada kebenaran kitab-kitab suci dan ajaran agama para nabi dan rasul Tuhan sebelumnya.[56]
Hal ini sesuai dengan ayat-ayat Alquran yang menyatakan bahwa Alquran berfungsi sebagai pembenar dan penjelas kitab-kitab suci sebelumnya.[57] Jadi, jelas sekali bahwa Alquran secara eksplisit, dan sekaligus pula secara implisit memberikan legitimasi atau pengesahan terhadap kitab-kitab suci sebelumnya.
Legitimasi atau pengesahan Alquran terhadap kitab-kitab suci terdahulu berarti; pertama, penegasan bahwa para penganut agama terdahulu, khususnya Yahudi, Nasrani dan yang tergolong ahli kitab, dibenarkan menjalankan ajaran agama mereka secara benar dan sungguh-sungguh; kedua, bahwa Alquran mendukung kebenaran dasar ajaran agama-agama terdahulu, tapi juga mengujinya dari kemungkinan penyimpangan oleh para pemeluknya karena interes tertentu.
Jadi kedatangan nabi Muhammad Saw. bukan untuk menggeser eksistensi dan meng-abrogasi keabsahan agama-agama sebelumnya, tetapi mengajarkan tentang kontinuitas agama-agama Tuhan, sekaligus ajaran tentang perkembangan agama-agama Tuhan dari masa ke masa. Adanya kontinuitas dan konsistensi suatu ajaran merupakan bukti keautentikan, keabsahan dan kebenaran ajaran tersebut.
Oleh karena itulah, jika ada pendapat yang mengatakan bahwa diutusnya nabi Muhammad Saw. sebagai penutup para nabi dan rasul, dan itu berarti agama dan wahyu Ilahi kepada para nabi dan rasul sebelumnya telah disempurnakan dan tercakup dalam Alquran sebagai wahyu Ilahi yang terakhir, maka setelah diutusnya Nabi Muhammad Saw. dan diturunkannya Alquran, agama yang sah hanya agama Islam dan kitab suci yang berlaku hanya Alquran saja adalah pendapat yang berlebihan.
Pemahaman seperti ini sesuai dengan pendapat Abul Kalam Azad yang mengatakan bahwa Alquran tidak pernah meminta para penganut agama lain untuk menerima Alquran sebagai kepercayaan atau iman mereka yang baru. Bahkan sebaliknya, Alquran meminta agar mereka kembali kepada ajaran agama mereka yang murni dengan cara membuang jauh-jauh kepercayaan tambahan yang telah mencemari agama mereka, serta menghidupkan kembali dan tetap setia kepada agama asli tersebut. Manakala mereka melaksanakannya, maka tujuan Alquran pun terpenuhi. Karena kalau seseorang kembali kepada agamanya yang murni, maka dia akan menemukan bahwa apa yang terkandung di dalam kebenaran tersebut sepenuhnya sama dengan apa yang diajukan oleh Alquran.[58]
D. Penutup
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan:
1. Dialog antaragama merupakan sesuatu yang sangat urgen dan signifikan, karena ia merupakan rekonsiliasi dari pluralisme agama. Dengan dialog antaragama diharapkan terjadi pertukaran nilai dan informasi keagamaan antar pemeluk agama yang berbeda untuk mencapai bentuk kerja sama dalam semangat kerukunan. Dengan demikian agama menjadi berfungsi dan dapat diberdayakan sebagaimana mestinya.
2. Alquran sebagai kitab suci agama Islam tentu saja tidak melupakan masalah hubungan antaragama, karena Alquran sendiri turun ditengah-tengah masyarakat yang telah memeluk agama sebelumnya. Paling tidak ada empat paradigma atau prinsip yang diajarkan Alquran untuk membangun dialog antaragama, yaitu: kesadaran akan perbedaan, kebebasan beragama, kebenaran bersifat universal dan doktrin supersessionisme Alquran sebagai legitimasi bagi agama-agama sebelumnya.

Daftar Pustaka

Al-Qur’an al-Karim.
Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, Yogayakarta, Pustaka Pelajar, 1997, Cet.II,
____. Studi Agama Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996.
Ali, A. Mukti. “Agama, Moralitas dan Perkembangan Kontemporer” dalam Mukti Ali, dkk., Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1998
____. “Ilmu Perbandingan Agama; Dialog, Dakwah dan Misi” dalam Burhanuddin Daya, dkk., (redaktur), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda. Jakarta, INIS, 1992.
Azad, Abul Kalam. Konsep Dasar Al-Qur'an. terj. Ary Anggari, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1991.
Azharinoer, Kautsar. "Passing Over’ Memperkaya Pangalaman Keagamaan” dalam Passing Over Melintasi Batas Agama, Jakarta, PT Gramedia, 1998.
Farmawiy, Abd al-Hayy al-. Metode Tafsir Maudhu'iy, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Faruqi, Ismail Raji al-. Islam and Other Faiths. USA, The Islamic Foundation and The International Institute of Islamic Thought, 1998.
Hendropuspito, D. Sosiologi Agama, Yogyakarta, Kanisius, 1990.
Hidayat, Komaruddin. “Membangun Teologi Dialogis dan Inklusif” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over Melintasi Batas Agama, Jakarta, PT Gramedia, 1998.
____. Tragedi Raja Midas, Jakarta, Paramadina, 1998.
Imarah, Muhammad. Islam dan Pluralisme. terj. Abdul Hayyie Al-Kattanie, Jakarta, Gema Insani Press, 1999.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung, Mizan, 1998, Cet VIII.
Machasin. Menyelami Kebebasan Manusia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996.
Madjid, Nurcholish. “Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islâm” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over Melintasi Batas Agama, Jakarta, PT Gramedia, 1998.
____, “Konsep Muhammad Saw. Sebagai Penutup Para Nabi: Implikasinya Dalam Kehidupan Sosial serta Keagamaan” dalam Budi Munawar Rachman (ed.), Kontekstualisai Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta, Paramadina, 1995.
____,, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Paramadina, 1992.
Min, Anselm Kyongsuk. “Dialectical Pluralism and Solidarity of Others Toward a New Paradigm” dalam Jurnal of the American Academy of Religion, Vol. 63 No. 3, Fall 1997.
Muchtarom, Zaini. “Bagaimana Mencermati Dialog?” dalam Abdurrahman, dkk., (ed.), 70 Tahun H. A. Mukti Ali, Agama dan Masyarakat., Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993.
Natsir, Ismet. “Ruang Gerak Kebebasan Beragama di Indonesia” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over Melintasi Batas Agama, Jakarta, PT Gramedia, 1998.
Neufeldt, Victoria (ed.), Webster’s New World College Dictionary, USA, Macmillan, 1996.
Rahman, Fazlur. Tema Pokok Alquran, terj. Anas Mahyuddin, Bandung, Pustaka, 1983.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsîr Al-Manâr, Juz 3 dan 12, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.
Shihab, Alwi. Islam Inklusif, Bandung, Mizan, 1999.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Alqur­`an, Bandung, Mizan, 1999.
Streng, Frederick J. Understanding Religious Life, California, Wadsworth, Inc., 1985.
Swidler, Leonard. “The Dialogue Decalogue; Ground Rulers for Interreligious, Interideological Dialogue” dalam Jurnal Al-Jami'ah, No. 57, Tahun. 1994. Syamsuddin, M. Din. “Agama-Agama Dunia: Masalah Interaksi dan Konvergensi” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over Melintasi Batas Agama, Jakarta, PT. Gramedia, 1998.
*Penulis adalah dosen tetap pada Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin, menyelesaikan pendidikan S.2 pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[1]Dalam perspektif "teologi universal", agama merupakan manifestasi dari kesadaran manusia tentang realitas tertinggi (Tuhan) dan pengalaman manusia dalam berhubungan dengan-Nya, yang dilambangkan dengan keragaman kata oleh bahasa-bahasa manusia itu sendiri. Keragaman ini disebabkan oleh keterbatasan manusia dalam mengungkapkan kesadaran dan pengalaman keagamaannya. Namun secara esensial, agama-agama sebagai manifestasi dari kesadaran dan pengalaman keagamaan manusia tersebut, sesungguhnya memiliki kesamaan yang mendasar. Argumentasi inilah yang menjadi landasan bagi "teologi universal". M. Din Syamsuddin, “Agama-agama Dunia: Masalah Interaksi dan Konvergensi” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over Melintasi Batas Agama, (Jakarta: PT Gramedia, 1998), h. 216-217.
[2]A. Mukti Ali, “Agama, Moralitas dan Perkembangan Kontemporer” dalam Mukti Ali, dkk., Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998), h. 7-8.
[3]Penjelasan secara lengkap tentang metode Tafsir Maudhu’iy dapat dilihat pada Abd al-Hayy al-Farmawiy, Metode Tafsir Maudhu'iy, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h. 35-36 atau M. Quraish Shihab, Wawasan Alqur­`an, (Bandung: Mizan, 1999), h. xii-xiii.
[4]Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1998), cet VIII, h. 327.
[5]Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 179.
[6]Frederick J. Streng, Understanding Religious Life, (California: Wadsworth, Inc., 1985), pp. 237-238.
[7]Leonard Swidler, “The Dialogue Decalogue; Ground Rulers for Interreligious, Interideological Dialogue” dalam Jurnal Al-Jami'ah, No. 57, Tahun. 1994, p. 141.
[8]A. Mukti Ali, op. cit.,, h. 8.
[9]D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 175.
[10]Leonard Swidler, op. cit., p. 142-144.
[11]Ibid, h. 144. Bandingkan dengan A. Mukti Ali, “Ilmu Perbandingan Agama; Dialog, Dakwah dan Misi” dalam Burhanuddin Daya, et al. (redaktur), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta: INIS, 1992), h. 209-211.
[12]Zaini Muchtarom, “Bagaimana Mencermati Dialog?” dalam Abdurrahman, dkk., (ed.), 70 Tahun H. A. Mukti Ali, Agama dan Masyarakat, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993), h. 483.
[13]Victoria Neufeldt (ed.), Webster’s New World College Dictionary, (USA: Macmillan, 1996), p. 1040.
[14]M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, (Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 1997), Cet.II, h. 105.
[15]Anselm Kyongsuk Min, “Dialectical Pluralism and Solidarity of Others Toward a New Paradigm” dalam Jurnal of the American Academy of Religion, Vol. 63 No. 3, Vol. 1997, p. 592.
[16]Lihat Q.S. Hud/11 ayat 118.
[17]Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr Al-Manâr, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz 12, h. 193.
[18]Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999), h. 56.
[19]Muhammad Imarah, Islam dan Pluralisme, terj. Abdul Hayyie Al-Kattanie (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 35.
[20]Lihat Q.S. al-Hujurât/49 ayat 11.
[21]Lihat Q.S. al-Zumar/39 ayat 18.
[22]Lihat Q.S. al-Mâidah/5 ayat 48.
[23]Lihat Q.S. Yûnus/10 ayat 19 dan Lihat Q.S. al-Baqarah/2 ayat 213.
[24]Menurut Nurcholish Madjid, ungkapan satu umat atau umat yang tunggal, maksudnya adalah bahwa manusia sejak semula keberadaannya menganut tauhid, yaitu pemutusan sikap pasrah sepenuhnya hanya kepada Allah Swt.. Tetapi kemudian mereka berselisih karena perbedaan penafsiran terhadap kebenaran yang tunggal itu. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), h.179-181.
[25]Menurut Machasin, daya rûh inilah yang membuat manusia mampu menciptakan konsep atau berpikir. Daya tersebut disebut akal atau daya berpikir. Dengan ruh, manusia mempunyai kemungkinan-kemungkinan yang secara relatif tidak terbatas (bebas). Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h.119-120.
[26]Lihat Q.S. al-Sajadah/32 ayat 7-9.
[27]Lihat Q.S. al-Insân/76 ayat 3.
[28]Ismail Raji al-Faruqi, Islam and Other Faiths, (USA: The Islamic Foundation and The International Institute of Islamic Thought, 1998), p.307.
[29]Ismet Natsir, “Ruang Gerak Kebebasan Beragama di Indonesia” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), op. cit., h. 126.
[30]Kautsar Azhari Noer, "Passing Over’ Memperkaya Pangalaman Keagamaan” dalam Ibid., h. 265.
[31]Lihat Q.S. al-Baqarah/2 ayat 256.
[32]Lihat Q.S. Yûnus/10 ayat 99.
[33]Lihat Q.S. al-Kahfi/18 ayat 29
[34]Lihat Q.S. Yûnus/10 ayat 108.
[35]M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 49.
[36]Lihat Q.S. Ali ‘Imrân/3 ayat 19.
[37]Lihat Q.S. Ali ‘Imrân/3 ayat 85.
[38]Nurcholish Madjid, op. cit., h. 181-182.
[39]Muhammad Rasyid Ridha, op. cit., juz 3, h.257.
[40]Nurcholish Madjid, “Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islâm” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), op. cit., h. 10-13.
[41]Lihat Q.S. al-Jin/72 ayat 14.
[42]Lihat Q.S. al-Baqarah/2 ayat 111.
[43]Lihat Q.S. al-Baqarah/2 ayat 80.
[44]Lihat Q.S. al-Baqarah/2 ayat 113.
[45]Lihat Q.S. al-Baqarah/2 ayat 112.
[46]Lihat Q.S. al-Baqarah/2 ayat 81.
[47]Lihat Q.S. al-Mâidah/5 ayat 18.
[48]Lihat Q.S. Ali ‘Imrân/3 ayat 65-67.
[49]Lihat Q.S. Ali ‘Imrân/3 ayat 52 dan Lihat Q.S. Yûnus/10 ayat 84.
[50]Lihat Q.S. al-'Ankabût/29 ayat 46.
[51]Komaruddin Hidayat, “Membangun Teologi Dialogis dan Inklusif” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), op. cit., h. 40.
[52]Ibid.
[53]Lihat Q.S. al-Baqarah/2 ayat 120.
[54]Lihat Q.S. al-Ahzâb/33 ayat 40.
[55]Fazlur Rahman, Tema Pokok Alquran, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1983), h. 118-119.
[56]Nurcholish Madjid, “Konsep Muhammad Saw. Sebagai Penutup Para Nabi: Implikasinya Dalam Kehidupan Sosial serta Keagamaan” dalam Budi Munawar Rachman (ed.), Kontekstualisai Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), h.528.
[57]Lihat Q.S. Yûnus/10 ayat 37.
[58]Abul Kalam Azad, Konsep Dasar Al-Qur'an, terj. Ary Anggari (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 155.

[AC1]

Tidak ada komentar: