Senin, 27 Oktober 2008

Zakat dalam Perspektif Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari

Oleh Suhaimi

Sekilas tentang Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari lahir dari keluarga suami isteri pasangan Abdullah dan Aminah, penduduk desa Lok Gabang Martapura. Dalam keluarga inilah al-Banjari pertama kali memperoleh pendidikannya sampai usia 8 tahun. Selama itu tampak ketinggian intelegensinya di mata orang tuanya dan masyarakat sekitarnya. Banyak “legenda” berkembang di sekitar keistimewaannya ini.
Sejak usia 8 tahun al-Banjari memasuki pendidikan dalam keraton Banjar Martapura sampai usianya mencapai 30 tahun. Keberuntungan yang diperoleh al-Banjari ini bermula dari suatu peristiwa di Lok Gabang, di mana Sultan Khamidullah (Sultan Kuning) yang sedang mengontrol keadaan rakyatnya bertemu dengan al-Banjari yang waktu itu berusia 8 tahun, dan tertarik oleh kecerdasan anak tersebut terutama dalam kemampuannya melukis alam. Sultanpun memungut al-Banjari menjadi anaknya dan membawanya ke istana untuk dididik dalam kalangan keraton, setelah mendapat persetujuan dari pihak keluarganya. Dia diperlakukan seperti anak sendiri oleh sultan dalam memberikan pendidikan dalam keraton.
Dalam usia 30 tahun al-Banjari mulai memasuki fase ketiga pendidikannya di tanah Suci. Dalam hal ini sangat besar jasa Sultan Tamjidullah (1734-1759 M), yang bersedia membiayai keberangkatannya ke sana dan selama menuntut ilmu di tempat itu. Sebelumnya Sultan juga sudah mengawinkan al-Banjari dengan seorang perempuan bernama Vajut, yang waktu ditinggal pergi ke tanah suci sedang hamil. Mungkin dengan perkawinan ini, sultan bermaksud lebih mengikat hati al-Banjari terhadap kampung halamannya bila sudah selesai menuntut ilmu karena ada isteri yang sudah lama menunggu kepulangannya.
Di Mekkah al-Banjari belajar pelbagai ilmu pengetahuan dengan berguru kepada syekh/ulama yang mengajar di Masjid al-¦ar±m. Di antara gurunya yang terkenal ialah Syekh ‘A¯±ill±h bin A¥mad al-Azh±riy (w. 1161 H.). Banyak ragam ilmu pengetahuan yang dipelajarinya, baik ilmu pengetahuan agama dan bahasa Arab maupun ilmu pengetahuan alam, seperti geografi, biologi, matematika, geometri, dan ilmu falak (astronomi). Lebih kurang 30 tahun dia mempelajari ilmu-ilmu tersebut di kota ini. Selama itu pula dia bertempat tinggal di sebuah rumah yang terletak di kampung Syamsyiah, tidak jauh dari Masjid al-¦ar±m rumah tersebut dibelikan oleh Sultan Tamjidullah, yang sekarang masih ada dalam pemeliharaan Syekh Ali Sulaiman Banjar, dan terkenal dengan sebutan “Barkat Banjar”.
Banyak teman dan kenalan al-Banjari selama belajar di Mekkah. Di antara mereka yang berasal dari Nusantara ialah: Abdul as-Shammad al-Falimbani dari Palembang (Sumatera Selatan), Syekh Ismail ibn Abdullah al-Khalidi al Minankabawi dari Minangkabau (Sumatera Barat), Abd al-Wahab Bugis (Jakarta), Syekh Daud ibn Abdullah Fatani, dan kemungkinan juga termasuk Syekh Muhammad Nafis. Setelah lebih kurang 30 tahun lamanya di Mekkah, al-Banjari bersama tiga orang temannya (‘Abd al-Shammad al-Falimbanni, ‘Abd al-Wahab Bugis, dan ‘Abd al-Rahman Masri), yang kemudian disebut “empat serangkai” berkemauan keras untuk meneruskan studinya ke Mesir, sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan dunia Islam waktu itu. Mereka pun berangkat ke sana dan mampir dulu di Madinah, untuk ziarah ke kubur Rasulullah saw.
Cita-cita al-Banjari dan teman-temannya untuk menuntut ilmu di Mesir tidak tercapai. Di Madinah mereka bertemu dengan seorang ulama dari Mesir bernama Syekh Muhammad ibn Sulayman al-Kurdy (w. 1196 H.) yang mengajar di Masjid Nabawi Madinah. Dari ulama inilah al-Banjari berguru selama beberapa tahun dan sering terlibat dan bertukar pikiran di bidang keagamaan. Tidak ada penjelasan tentang ilmu apa saja yang dipelajari dari ulama ini. Kemungkinan dia juga belajar ilmu fiqih syafi’iyah. Namun dari hasil pertukaran pendapat tersebut, sang guru mengatakan ketinggian ilmu al-Banjari, sehingga dia tidak menganggap perlu lagi bagi muridnya itu pergi ke Mesir untuk meneruskan studinya dan disarankan segera pulang ke Nusantara.

Zakat menurut Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
Menurut Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari bahwa zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Siapa yang mengingkarinya baik dari segi wajibnya atau dari segi jumlah yang wajib dikeluarkan yang telah disepakati oleh para ulama, maka ia dianggap keluar dari agama Islam. Karena itu orang yang enggan mengeluarkan zakat hartanya dapat diperangi dan jumlah zakat wajib dikeluarkan dapat diambil dengan kekerasan, sekalipun melalui peperangan.
Zakat itu dapat dibagi menjadi dua mazam yakni: Pertama zakat badan dan kedua zakat mal yakni zakat harta, zakat harta ini kadang-kadang dihubungkan dengan harta itu sendiri maka yang seperti ini ada lima macam, yaitu (1) zakat binatang ternak, (2) zakat tumbuh-tumbuhan, (3) Zakat emas dan perak, (4) zakat rikaz yakni emas, dan perak peninggalan orang terdahulu yang hidup sebelum agama Islam tersebar pada tempat yang pernah dihuni oleh manusia atau daerah yang belum pernah dihuni manusia, (5) zakat tambang yaitu emas dan perak yang diperoleh dari usaha menambang. Dan kadang-kadang zakat itu dihubungkan dengan nilainya saja seperti dalam zakat harta perdagangan.
Berkaitan dengan pembayaran zakat fitrah, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mengemukakan bahwa diwajibkan zakat fitrah dengan beberapa syarat yang diantaranya:
1. Menemui akhir bulan ramadhan dan awal bulan syawal
2. yang mengeluarkan zakat itu adalah beragama Islam, yang bukan Islam tidaklah wajib.
3. Yang mengeluarkan zakat fitrah itu adalah orang yang merdeka baik seluruh maupun sebagiannya.
4. Yang mengeluarkan zakat fitrah itu mampu.
5. Disyaratkan pula zakat fitrah yang dikeluarkan itu lebih baik pembayar hutang sekalipun hutang yang tertunda pembayarannya.
Adapun kewajiban mengeluarkan zakat fitrah ini jumlahnya adalah 1/10 atau 1/5 dan tidak cacat barangnya atau yang terbaik, yaitu yang lebih mengenyangkan bukan yang mahal harganya. Misalnya gandum lebih utama dari kurma, baru jagung, baru anggur baru susu kering dan baru keju. Sementara itu menunggu kedatangan keluarga dan teman sejiran lebih af«al dalam mengeluarkan zakat.
Adapun orang yang berhak menerima zakat (musta¥iq) ialah delapan macam yaitu, (1) fakir, (2) miskin, (3) amil zakat, (4) mu’±llaf, (5) budak yang dijanjikan akan dimerdekakan (mukatab), (6) orang yang berhutang (7) f³ sab³lill±h dan (8) ibnu sab³l.
Dalil yang menunjukkan orang-orang yang berhak menerima zakat ini ialah ayat yang berbunyi:
إنما الصدقة للفقراء والمسكين والعملين عليها والمؤلفة قـلوبهم وفى الرقـاب والغارمين وفى سبيل الله وابن السبيـل فريضة من الله والله عليم حكيم (التوبة: 60)
Artinya:
Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (at-Taubah: 60)
Menurut Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari bahwa fakir yang menjadi penerima zakat ialah orang yang tidak mempunyai suami, tidak mempunyai ayah, nenek, anak, cucu, yang wajib menerima nafkah yang memadai kepadanya dan tidak pula mempunyai harta dan usaha halal, yang layak, yang akan dapat memenuhi keperluan hidupnya seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal dan segala keperluan primer yang lainnya untuk dirinya dan untuk orang yang menjadi kewajibannya memberi nafkah pada masa kebiasaan hidup manusia. Umpamanya seseorang memerlukan belanja setiap harinya 10 dirham tetapi yang diperoleh hanya 2 atau 3 dirham sekalipun tubuhnya sehat dan meminta-minta kepada orang.
Jika seseorang memiliki rumah yang menjadi tempat kediamannya namun masih memerlukan yang lebih banyak, maka ia masih dianggap fakir. Sedangkan seseorang yang tidak bekerja karena menuntut ilmu agama walaupun menurut kebiasaannya ia mampu bekerja maka masih dihitung fakir dan diberikan zakat. Hak ini karena kemanfaatan ilmu bukan hanya untuk dirinya saja tetapi juga untuk orang lain. Sedangkan jika seseorang sibuk beribadah untuk dirinya, maka tidak berhak zakat.
Orang miskin yang menjadi penerima zakat ialah yang memiliki harta atau usaha yang halal lagi layak dengan kedudukannya tetapi tidak mencukupi untuk belanja dirinya dan untuk mereka yang menjadi kewajibannya memberi nafkah pada masa yang kebiasaannya manusia dapat hidup umpamanya diperlukan biaya hidup 10 dirham tapi yang ada hanya 17 dirham atau 8 dirham. Sedangkan orang yang diberikan nafkah oleh ayahnya, nenek, anak, cucu, suami bukanlah dikatakan fakir dan bukan pula miskin karena ia dianggap mampu dengan nafkah itu dan tidak boleh mengambil bagian fakir miskin. Namun boleh mengambil bagian mu’allaf jika ia mu’allaf atau bagian orang yang berhutang zakat kepada anak cucunya yang diberikan nafkah oleh ayahnya atau nenek dengan syarat-syarat bukan karena si fakir miskin tetapi karena mu’allaf, berhutang, ibnu sab³l, dan lainnya.
Kalau isteri menerima nafkah dari suaminya namun dari jumlah tidak mencukupi karena suaminya tidak mampu atau makan isterinya lebih banyak dari orang biasa, maka boleh isteri mengambil zakat sekedar jumlah untuk mencukupi nafkah yang diberikan suaminya.
Fakir miskin yang belum mampu bekerja baik sebagai pengrajin atau sebagai pedagang dapat diberikan zakat sekira cukup untuk pembelanjaannya dalam masa kebiasaan orang hidup. Sedang umur yang biasa ialah 60 tahun maka kalau umur fakir atau miskin itu sudah mencapai 40 tahun, maka diberikan zakat kepadanya sekira cukup untuk biaya hidup dirinya selama 20 tahun.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dengan mengutip pendapat Ibnu Salah bahwa yang berhak menerima zakat dewasa ini hanya ada empat (1) fakir, (2) miskin, (3) orang yang berhutang dan (4) ibnu sab³l. Kalau tidak ada seorang jua maka ditahan sambil menunggu ada semua musta¥iq atau sebagainya.
Menurutnya, wajib membagikan zakat fitrah yang satu sana kepada semua musta¥iq dan tidak boleh hanya diberikan kepada satu atau dua orang saja. Demikianlah qaul yang lebih kuat dalam mazhab Syafi’i. Namun Menurutnya, dalam kitab Tu¥fah bahwa sebagian ulama yang memilih kebolehan memberikan zakat kepada tiga fakir miskin. Dinukil dari Imam Ruyani memilih pendapat selain dari mazhab Syafi’i ialah yang memperbolehkan memberikan zakat harta benda kepada tiga orang atau satu musta¥iq yang katanya ialah qaul yang dipilih karena sukar melaksanakan mazhab Syafi’i dan kalau sekiranya Imam Syafi’i masih hidup niscaya memfatwakan seperti itu. Di dalam kitab Mugn³ sebagian murid Imam Syafi’i yang di antaranya Imam Istuhri memilih pendapat yang memperbolehkan menyerahkan kepada tiga orang dalam satu musta¥iq dan pendapat ini juga menjadi pilihan Imam Subki. Azrai berkata qaul yang menyatakan wajib meratakan zakat kepada seluruh musta¥iq yang ada adalah sangat jauh, meskipun pendapat itu adalah pendapat yang ،a¥³¥ dalam mazhab, karena itu orang yang menyerahkan zakat fitrah tidak wajib meliputi kepada seluruh musta¥iq dan zakat fitrah yang satu sha’ tidak dapat dibagikan kepada tiga orang pada setiap musta¥iq menurut kebiasannya.
Pemilik zakat tidak boleh memindahkan harta zakat atau zakat fitrah dari negeri zakat yang ada dalam negeri musta¥iq zakat ke negeri lain yang ada di dalam musta¥iq agar zakat itu diberikan kepada mereka.

Konsep Zakat Produktif menurut Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari

Fakir dan miskin, menurut al-Banjari termasuk di antara delapan golongan yang berhak menerima zakat. Adanya kedua golongan ini dalam masyarakat Islam merupakan suatu pertanda kemiskinan umat, yang harus diperangi demi kesejahteraan hidup mereka di dunia ini. Untuk ini zakat bisa banyak berfungsi bila betul-betul dikelola dengan benar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Ukuran kefakiran dan kemiskinan menurut al-Banjari dihitung sampai usia rata-rata kehidupan manusia (sinn al gaib) yaitu 60 tahun. Menjelang sampai usia tersebut diperhitungkan apakah seorang mempunyai harta atau kemungkinan memperolehnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang layak berupa pangan, sandang dan papan, bagi dirinya dan orang-orang wajib menafkahinya, baik diperoleh dari orang yang menafkahinya (seperti bapak, anak, dan sebagainya), maupun diperoleh dari usahanya atau harta yang ada. Bila yang diperolehnya itu sama sekali tidak memadai maka dia disebut faq³r, dan bila tidak mencukupi maka ia disebut misk³n.
Menurut al-Banjari, memberikan zakat kepada fakir dan miskin itu tidak berbentuk uang yang bisa digunakan untuk membiayai kebutuhannya selama usia mencapai usia rata-rata 60 tahunan . Mungkin yang dimaksudnya di sini ialah bersifat konsumtif belaka. Tetapi zakat diberikan kepada mereka itu dalam bentuk sesuatu yang bersifat produktif, sehingga hasilnya bisa digunakan untuk menutupi kebutuhannya sampai usia 60 tahun. Dengan demikian setelah dia diberi zakat maka dia sudah tidak fakir atau miskin lagi yang berhak menerima zakat tetapi sudah termasuk orang kaya.
Dalam kitab Sab³lal Muhtad³n, al-Banjari merinci keadaan fakir miskin yang harus diberi zakat kepada mereka sesuai dengan kemampuan mereka dalam berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
1. Mereka yang tidak memiliki keterampilan berusaha dengan keahlian tertentu atau dengan berdagang. Kepada mereka ini diberikan zakat dalam bentuk pembelian suatu “benda” yang sewanya atau hasilnya bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Sebagai contoh al-Banjari menyebutkan: Sebidang kebun yang sewanya atau hasilnya buah-buahan bisa mencukupi kebutuhan tersebut.
2. Mereka yang mempunyai kemampuan berusaha dengan jenis-jenis keterampilan tertentu. Kepada mereka ini diberikan zakat dalam bentuk pembelian alat-alat keterampilan yang diperlukan meskipun cukup banyak. Bila diperhitungkan hasil dari usaha keterampilan tersebut belum mencukupi kebutuhan yang diperlukannya, maka bisa pula diberikan semacam sebidang kebun yang hasilnya atau sewanya bisa menambahi penghasilan usaha keterampilan itu, sehingga dia bisa memenuhi kebutuhannya secara memadai.
3. Mereka yang mempunyai kemampuan berdagang atau berniaga, kepada mereka diberikan modal berdagang sekira cukup laba perdagangannya itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bila orang itu sudah memiliki modal berdagang tetapi belum cukup untuk bisa diperkirakan labanya guna memenuhi kebutuhan hidupnya, maka diberi zakat sekedar untuk mencukupi modal tersebut.
Tetapi menurut al-Banjari semua cara pemberian zakat seperti tersebut di atas harus terlebih dahulu ada izin dari pihak imam atau pemimpin umat atau pihak penguasa.
Dari konsepsi al-Banjari tentang pengelolaan zakat bagi golongan fakir-miskin ini ada beberapa hal yang bisa disimpulkan, yaitu: Pertama harus ada pendataan orang-orang yang diperkirakan termasuk dalam kategori fakir dan miskin, yang berhak menerima zakat mengenai: Dirinya dan keluarganya yang wajib dinafkahinya, usianya, hartanya yang ada, usahanya dan kemampuannya berusaha, hasil usahanya yang ada dan sebagainya. Kedua, harus ada aparat yang mempunyai wawasan yang luas dalam mencarikan kemungkinan apa saja yang bisa diberikan kepada fakir-miskin dari zakat, agar mereka tidak termasuk lagi dalam golongan orang yang berhak menerima zakat. Ketiga, ada semacam usaha untuk mengurangi jumlah orang-orang fakir dan miskin dalam masyarakat secara berencana, meskipun lambat tetapi pasti. Keempat, segala usaha memproduktifkan zakat tersebut harus direstui oleh pemerintah. Dari semua kesimpulan tersebut jelaslah bahwa al-Banjari pemikiran yang mendalam mengenai penyaluran zakat yang bersifat produktif demi untuk meningkatkan kesejahteraan umat.

Sabtu, 20 September 2008

JAMAAH DAULAH ISLAMIYAH DAN PELACUR


Judul di atas saya pasang sebagai refleksi saya orang awam terhadap novel ”Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur”. Memoar luka seorang muslimah. Karya Muhidin M Dahlan.

Mengungkap satu kenyataan yang mungkin benar-benar terjadi. Dialah seorang gadis bernama Nidah Kirani, bercita-cita memasuki Islam secara kaffah, bergabung dengan teman-temannya dalam sebuah jamaah aliran keras untuk mendirikan Daulah Islamiyah di indonesia.

Kiran, seorang muslimah yang taat. Tubuhnya dihijabi oleh jubah dan jilbab besar, hampir semua waktunya dihabiskan untuk salat, baca Qran, dan berzikir. Dia memilih hidup yang sufistik, hidup sederhana, makan seadanya di sebuah pesantren mahasiswa.

Perjalanan selama tiga tahun ikut berjuang dalam jemaah tidak membuat Kiran bertambah kuat keislamannya tapi sebaliknya, pertentangan daya nalarnya yang kritis dengan kondisi riil dalam organisasi yang tidak lain hanya berisi dogma-dogma yang tertutup membuat dirinya memberontak dan ingin keluar dari kungkungan jemaah tersebut.

”pada akhirya ibadahku pun kembali merosot kalaupun aku terlihat menjalani ibadah, itu sekedar menjalani ritual keagamaan saja. Tubuhku saja lenggak-lenggok menghadap kiblat, namun hatiku tidak ikut dalam ritual itu. Aku sudah sebagaimana kebanyakan ibadah awam. Ibadahpun mulai malas, sekali duakali ketika azan maghrib sudah melantun rasa kosong manghampiriku, hatiku nelangsa tak tahu berbuat apa. (h.65)

Dalam keadaan kosong itulah Kiran terjerembab dalam dunia hitam. Ia memutuskan untuk keluar dari pos jamaahnya. Mengontrak kamar kos yang seadanya di pinggiran Malioboro. Ia lampiaskan frustasinya dengan free sex dan mengonsumsi obat-obat terlarang. Katanya ”aku hanya ingin Tuhan melihatku, lihat aku Tuhan, kan kutuntaskan pemberontakanku kepada-Mua” katanya setiap kali usai bercinta yang dilakukannya tanpa ada secuilpun rasa sesal.

Lihatlah Kau, apa yang Kau lakukan selama ini. Aku sudah berinfak sekian banyak, bahkan lebih besar dari yang lain, di jalan yang Engkau ridai, kalau malam aku dirikan salat, untuk mengabdi kepada-Mu semata, tapi mengapa semua itu berujung dengan kekecewaan.(h.100)

Oh kakak-kakakku, oh ibu, oh bapak, aku rela menipu kalian. Telah kukuras semua harta untuk infak setiap minggunya, dari kerja payah kalian. Untuk apa infak itu? Untuk infak jamaah, untuk perjuangan suci umat islam.

Rasa kecewa yang besar membuat kiran gelap hati, hingga membuat terjerembab dalam dunia hitam, pil-pil haram itu telah menjadi temannyaa, free sek adalah hiburannya. Tak ada lagi ibadah yang dulu selalu dilakukannya. Yang ada hanya perasaan benci dan kecewa dengan tuhan yang dilampiaskan dengan pil dan free seks.

Dari petualangan seksnya itu tersingkap topeng-topeng kemunafikan dari para aktivis yang meniduri dan ditidurinya—baik aktivis sayap kiri maupun sayap kanan (Islam)—yang selama ini lantang meneriakkan tegaknya moralitas. Bahkan terkuak pula sisi gelap seorang dosen Kampus Matahari Terbit Yogyakarta yang bersedia menjadi germonya dalam dunia remang pelacuran yang ternyata anggota DPRD dari fraksi yang selama ini bersikukuh memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Indonesia.

Aku mengimani iblis. Lantaran sekian lama ia dicaci, ia dimaki, dimarginalkan tanpa ada satupun yang mau mndengarnya. Sekali-kali bolehlah ku mendengar suara dari kelompok yang disingkirkan, kelompok yang dimarginalkan itu, supaya ada keseimbangan informasi. (h.11)

Hingga akhir cerita tak ada penyesalan atas apa yang kiran lakukan. Dia semakin mantap menempuh jalannya sebagai pelacur, dia katakan:

Oh tuhan izinkan aku mencintai-Mu dengan cara yang lain...(h.253).
Terserah Kamu Tuhan, aku tak perduli lagi......(h.252)

Demikian...

Bagaimana dengan Anda?

Minggu, 13 Januari 2008

INTEGRASI PSIKOLOGI DENGAN ISLAM

INTEGRASI PSIKOLOGI DENGAN ISLAM
(Sebuah Upaya Membangun Metodologinya)


Oleh Siti Faridah dipublikasikan oleh Habibah

Abstrak
Metodologi Psikologi Islam adalah cara cara menyusun pikiran untuk memahami kehidupan jiwa manusia, sesuai dengan penjelasan Allah. Hal ini disebabkan karena Psikologi Islam menemukan landasan filsafat ilmunya pada nilai-nilai Islam. Secara konseptual, metodologi Psikologi Islam bertolak dari aksiologi yang berdasarkan wahyu. Secara epistimologi menyangkut perumusan dan pengembangan Psikologi Islam yang memadukan antara akal dan wahyu, serta ontologi yang menetapkan substansi yang ingin dicapai. Secara operasioanal, metodologi Psikologi Islam berbicara tentang metode-metode penelitian yang ditawarkan. Dengan metodologi Psikologi Islam, maka cara pandang kita terhadap kehidupan jiwa manusia menjadi lebih utuh

Kata kunci: Metodologi konseptual, metode operasional, Psikologi Islam.
A. Pendahuluan

Menyaksikan pergumulan pemikiran tentang pembaharuan Islam di Indonesia, nampaknya ada keinginan yang kuat dari para pakar Islam, agar Islam tetap aktif memberikan warna dalam kemodernan. Usaha ini nampak ketika Islam merespon ilmu pengetahuan modern dengan ide islamisasi ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah perbincangan di seputar upaya membangun sebuah konstruksi Psikologi Islam yang mempunyai corak dan warna tersendiri, sekaligus sebagai psikologi alternatif. Sedang Psikologi umum telah terbukti banyak mengalami kegagalan di dalam memahami berbagai kehidupan jiwa manusia. [1]
Dalam lintasan sejarah, psikologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang lahir dan berkembang dari peradaban Barat yang berlandasan ilmiah empiris-sekuler yang tak berjiwa. Ketika menelaah dimensi relegius dan spiritual, ia hanya menghasilkan interpretasi yang mengandung kekosongan. Untuk mengisi kekosongan itu, kemunculan dan sekaligus pengembangan Psikologi Islam yang koheren dengan nilai-nilai ajaran Islam menjadi semacam kebutuhan. Islamisasi psikologi ini mengharuskan landasan, tujuan, ruang lingkup, metode dan fungsinya harus relevan dengan kebenaran yang bersumber pada wahyu Allah.
Dari segi pemikiran Islam, istilah Psikologi Islam memang baru muncul, tetapi secara substansinya telah ada dalam pemikiran Islam klasik, baik dalam Ilmu Tafsir, Ilmu Kalam, terlebih Ilmu Tasawuf. Hanya saja dalam pemikiran klasik tersebut diwarnai dengan pemikiran filsafat.[2]
Sebagai mazhab baru dalam bidang psikologi, Psikologi Islam mempunyai nilai tambah yang tidak dimiliki oleh psikologi kontemporer lainnya. Namun sayangnya, di kalangan psikolog muslim sendiri masih terdapat ketidakpercayaan mereka terhadap ilmu ini. Salah satu sebabnya adalah karena mereka telah terlanjur mempercayai psikologi Barat kontemporer, terutama metodologinya. Mereka juga belum memahami Metodologi Psikologi Islam. Padahal prasyarat yang sangat penting bagi suatu pengetahuan yang dapat dikategori dalam jajaran ilmu pengetahuan adalah keuniversalan metodologinya. Hal ini berlaku pula dalam membangun Psikologi Islam sebagai ilmu yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan alasan di atas, maka pembicaraan di seputar upaya membangun Metodologi Psikologi Islam ini sangat penting. Tulisan ini pada garis besarnya berisi landasan Metodologi Psikologi Islam, pendekatan-pendekatan dalam Psikologi Islam dan metode-metode dalam Psikologi Islam.

B. Pembahasan

1. Konsep Metodologi Psikologi Islam
Metodologi dalam pembahasan filsafat disebut dengan logika material yang berarti cara menyusun pikiran untuk memahami suatu hal atau keadaan.[3] Metodologi membahas konsep teoritik dari berbagai metode disertai dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing metode, yang dalam.karya ilmiah akan ditindaklanjuti dengan memilih dan menentukan metode yang digunakan.
Ada dua pendapat yang ditawarkan oleh para ahli mengenai metodologi Psikologi Islam. Pertama, Psikologi Islam harus menggunakan metode ilmu pengetahuan modern, yaitu metode ilmiah, Sebab hanya metode ilmiah yang mampu mencapai pengetahuan yang benar. Menurut pendapat ini, tak ada sains tanpa metode, bahkan sains itu sendiri adalah metode. Kedua, Psikologi Islam adalah sains yang mempunyai persyaratan ketat sebagai sains. Mengingat ciri subjeknya yang sangat kompleks, maka Psikologi Islam harus menggunakan metode yang beragam dan tidak terpaku pada metode ilmiah saja.[4]
Ketika kita membicarakan Metodologi Psikologi Islam, ada dua hal penting yang harus diperhatikan Pertama, masalah yang bersifat konseptual, Kedua, masalah yang bersifat operasional. Masalah konseptual meliputi aksiologi, epistemologi dan ontologi. Sedang masalah yang bersifat operasional adalah metode dalam Psikologi Islam itu sendiri.
Menurut Noeng Muhadjir, Filsafat Yunani kono menekankan aspek ontologi dengan menggunakan nalar secara optimal untuk memahami substansi yang menjadi objek pemikiran, baik yang ada dalam kognisi maupun yang ada dalam realitas inderawi. Tradisi ini memunculkan pengetahuan yang bersumber dari metode spekulatif. Sedang ilmu pengetahuan Barat menekankan dimensi epistemologinya pada metode ilmiah sebagai alat untuk mencari kebenaran. Asumsi dasarnya adalah bahwa kebenaran sangat tergantung kepada metode ilmiah yang digunakan, sehingga metode yang digunakan harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian, kualitas metode mencerminkan kualitas kebenaran yang diperoleh.[5]
Dalam konteks Islam, aksiologi merupakan weltanschaung (pandangan hidup) yang berfungsi sebagai landasan di dalam mengkonstruksi fakta. Dalam pandangan Islam, ilmu dan sistem nilai tidak dapat dipisahkan, keduamya saling berhubungan erat, karena ilmu merupakan fungsionalisasi ajaran wahyu. Secara aksiologi Psikologi Islam bersumber dari al-Quran yang berbunyi:
...كتـاب أنزلنـه إليك لنخرج النـاس من الظلمـت إلى النـور بـإذن ربـهم إلى صراط العـزيز الحمـيد . (إبراهـيم/14: 1 ).

“... (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. (QS. Ibrahim/14: 1).[6]
Dengan ayat di atas, maka nampaklah bahwa Islam meletakkan wahyu sebagai paradigma agama yang mengakui eksistensi Allah, baik dalam keyakinan, maupun aplikasinya dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Islam menolak sains untuk sains (science for science), namun menghendaki terlibatnya moralitas di dalam mencari kebenaran ilmu. Secara aksiologi Psikologi Islam dibangun dengan tujuan akhir untuk menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh umat (rahmat li al-‘alamin).
Secara epistemologi, metodologi Psikologi Islam merupakan jalan untuk mencari kebenaran perihal substansi yang ingin diungkapkan, epistemologi membicarakan apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Dalam masalah ini, pemaknaan aksiologik sangat berperan di dalam menentukan kebenaran epistemologik.[7] Dengan demikian, dasar epistemologinya adalah hubungan (nisbah) akal dan intuisi.
Perlu diingat bahwa Psikologi Islam adalah ilmu yang terintegrasi dengan pola pendekatan disiplin ilmu keislaman lainnya, ia memiliki kekhasan tersendiri secara paradigma maupun epistemologinya. Ketidaksamaannya dengan metodologi ilmiah secara umum tidaklah mengurangi keilmiahannya bila kita mengkritisinya dengan berpedoman kepada paradigma dan epistemologi sendiri.
Adapun ontologi berfungsi menetapkan substansi yang ingin dicapai yaitu memahami manusia sesuai dengan sunnatullahnya. Mengingat al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan yang paling dapat diandalkan, maka ayat-ayat yang membicarakan terma-terma seperti insan, basyar, nafs, aql, ruh, qalb dapat dijadikan rujukan. Dengan patokan, sejauh mana metodologi itu dapat mengejar makna dan esensi, bukan hanya gejala. Dengan alasan itu Noeng Muhajir menyatakan bahwa Psikologi Islam bermakna sebagai Psikologi yang menemukan landasan filsafat ilmunya pada nilai-nilai Islam.[8]
Psikologi Islam bagian dari Tasawuf Islam, oleh karena itu metodologi tasawuf dapat pula dijadikan patokan untuk menentukan Metodologi Psikologi Islam. Sebagai contoh metodologi secara konseptual pada tasawuf al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din. Secara aksiologi, tasawuf al-Ghazali bersumber dari wahyu, dasar epistemologinya adalah nisbah akal dan intuisi, dan dasar ontologinya adalah terma-terma seperti al-aql, al-nur dan etika/moral.[9]
Dalam pencarian kebenaran ilmu pengetahuan, aliran positivisme hanya mengakui satu kebenaran yaitu kebenaran inderawi atau kebenaran sensual yang dapat diamati dan dibuktikan oleh siapa saja. Sedang hal-hal yang bersifat metaphisik dan transendental tidak diakui kebenarannya. Sementara itu aliran rasionalisme mengakui tiga kebenaran, yaitu kebenaran imperi-sensual, kebenaran imperi-logik dan kebenaran imperi-etik.
Dengan cara pandang terhadap manusia seperti di atas, dapat kita bayangkan pecahnya kepribadian seseorang yang di satu sisi mempelejari filsafat rasionalistik ataupun positivistik dan di sisi lain diajarkan agama yang padat dengan kebenaran transendental, paradigma semacam ini diyakini dapat mengerosikan keimanan.
Dalam perkembangan filsafat ilmu sangatlah bijak cara yang ditempuh dengan membuka kesempatan yang selebar-lebarnya untuk mengintegrasikan antara ilmu dan wahyu dalam kebenaran yang bersifat monistik tanpa ada dikotomi di antara kedua kebenaran itu, sebab keduanya sama-sama memberikan kontribusi kepada manusia di dalam mencari kebenaran.
Kebenaran dalam Psikologi Islam adalah integratif, tetapi juga masih bersifat probabalistik. Maksudnya, walaupun usaha manusia mendapatkan kebenaran tercapai, namun pada hakikatnya kebenaran itu hanya bersifat probabilistik, maka usaha manusia harus selalu melewati proses yang panjang tanpa akhir untuk menuju kebenaran mutlak yang hanya milik Allah semata. Apabila terjadi kebenaran yang dicapai manusia berbeda dengan kebenaran mutlak Allah, maka kebenaran yang dicapai akal manusia itu berarti belum mampu untuk mencapai kebenaran mutlak Allah. Dengan demikian, maka pemahaman tentang jiwa manusia dengan melalui usaha-usaha ilmiah akan selalu momot nilai benar dan momot nilai salah.
Tampilan kebenaran Psikologi Islam bersifat aspektif atau menonjol pada dataran tertentu, namun pada kasus lain, aspek yang tampil bisa saja berbeda. Keadan ini bukan berarti kebenaran psikologik itu banyak. Untuk menyikapinya maka Noeng Muhadjir menawarkan konsep monisme multifaset. Imperi, kebenaran dan realitas tingkah laku manusia itu tunggal (monistik), menjadi beragam karena tampilan.[10]
Secara realitas tingkah laku manusia itu beragam. Ada yang mudah dijelaskan secara empiri-sensual, ada yang dapat dimengerti dengan penjelasan logik, ada yang memerlukan penjelasan etik. Selain itu, kebenaran ilmu pengetahuan Islam tidak selamanya harus dicari, karena ada hal-hal yang perlu disyukuri sebagai rahmat dan ada pula hal-hal yang hanya dapat dihadapi dengan sabar dan dipahami dengan mengambil hikmahnya.
Cara pandang yang mengakui bermacam-macam tampilan ini, membuat kita lebih arif di dalam menentukan metodologi yang tepat dan sesuai dengan karakteristik dari tampilan objeknya. Sebagai contoh, metodologi positivistik yang kuantitatif-statistik, sesuai dengan karakter objek yang emperi-sensual. Metodologi rasionalistik dapat digunakan untuk membangun konsep teoritik-logik. Metodologi realistik metaphisik bila kita ingin melakukan studi keagamaan yang mengakui wahyu al-Quran sebagai sumber kebenaran.
2. Pendekatan dalam Psikologi Islam
Beberapa pendekatan yang dilakukan di dalam membangun Psikologi Islam sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para psikolog muslim di masa klasik adalah pendekatan skriptualis, pendekatan falsafi/filosofis dan pendekatan tasawwufis/ sufistik.[11]
a. Pendekatan skriptualis adalah pendekatan yang mengacu kepada wahyu. Pendekatan skriptualis dalam pengkajian Psikologi Islam didasarkan pada teks-teks al-Quran atau Hadis dengan lafal-lafal yang terkandung di dalamnya merupakan petunjuk (dilalah) yang sudah dianggap jelas (sharih). Asumsi filosofisnya adalah bahwa Allah mencipatakan nafs manusia dengan segala hukum psikologisnya. Sedang prosedur metodologinya dapat ditempuh dengan empat cara yaitu Tafsir Maudhu’i (tematis), Tahlili (analisis), Maqarin (perbandingan) dan Ijmali (global). Dalam terminologi Ilmu Tafsir, pendekatan skriptualis sama dengan aliran al-Manqul.
b. Pendekatan falsafi/filosofis adalah pendekatan yang mengacu kepada akal (burhan). Pendekatan falsafi dalam pengkajian Psikologi Agama ini didasarkan atas prosedur berpikir spekulatif (sistematis, radikal dan universal yang didukung akal sehat). Pendekatan ini mengutamakan akal tanpa meninggalkan nash, hanya cara memahaminya dengan mengambil makna esensi yang tersirat di dalamnya. Jika terjadi pertentangan antara akal dan wahyu, berarti akal belum mampu menangkap pesan nash tadi. Untuk itu diperlukan interpretasi filosofis (ta’wil) terhadap lafal nash. Dalam terminologi Ilmu Tafsir pendekatan falsafi identik dengan aliran Ma’qul.
c. Pendekatan tasawwufis/sufistik adalah pendekatan yang mengacu kepada intuisi (irfan). Pendekatan sufistik dalam pengkajian Psikologi Islam didasarkan pada prosedur intuitif (al-hadsiyah), ilham dan cita-cita (al-zauqiah) dengan cara menajamkan struktur kalbu melalui proses penyucian diri (tazkiyah al-nafs) untuk membuka tabir (hijab) yang menjadi penghalang ilmu-ilmu Allah dengan jiwa manusia, hingga memperoleh ketersingkapan (al-kasyaf) dan mampu mengungkapkan hakikat jiwa sesungguhnya. Dalam terminologi Ilmu Tafsir, pendekatan sufistik disebut juga dengan Itsari.
Menurut William James, ada empat karakteristik yang dapat dipahami dalam pendekatan sufitik ini, yaitu:
1) Mereka mengutamakan perasaan
2) Dalam kondisi neurotik (syatahat)
3) Dalam kondisi puncak yang sementara tetapi mendalam
4) Apa yang diperoleh merupakan anugerah yang tidak diusahakan. [12]
Ketiga pendekatan dapat digunakan secara simultan walau ada di antaranya yang lebih dominan sesuai namanya.
3. Metode-metode Psikologi Islam
Menurut Hanna Djumhana Bastaman, metode ilmiah yang lazim dipergunakan dalam psikologi, baik kuantitatif dan kualitatif dengan teknik-tekniknya seperti wawancara, tes, eksperimen, survei bisa berlaku dalam Psikologi Islam, namun ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama, kesetaraan porsi dan fungsi antara metode kualitatif dan kuantitatif, karena ada gejala dan perilaku manusia serta peristiwa khusus yang dialami secara pribadi, seperti pengalaman keagamaan. Untuk itu metode fenomenologi dapat dipergunakan. Kedua, selain menggunakan metode ilmiah, Psikologi Islam mengakui adanya pengetahuan yang didapat melalui ilham dan intuisi dengan melalui ibadah khusyuk seperti tafakkur, shalat Istikharah, shalat tahajjud dan doa.[13] Selain itu, bentuk penelitian ada yang dinamakan dengan library research (penelitian kepustakaan) dan field research (penelitian lapangan).
Ada beberapa metode yang ditawarkan oleh para ahli dalam perumusan, penelitian dan pengembangan Psikologi Islam, yaitu:
a. Metode-Metode dalam Perumusan Psikologi Islam
Adapun metode-metode dalam perumusan Psikologi Islam meliputi: metode keyakinan, metode rasionalisasi, integrasi metode keyakinan dengan rasionalisasi, metode otoritas dan metode instuisi.[14]
1) Metode Keyakinan
Dalam metode keyakinan seseorang meyakini betul tentang kebenaran sesuatu (tanpa keraguan) yang bersumber dari al-Quran dan Hadis. Keyakinan bahwa Allah adalah pencipta kehidupan yang mengetahui seluk beluk dari makhluk ciptaan-Nya. Inilah ciri khas Psikologi Islam yang menempatkan wahyu di atas rasio.
2) Metode rasional
Metode rasional Psikologi Islam berpandangan bahwa manusia harus mempergunakan rasio secara optimal dengan menyadari keterbatasannya. Penggunaan akal ini sesuai dengan perintah Allah dalam al-Quran .
3) Metode integrasi metode keyakinan dengan rasionalisasi
Metode ini dapat digunakan untuk memahami al-Quran dan Hadis. Metode yang dipergunakan oleh mufassirin dengan Tafsir bil Ra’yi dapat pula dipergunakan pula oleh Psikolog Muslim. Contoh tafsir dari jenis ini adalah Tafsir al-Azhar karya Hamka.
4) Metode otoritas
Metode otoritas menyandarkan kepercayaan kepada orang yang mempunyai banyak pengetahuan dalam bidang tertentu seperti Tafsir bi al-Ma’tsur yang merujuk kepada penjelasan Rasulullah dan para sahabat dekatnya. Dalam Psikologi Islam juga dapat melakukan hal itu, termasuk penjelasan dari ulama yang mengetahui realitas di balik alam nyata.


5) Metode intuisi
Pendayagunaan kalbu atau hati nurani dapat membantu seseorang melihat dengan mata batinnya kenyataan yang dapat dilihat dan dirasakan oleh pancaindranya. Dan metode eksperimen spritual adalah membuat perlakuan tertentu dengan secara rohani mencoba untuk mengetahui dampaknya. Sebagai contoh membiasakan shalat malam, lalu ia berusaha mengetahui bagaimana rasa hati terhadap Tuhan dengan kebiasaan demikian.
b. Metode Penelitian dan Pengembangan Psikologi Islam
1) Pragmatis dan Metode Idealistik
a) Metode Pragmatis
Metode pragmatis adalah metode pengkajian dan pengembangan Psikologi Islam yang lebih mengutamakan aspek praktis dan kegunaannya. Metode ini sebenarnya ditransfer dari kerangka teori Barat kontemporer yang sudah mapan, teori tersebut dilegalisasi dan dijustifikasi dengan nash, hingga bernuansa islami.[15]
Kelebihan dari metode pragmatis ini adalah sifatnya yang responsif, akomodatif dan toleran terhadap perkembangan psikologi serta sangat efektif dan efesien untuk membangun disiplin baru dalam Psikologi Islam. Sedang kekurangannya terletak pada kekhawatiran terseretnya Psikologi Islam kepada frame Barat sekuler yang bertentangan dengan kode etik ilmiah-Qurani. Hal ini beralasan, karena perbedaan paradigma dan proses penyeleksian yang kurang ketat dapat membawa Psikologi Islam bercorak sekuler.
Kekhawatiran ini diungkapkan oleh Malik B. Badri dalam bukunya The Dilemma of Muslim Psychologits. Menurutnya ketidakselektifan psikolog muslim dapat menyebabkan mereka mengikuti cara hidup dan cara pandang mereka (Yahudi dan Kristen), meskipun cara itu berkualitas rendah dan tidak islami.[16] Rasulullah dalam Hadis beliau bahkan meramalkan: …”bahkan jika mereka masuk ke dalam lobang biawak pun , orang Islam tanpa pikir panjang akan mengikutinya.”[17]
Barangkali contoh kasus dalam masalah ini dapat dikemukakan apa yang dilakukan oleh Dawam Rahardjo yang cenderung menyamakan istilah super ego dengan al-nafs al-muthmainnah, ego dengan al-nafs al-lawwamah dan id dengan al-nafs al-ammarah.[18] Menurut penulis, masing-masing terma sebenarnya tidak bisa disamakan, karena masing-masing terma itu memiliki asumsi filosofis yang berbeda. Konsep al-nafs diasumsikan dari paradigma teosentris, sedang id, ego dan super ego diasumsi dari paradigma antroposentris yang menafikan makna keberagamaan dalam hidup manusia. Cara ini dapat mengakibatkan biasnya sains dan direduksinya agama ke taraf sains.
Langkah-langkah operasional dalam metode pragmatis adalah:
(1) Penguasaan disiplin ilmu modern dan penguraian kategori.
(2) Survai disiplin ilmu pengetahuan.
(3) Penguasaan khazanah Islam tahap analisis.
(4) Penemuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan.
(5) Penilaian kritis terhadap ilmu pengetahuan modern.
(6) Penilaian kritis terhadap khazanah Islam di masa kini.
(7) Survai pengetahuan yang dihadapi umat Islam.
(8) Survai pengetahuan yang dihadapi umat manusia.
(9) Analisis, kreatif dan sintesis.
(10) Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam.
(11) Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasi. [19]
b) Metode Idealistik
Metode idealistik adalah metode yang lebih mengutamakan penggalian Psikologi Islam dari ajaran Islam. Metode ini menggunakan pola deduktif dengan cara menggali premis mayor sebagai postulasi yang digali dari nash dan dijadikan sebagai “kebenaran universal” untuk menggali premis minornya.
Menurut Sardar, ada sembilan konstruksi kerangka epistemologis di dalam menerapkan metode idealistik, yaitu:
(1) Didasarkan pada kerangka pedoman mutlak dari Allah dan Rasul-Nya.
(2) Bersifat aktif.
(3) Memandang objektivitas sebagai masalah umum.
(4) Sebagian besar bersifat deduktif.
(5) Memadukan pengetahuan dengan nilai Islam.
(6) Mengakui pengetahuan bersifat inklusif, termasuk pengalaman pribadi.
(7) Menyusun dan mendorong pencarian pengalaman subjektif.
(8) Memadukan konsep dari tingkat kesadaran dengan tingkat pengalaman subjektif.
(9) Tidak bertentangan dengan pandangan holistik, sehingga epistemologi Islam sesuai dengan pengalaman pribadi dan pertumbuhan intelektual.[20]
Selain itu, Bastaman juga menawarkan rumusan tujuh prinsip berpikir ilmiah-Qurani, yaitu:
(1) Empiris-metaempiris.
(2) Rasional-intuitif.
(3) Objektif-partisipatif.
(4) Absolutisme moral yang berpijak pada keunikan sistem.
(5) Eksplisit mengungkap kemampuan spritual.
(6) Aksioma dari ajaran agama.
(7) Pendekatan holistik menurut model manusia seutuhnya, baru mengadakan parsialisasi ke bidang disiplin. [21]
Kedua kerangka di atas memberikan tantangan kepada para peneliti, pengkaji dan pemerhati Psikologi Islam untuk menggali khazanah yang dimilikinya. Dengan begitu Psikologi Islam dalam membicarakan jiwa manusia sarat nilai. Ia tidak hanya berbicara apa adanya, juga bagaimana seharusnya.
2) Metode Ilmu Tafsir dan Ushul Fiqh
Menurut Elmira N. Sumintardja, objek formal dari Psikologi Islam adalah konsep manusia berdasarkan al-Quran dan Hadis yang pemahaman interpretatifnya hanya dapat diperoleh dengan metode Ilmu Tafsir dan Ushul Fiqh. Pertimbangan yang diambil adalah bahwa manusia dapat menggunakan akal untuk proses pemahamannya. Kebenaran substansi dapat dicapai bila manusia meyakini bahwa ilmu diberikan Allah kepadanya (naqliyah) dan pengetahuan yang digali melalui akal sehatnya (aqliyah).[22]

a) Metode Ilmu Tafsir
Pendekatan dalam Ilmu Tafsir dapat dilakukan untuk mengkaji masalah kejiwaan manusia. Misalnya, Tafsir Maudhu’i/metode tematis berdasarkan tema tertentu dari Al-Quran . Untuk mengkaji konsep-konsep penting yang berhubungan dengan Psikologi Islam seperti insan, basyar, nas, Bani Adam, fithrah, ruh, nafs, akal, qalb dan lain-lain metode itu sungguh tepat. Caranya ayat al-Quran atau Hadis yang terkait dikumpulkan. Hasil inventarisasi dicarikan kaitannya agar masing-masing dapat menjelas-kan, lalu disistematisasi menurut disiplin psikologis, hingga didapatkan konklusi yang bernuansa psikologis pula.
Keunggulan cara ini adalah selain dapat menampilkan nash secara integral dan komprehensif juga dapat menghindari intervensi pemikiran manusia yang berlebihan. Sedang kelemahannya adalah bahwa masing-masimg ayat atau hadis dilatar belakangi oleh konteks dan kondisi yang berbeda.
Tafsir Tahlili/Tafsir bil Ma’tsur (analisis) yang menafsirkan ayat dengan ayat, riwayat nabi, sahabat dan tabi’in. Dengan metode ini dapat diketahui peristiwa yang terjadi di seputar turunnya wahyu al-Quran dan bagaimana situasi sosial-psikologis Rasul dan para sahabat sewaktu turunnya ayat itu.
Kelebihan prosedur ini adalah pengkaji dapat memilih ayat atau Hadis tertentu yang dianggap representatif saja, sehingga dapat mengkaji secara mendalam.[23] Kelemahannya bisa terjadi bila pengkaji terlalu jauh dalam analisisnya sehingga keluar dari konteks yang sesungguhnya.
Tafsir Maqarin prosedur perbandingan yaitu memperbandingkan antara ayat satu dengan ayat lain, ayat dengan Hadis, Hadis dengan ayat dan ayat dengan hadis. Pendapat ulama salaf atau ulama khalaf. Dari sini dapat diketahui adanya ayat yang terminologinya sama tetapi konteksnya berbeda.[24] Misalnya kata nafs dalam QS. Ali Imran ayat 185 tentang setiap nafs yang tenang.
Tafsir Ijmali/prosedur global mengemukakan penjelasan mengenai ayat-ayat atau Hadis yang berkaitan dengan psikologis secara global. Penjelasannya ringkas, bahasa popular dan mudah dimengerti. Prosedur terakhir ini jarang digunakan karena terwakili oleh ketiga prosedur tadi.
b) Metode Ushul Fiqh
Sementara itu metode Ushul Fiqh juga dapat digunakan. Metode ini berfungsi untuk merumuskan kaidah keilmuan dari dalil-dalil al-Quran dan Hadis dengan menggunakan penalaran akal yang logis dan rasional. Akal adalah sesuatu yang abstrak dan merupakan aktivitas hati. Kalbu adalah pusat awal kegiatan akal, karena itulah setiap perilaku manusia dihubungkan dengan niat sebagai kehendak yang kuat dan motif yang berasal dari hati. Para sufi yang menekankan pengendalian hati sebagai pemicu setiap perbuatan manusia memusatkan pembinaan akhlak melalui pintu hati ini. Prinsip inilah yang digunakan para pakar hukum Islam untuk mengukur keabsahan sesuatu tingkah laku secara hukum.[25]
c. Metode ilmiah dalam Psikologi Islam
Secara operasional, metode ilmiah dalam Psikologi Islam terdiri dari metode deskriptif dan metode eksperimental.
1) Metoda deskriptif
Metode deskriptif yang digunakan dalam metode ilmiah adalah observasi dan riset korelasi. Pada tingkat intervensi pengamat, terdapat dua observasi. Pertama, obsevasi tanpa intervensi. Kedua, observasi dengan intervensi.
Observasi tanpa intervensi mirip dengan telaah naturalistik, di mana pengamat lebih berperan sebagai pencatat pasif tentang rentetan peristiwa yang terjadi. Observasi dengan intervensi adalah: pertama, observasi partisipan di mana pengamat turut aktif berperan dalam situasi tingkah laku yang diamati, kedua, observasi terstruktur di mana pengamat mengadakan intervensi dengan maksud untuk melihat rentetan peristiwa yang terjadi kemudian, setelah ada intervensi, eksprerimen lapangan, di mana pengamat memanipulasi satu atau beberapa variabel dalam setting natural pada tingkah laku.
Adapun observasi dengan intervensi memungkinkan pembauran dengan nuansa alamiah dengan suatu intervensi dalam upaya menguji suatu teori. Adapun riset korelasi digunakan bila peneliti bertujuan mengidenti-fikasi hubungan prediktif melalui ukuran kovarian di antara berbagai variabel.
Metode eksperimental adalah metode ilmiah yang digunakan untuk melihat sebab akibat dengan prosedur kerja yang berhubungan dengan variabel independen dan variabel dependen. Metode observasi dan eksperimen pernah dilakukan oleh Malik B. Badri ketika melakukan studi banding antara proses tafakur dengan hukum-hukum alam dalam buku beliau Tafakur Perspektif Psikologi Islam.
Pada dasarnya, metode-metode yang ditawar-kan oleh para ahli di atas, tidak lepas dari pendekatan-pendekatan yang pernah dilakukan oleh para pemikir Islam di dalam mengkaji ilmu-ilmu keislaman, termasuk ilmu-ilmu tentang kejiwaan. Secara historis metode-metode yang ditawarkan memiliki dasar yang kuat, baik secara konseptual maupun operasional.

C. Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua masalah pokok dalam membahas Metodologi Psikologi Islam, yaitu masalah yang bersifat konseptual dan operasional. Secara konseptual, Psikologi Islam bertolak dari aksiologi yang didasarkan kepada al-Quran, epistemologi yang menyangkut perumusan dan pengembangan Psikologi Islam dan ontologi yang menetapkan substansi yang ingin dicapai.
Secara operasional, metodologi Psikologi Islam berbicara lebih lanjut tentang apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Dengan cara membicarakan metode penelitian baik melalui pengkajian leteral maupun lapangan.
Sebagai ilmu yang sarat nilai, Psikologi Islam yang terintegrasi dengan pola pendekatan disiplin ilmu keislaman lainnya, jelas memiliki kekhasan tersendiri secara paradigma maupun epistemologinya. Ketidaksamaannya dengan metodologi ilmiah secara umum tidaklah mengurangi keilmiahannya, jika kita mencoba mengkritisinya dengan berpedoman kepada paradigma dan epistemologi sendiri.

Daftar Pustaka

Ancok, Djamaluddin dan Fuad Nashori Suroso. Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikologi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995.

Badri, Malik B. The Dilemma of MuslimPsychologist, terj. Siti Zainab Luxfiati dengan judul: Dilema Psikologi Muslim, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1996.
Bastaman, Hanna Djumhana. Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta, Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996.

Faruqi, Ismail Raji, al-. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Wahyuni, Bandung, Pustaka, 1984.

James, William. The Varieties of Relegious Exprence, New York, Collier Books, 1974.

Muhaimin dan Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung, Trigenda Karya, 1993.

Muslim, Abu Husein Muslim ibn al-Hajjaj ibn. Shahih Muslim, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.

Nashori, Fuad. Psikologi Islam, Agenda Menuju Aksi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1997.

Nawawi, Rif’at Syauqi et. al. Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000.

Rahardjo, Dawam. Ensiklopedia Al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta, Paramadina, 1996.

Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Agama Sebuah Pengantar, Bandung, Mizan, 2003.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Quran dengan Metode Maudhu’i Dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Quran, Jakarta, Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran, 1983.

Syukur, M. Amin Abdullah dan Masyharuddin. Intelektualisme Tasawuf, Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, PT. Wihani Corporation, 1990/1991.
*Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin, menyelesaikan Program Pascasarjana IAIN Antasari tahun 2004.
[1]Malik B. Badri, The Dilemma of MuslimPsychologist, terj. Siti Zainab Luxfiati Dilema Psikologi Muslim,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 1. Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashorri Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 70-75. Lihat juga Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan, 2003), h. 163-174. Adapun psikologi umum yang dimaksud adalah psikologi Barat kontemporer, seperti aliran Psikoanalisis yang dipelopori Sigmund Freud, yang mencitrakan manusia buruk hakikat manusia. Psikologi Behavioristik yang dipelopori J.B. Watson yang mencitrakan manusia netral. Sedang Psikologi Humanistik yang dipelopori Abraham Maslow memandang manusia mempunyai otoritas mutlak atas kehidupannya.
[2]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996), h. 28.
[3]Rif’at Syauqi Nawawi, et.al., Metodologi Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 120.
[4]Hanna Djumhana Bastaman, op. cit., h 9. Adapun salah satu persyaratan sains adalah memiliki cara yang lazim disebut metode yang berfungsi untuk menemukan rahasia sunnatullah yang bekerja dalam dirinya, sekaligus berfungsi untuk mengukuhkan objektivitasnya.
[5]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al.,. op. cit., h. 105.
[6]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Wihani Corporation, 1990/1991), h. 279.
[7]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al, op. cit., h. 106-107.
[8]Ibid., h 110.
[9]M. Amin Abdullah Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 170-209.
[10]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al.,. op. cit., h. 111.
[11]Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakir, op. cit., h. 15.
[12]William James, The Varieties of Relegious Exprence, (New York: Collier Books, 1974), p. 22.
[13]Hanna Djumhana Bastaman, op. cit., h. 10.
[14]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al., op. cit., h. 111.
[15]Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 6.
[16]Malik B. Badri, loc. cit.
[17]Abu Husein Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 219.
[18]Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Quran,: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 265.
[19]Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Wahyuni, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 99-115.
[20]Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakir, op. cit., h. 20-21.
[21]Hanna Djumhana Bastaman, op. cit., h. 21.
[22]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al, .op. cit., h. 138-139.
[23]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Quran dengan Metode Maudhu’i Dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Quran, (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran, 1983), h. 23.
[24]Ibid., h 38.
[25]Fuad Nashori, Psikologi Islam, Agenda Menuju Aksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 150-151.



Tksh Ibu Siti Faridah untuk tulisan ini

INTEGRASI PSIKOLOGI DENGAN ISLAM

INTEGRASI PSIKOLOGI DENGAN ISLAM
(Sebuah Upaya Membangun Metodologinya)



Abstrak
Metodologi Psikologi Islam adalah cara cara menyusun pikiran untuk memahami kehidupan jiwa manusia, sesuai dengan penjelasan Allah. Hal ini disebabkan karena Psikologi Islam menemukan landasan filsafat ilmunya pada nilai-nilai Islam. Secara konseptual, metodologi Psikologi Islam bertolak dari aksiologi yang berdasarkan wahyu. Secara epistimologi menyangkut perumusan dan pengembangan Psikologi Islam yang memadukan antara akal dan wahyu, serta ontologi yang menetapkan substansi yang ingin dicapai. Secara operasioanal, metodologi Psikologi Islam berbicara tentang metode-metode penelitian yang ditawarkan. Dengan metodologi Psikologi Islam, maka cara pandang kita terhadap kehidupan jiwa manusia menjadi lebih utuh

Kata kunci: Metodologi konseptual, metode operasional, Psikologi Islam.
A. Pendahuluan

Menyaksikan pergumulan pemikiran tentang pembaharuan Islam di Indonesia, nampaknya ada keinginan yang kuat dari para pakar Islam, agar Islam tetap aktif memberikan warna dalam kemodernan. Usaha ini nampak ketika Islam merespon ilmu pengetahuan modern dengan ide islamisasi ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah perbincangan di seputar upaya membangun sebuah konstruksi Psikologi Islam yang mempunyai corak dan warna tersendiri, sekaligus sebagai psikologi alternatif. Sedang Psikologi umum telah terbukti banyak mengalami kegagalan di dalam memahami berbagai kehidupan jiwa manusia. [1]
Dalam lintasan sejarah, psikologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang lahir dan berkembang dari peradaban Barat yang berlandasan ilmiah empiris-sekuler yang tak berjiwa. Ketika menelaah dimensi relegius dan spiritual, ia hanya menghasilkan interpretasi yang mengandung kekosongan. Untuk mengisi kekosongan itu, kemunculan dan sekaligus pengembangan Psikologi Islam yang koheren dengan nilai-nilai ajaran Islam menjadi semacam kebutuhan. Islamisasi psikologi ini mengharuskan landasan, tujuan, ruang lingkup, metode dan fungsinya harus relevan dengan kebenaran yang bersumber pada wahyu Allah.
Dari segi pemikiran Islam, istilah Psikologi Islam memang baru muncul, tetapi secara substansinya telah ada dalam pemikiran Islam klasik, baik dalam Ilmu Tafsir, Ilmu Kalam, terlebih Ilmu Tasawuf. Hanya saja dalam pemikiran klasik tersebut diwarnai dengan pemikiran filsafat.[2]
Sebagai mazhab baru dalam bidang psikologi, Psikologi Islam mempunyai nilai tambah yang tidak dimiliki oleh psikologi kontemporer lainnya. Namun sayangnya, di kalangan psikolog muslim sendiri masih terdapat ketidakpercayaan mereka terhadap ilmu ini. Salah satu sebabnya adalah karena mereka telah terlanjur mempercayai psikologi Barat kontemporer, terutama metodologinya. Mereka juga belum memahami Metodologi Psikologi Islam. Padahal prasyarat yang sangat penting bagi suatu pengetahuan yang dapat dikategori dalam jajaran ilmu pengetahuan adalah keuniversalan metodologinya. Hal ini berlaku pula dalam membangun Psikologi Islam sebagai ilmu yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan alasan di atas, maka pembicaraan di seputar upaya membangun Metodologi Psikologi Islam ini sangat penting. Tulisan ini pada garis besarnya berisi landasan Metodologi Psikologi Islam, pendekatan-pendekatan dalam Psikologi Islam dan metode-metode dalam Psikologi Islam.

B. Pembahasan

1. Konsep Metodologi Psikologi Islam
Metodologi dalam pembahasan filsafat disebut dengan logika material yang berarti cara menyusun pikiran untuk memahami suatu hal atau keadaan.[3] Metodologi membahas konsep teoritik dari berbagai metode disertai dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing metode, yang dalam.karya ilmiah akan ditindaklanjuti dengan memilih dan menentukan metode yang digunakan.
Ada dua pendapat yang ditawarkan oleh para ahli mengenai metodologi Psikologi Islam. Pertama, Psikologi Islam harus menggunakan metode ilmu pengetahuan modern, yaitu metode ilmiah, Sebab hanya metode ilmiah yang mampu mencapai pengetahuan yang benar. Menurut pendapat ini, tak ada sains tanpa metode, bahkan sains itu sendiri adalah metode. Kedua, Psikologi Islam adalah sains yang mempunyai persyaratan ketat sebagai sains. Mengingat ciri subjeknya yang sangat kompleks, maka Psikologi Islam harus menggunakan metode yang beragam dan tidak terpaku pada metode ilmiah saja.[4]
Ketika kita membicarakan Metodologi Psikologi Islam, ada dua hal penting yang harus diperhatikan Pertama, masalah yang bersifat konseptual, Kedua, masalah yang bersifat operasional. Masalah konseptual meliputi aksiologi, epistemologi dan ontologi. Sedang masalah yang bersifat operasional adalah metode dalam Psikologi Islam itu sendiri.
Menurut Noeng Muhadjir, Filsafat Yunani kono menekankan aspek ontologi dengan menggunakan nalar secara optimal untuk memahami substansi yang menjadi objek pemikiran, baik yang ada dalam kognisi maupun yang ada dalam realitas inderawi. Tradisi ini memunculkan pengetahuan yang bersumber dari metode spekulatif. Sedang ilmu pengetahuan Barat menekankan dimensi epistemologinya pada metode ilmiah sebagai alat untuk mencari kebenaran. Asumsi dasarnya adalah bahwa kebenaran sangat tergantung kepada metode ilmiah yang digunakan, sehingga metode yang digunakan harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian, kualitas metode mencerminkan kualitas kebenaran yang diperoleh.[5]
Dalam konteks Islam, aksiologi merupakan weltanschaung (pandangan hidup) yang berfungsi sebagai landasan di dalam mengkonstruksi fakta. Dalam pandangan Islam, ilmu dan sistem nilai tidak dapat dipisahkan, keduamya saling berhubungan erat, karena ilmu merupakan fungsionalisasi ajaran wahyu. Secara aksiologi Psikologi Islam bersumber dari al-Quran yang berbunyi:
...كتـاب أنزلنـه إليك لنخرج النـاس من الظلمـت إلى النـور بـإذن ربـهم إلى صراط العـزيز الحمـيد . (إبراهـيم/14: 1 ).

“... (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. (QS. Ibrahim/14: 1).[6]
Dengan ayat di atas, maka nampaklah bahwa Islam meletakkan wahyu sebagai paradigma agama yang mengakui eksistensi Allah, baik dalam keyakinan, maupun aplikasinya dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Islam menolak sains untuk sains (science for science), namun menghendaki terlibatnya moralitas di dalam mencari kebenaran ilmu. Secara aksiologi Psikologi Islam dibangun dengan tujuan akhir untuk menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh umat (rahmat li al-‘alamin).
Secara epistemologi, metodologi Psikologi Islam merupakan jalan untuk mencari kebenaran perihal substansi yang ingin diungkapkan, epistemologi membicarakan apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Dalam masalah ini, pemaknaan aksiologik sangat berperan di dalam menentukan kebenaran epistemologik.[7] Dengan demikian, dasar epistemologinya adalah hubungan (nisbah) akal dan intuisi.
Perlu diingat bahwa Psikologi Islam adalah ilmu yang terintegrasi dengan pola pendekatan disiplin ilmu keislaman lainnya, ia memiliki kekhasan tersendiri secara paradigma maupun epistemologinya. Ketidaksamaannya dengan metodologi ilmiah secara umum tidaklah mengurangi keilmiahannya bila kita mengkritisinya dengan berpedoman kepada paradigma dan epistemologi sendiri.
Adapun ontologi berfungsi menetapkan substansi yang ingin dicapai yaitu memahami manusia sesuai dengan sunnatullahnya. Mengingat al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan yang paling dapat diandalkan, maka ayat-ayat yang membicarakan terma-terma seperti insan, basyar, nafs, aql, ruh, qalb dapat dijadikan rujukan. Dengan patokan, sejauh mana metodologi itu dapat mengejar makna dan esensi, bukan hanya gejala. Dengan alasan itu Noeng Muhajir menyatakan bahwa Psikologi Islam bermakna sebagai Psikologi yang menemukan landasan filsafat ilmunya pada nilai-nilai Islam.[8]
Psikologi Islam bagian dari Tasawuf Islam, oleh karena itu metodologi tasawuf dapat pula dijadikan patokan untuk menentukan Metodologi Psikologi Islam. Sebagai contoh metodologi secara konseptual pada tasawuf al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din. Secara aksiologi, tasawuf al-Ghazali bersumber dari wahyu, dasar epistemologinya adalah nisbah akal dan intuisi, dan dasar ontologinya adalah terma-terma seperti al-aql, al-nur dan etika/moral.[9]
Dalam pencarian kebenaran ilmu pengetahuan, aliran positivisme hanya mengakui satu kebenaran yaitu kebenaran inderawi atau kebenaran sensual yang dapat diamati dan dibuktikan oleh siapa saja. Sedang hal-hal yang bersifat metaphisik dan transendental tidak diakui kebenarannya. Sementara itu aliran rasionalisme mengakui tiga kebenaran, yaitu kebenaran imperi-sensual, kebenaran imperi-logik dan kebenaran imperi-etik.
Dengan cara pandang terhadap manusia seperti di atas, dapat kita bayangkan pecahnya kepribadian seseorang yang di satu sisi mempelejari filsafat rasionalistik ataupun positivistik dan di sisi lain diajarkan agama yang padat dengan kebenaran transendental, paradigma semacam ini diyakini dapat mengerosikan keimanan.
Dalam perkembangan filsafat ilmu sangatlah bijak cara yang ditempuh dengan membuka kesempatan yang selebar-lebarnya untuk mengintegrasikan antara ilmu dan wahyu dalam kebenaran yang bersifat monistik tanpa ada dikotomi di antara kedua kebenaran itu, sebab keduanya sama-sama memberikan kontribusi kepada manusia di dalam mencari kebenaran.
Kebenaran dalam Psikologi Islam adalah integratif, tetapi juga masih bersifat probabalistik. Maksudnya, walaupun usaha manusia mendapatkan kebenaran tercapai, namun pada hakikatnya kebenaran itu hanya bersifat probabilistik, maka usaha manusia harus selalu melewati proses yang panjang tanpa akhir untuk menuju kebenaran mutlak yang hanya milik Allah semata. Apabila terjadi kebenaran yang dicapai manusia berbeda dengan kebenaran mutlak Allah, maka kebenaran yang dicapai akal manusia itu berarti belum mampu untuk mencapai kebenaran mutlak Allah. Dengan demikian, maka pemahaman tentang jiwa manusia dengan melalui usaha-usaha ilmiah akan selalu momot nilai benar dan momot nilai salah.
Tampilan kebenaran Psikologi Islam bersifat aspektif atau menonjol pada dataran tertentu, namun pada kasus lain, aspek yang tampil bisa saja berbeda. Keadan ini bukan berarti kebenaran psikologik itu banyak. Untuk menyikapinya maka Noeng Muhadjir menawarkan konsep monisme multifaset. Imperi, kebenaran dan realitas tingkah laku manusia itu tunggal (monistik), menjadi beragam karena tampilan.[10]
Secara realitas tingkah laku manusia itu beragam. Ada yang mudah dijelaskan secara empiri-sensual, ada yang dapat dimengerti dengan penjelasan logik, ada yang memerlukan penjelasan etik. Selain itu, kebenaran ilmu pengetahuan Islam tidak selamanya harus dicari, karena ada hal-hal yang perlu disyukuri sebagai rahmat dan ada pula hal-hal yang hanya dapat dihadapi dengan sabar dan dipahami dengan mengambil hikmahnya.
Cara pandang yang mengakui bermacam-macam tampilan ini, membuat kita lebih arif di dalam menentukan metodologi yang tepat dan sesuai dengan karakteristik dari tampilan objeknya. Sebagai contoh, metodologi positivistik yang kuantitatif-statistik, sesuai dengan karakter objek yang emperi-sensual. Metodologi rasionalistik dapat digunakan untuk membangun konsep teoritik-logik. Metodologi realistik metaphisik bila kita ingin melakukan studi keagamaan yang mengakui wahyu al-Quran sebagai sumber kebenaran.
2. Pendekatan dalam Psikologi Islam
Beberapa pendekatan yang dilakukan di dalam membangun Psikologi Islam sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para psikolog muslim di masa klasik adalah pendekatan skriptualis, pendekatan falsafi/filosofis dan pendekatan tasawwufis/ sufistik.[11]
a. Pendekatan skriptualis adalah pendekatan yang mengacu kepada wahyu. Pendekatan skriptualis dalam pengkajian Psikologi Islam didasarkan pada teks-teks al-Quran atau Hadis dengan lafal-lafal yang terkandung di dalamnya merupakan petunjuk (dilalah) yang sudah dianggap jelas (sharih). Asumsi filosofisnya adalah bahwa Allah mencipatakan nafs manusia dengan segala hukum psikologisnya. Sedang prosedur metodologinya dapat ditempuh dengan empat cara yaitu Tafsir Maudhu’i (tematis), Tahlili (analisis), Maqarin (perbandingan) dan Ijmali (global). Dalam terminologi Ilmu Tafsir, pendekatan skriptualis sama dengan aliran al-Manqul.
b. Pendekatan falsafi/filosofis adalah pendekatan yang mengacu kepada akal (burhan). Pendekatan falsafi dalam pengkajian Psikologi Agama ini didasarkan atas prosedur berpikir spekulatif (sistematis, radikal dan universal yang didukung akal sehat). Pendekatan ini mengutamakan akal tanpa meninggalkan nash, hanya cara memahaminya dengan mengambil makna esensi yang tersirat di dalamnya. Jika terjadi pertentangan antara akal dan wahyu, berarti akal belum mampu menangkap pesan nash tadi. Untuk itu diperlukan interpretasi filosofis (ta’wil) terhadap lafal nash. Dalam terminologi Ilmu Tafsir pendekatan falsafi identik dengan aliran Ma’qul.
c. Pendekatan tasawwufis/sufistik adalah pendekatan yang mengacu kepada intuisi (irfan). Pendekatan sufistik dalam pengkajian Psikologi Islam didasarkan pada prosedur intuitif (al-hadsiyah), ilham dan cita-cita (al-zauqiah) dengan cara menajamkan struktur kalbu melalui proses penyucian diri (tazkiyah al-nafs) untuk membuka tabir (hijab) yang menjadi penghalang ilmu-ilmu Allah dengan jiwa manusia, hingga memperoleh ketersingkapan (al-kasyaf) dan mampu mengungkapkan hakikat jiwa sesungguhnya. Dalam terminologi Ilmu Tafsir, pendekatan sufistik disebut juga dengan Itsari.
Menurut William James, ada empat karakteristik yang dapat dipahami dalam pendekatan sufitik ini, yaitu:
1) Mereka mengutamakan perasaan
2) Dalam kondisi neurotik (syatahat)
3) Dalam kondisi puncak yang sementara tetapi mendalam
4) Apa yang diperoleh merupakan anugerah yang tidak diusahakan. [12]
Ketiga pendekatan dapat digunakan secara simultan walau ada di antaranya yang lebih dominan sesuai namanya.
3. Metode-metode Psikologi Islam
Menurut Hanna Djumhana Bastaman, metode ilmiah yang lazim dipergunakan dalam psikologi, baik kuantitatif dan kualitatif dengan teknik-tekniknya seperti wawancara, tes, eksperimen, survei bisa berlaku dalam Psikologi Islam, namun ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama, kesetaraan porsi dan fungsi antara metode kualitatif dan kuantitatif, karena ada gejala dan perilaku manusia serta peristiwa khusus yang dialami secara pribadi, seperti pengalaman keagamaan. Untuk itu metode fenomenologi dapat dipergunakan. Kedua, selain menggunakan metode ilmiah, Psikologi Islam mengakui adanya pengetahuan yang didapat melalui ilham dan intuisi dengan melalui ibadah khusyuk seperti tafakkur, shalat Istikharah, shalat tahajjud dan doa.[13] Selain itu, bentuk penelitian ada yang dinamakan dengan library research (penelitian kepustakaan) dan field research (penelitian lapangan).
Ada beberapa metode yang ditawarkan oleh para ahli dalam perumusan, penelitian dan pengembangan Psikologi Islam, yaitu:
a. Metode-Metode dalam Perumusan Psikologi Islam
Adapun metode-metode dalam perumusan Psikologi Islam meliputi: metode keyakinan, metode rasionalisasi, integrasi metode keyakinan dengan rasionalisasi, metode otoritas dan metode instuisi.[14]
1) Metode Keyakinan
Dalam metode keyakinan seseorang meyakini betul tentang kebenaran sesuatu (tanpa keraguan) yang bersumber dari al-Quran dan Hadis. Keyakinan bahwa Allah adalah pencipta kehidupan yang mengetahui seluk beluk dari makhluk ciptaan-Nya. Inilah ciri khas Psikologi Islam yang menempatkan wahyu di atas rasio.
2) Metode rasional
Metode rasional Psikologi Islam berpandangan bahwa manusia harus mempergunakan rasio secara optimal dengan menyadari keterbatasannya. Penggunaan akal ini sesuai dengan perintah Allah dalam al-Quran .
3) Metode integrasi metode keyakinan dengan rasionalisasi
Metode ini dapat digunakan untuk memahami al-Quran dan Hadis. Metode yang dipergunakan oleh mufassirin dengan Tafsir bil Ra’yi dapat pula dipergunakan pula oleh Psikolog Muslim. Contoh tafsir dari jenis ini adalah Tafsir al-Azhar karya Hamka.
4) Metode otoritas
Metode otoritas menyandarkan kepercayaan kepada orang yang mempunyai banyak pengetahuan dalam bidang tertentu seperti Tafsir bi al-Ma’tsur yang merujuk kepada penjelasan Rasulullah dan para sahabat dekatnya. Dalam Psikologi Islam juga dapat melakukan hal itu, termasuk penjelasan dari ulama yang mengetahui realitas di balik alam nyata.


5) Metode intuisi
Pendayagunaan kalbu atau hati nurani dapat membantu seseorang melihat dengan mata batinnya kenyataan yang dapat dilihat dan dirasakan oleh pancaindranya. Dan metode eksperimen spritual adalah membuat perlakuan tertentu dengan secara rohani mencoba untuk mengetahui dampaknya. Sebagai contoh membiasakan shalat malam, lalu ia berusaha mengetahui bagaimana rasa hati terhadap Tuhan dengan kebiasaan demikian.
b. Metode Penelitian dan Pengembangan Psikologi Islam
1) Pragmatis dan Metode Idealistik
a) Metode Pragmatis
Metode pragmatis adalah metode pengkajian dan pengembangan Psikologi Islam yang lebih mengutamakan aspek praktis dan kegunaannya. Metode ini sebenarnya ditransfer dari kerangka teori Barat kontemporer yang sudah mapan, teori tersebut dilegalisasi dan dijustifikasi dengan nash, hingga bernuansa islami.[15]
Kelebihan dari metode pragmatis ini adalah sifatnya yang responsif, akomodatif dan toleran terhadap perkembangan psikologi serta sangat efektif dan efesien untuk membangun disiplin baru dalam Psikologi Islam. Sedang kekurangannya terletak pada kekhawatiran terseretnya Psikologi Islam kepada frame Barat sekuler yang bertentangan dengan kode etik ilmiah-Qurani. Hal ini beralasan, karena perbedaan paradigma dan proses penyeleksian yang kurang ketat dapat membawa Psikologi Islam bercorak sekuler.
Kekhawatiran ini diungkapkan oleh Malik B. Badri dalam bukunya The Dilemma of Muslim Psychologits. Menurutnya ketidakselektifan psikolog muslim dapat menyebabkan mereka mengikuti cara hidup dan cara pandang mereka (Yahudi dan Kristen), meskipun cara itu berkualitas rendah dan tidak islami.[16] Rasulullah dalam Hadis beliau bahkan meramalkan: …”bahkan jika mereka masuk ke dalam lobang biawak pun , orang Islam tanpa pikir panjang akan mengikutinya.”[17]
Barangkali contoh kasus dalam masalah ini dapat dikemukakan apa yang dilakukan oleh Dawam Rahardjo yang cenderung menyamakan istilah super ego dengan al-nafs al-muthmainnah, ego dengan al-nafs al-lawwamah dan id dengan al-nafs al-ammarah.[18] Menurut penulis, masing-masing terma sebenarnya tidak bisa disamakan, karena masing-masing terma itu memiliki asumsi filosofis yang berbeda. Konsep al-nafs diasumsikan dari paradigma teosentris, sedang id, ego dan super ego diasumsi dari paradigma antroposentris yang menafikan makna keberagamaan dalam hidup manusia. Cara ini dapat mengakibatkan biasnya sains dan direduksinya agama ke taraf sains.
Langkah-langkah operasional dalam metode pragmatis adalah:
(1) Penguasaan disiplin ilmu modern dan penguraian kategori.
(2) Survai disiplin ilmu pengetahuan.
(3) Penguasaan khazanah Islam tahap analisis.
(4) Penemuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan.
(5) Penilaian kritis terhadap ilmu pengetahuan modern.
(6) Penilaian kritis terhadap khazanah Islam di masa kini.
(7) Survai pengetahuan yang dihadapi umat Islam.
(8) Survai pengetahuan yang dihadapi umat manusia.
(9) Analisis, kreatif dan sintesis.
(10) Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam.
(11) Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasi. [19]
b) Metode Idealistik
Metode idealistik adalah metode yang lebih mengutamakan penggalian Psikologi Islam dari ajaran Islam. Metode ini menggunakan pola deduktif dengan cara menggali premis mayor sebagai postulasi yang digali dari nash dan dijadikan sebagai “kebenaran universal” untuk menggali premis minornya.
Menurut Sardar, ada sembilan konstruksi kerangka epistemologis di dalam menerapkan metode idealistik, yaitu:
(1) Didasarkan pada kerangka pedoman mutlak dari Allah dan Rasul-Nya.
(2) Bersifat aktif.
(3) Memandang objektivitas sebagai masalah umum.
(4) Sebagian besar bersifat deduktif.
(5) Memadukan pengetahuan dengan nilai Islam.
(6) Mengakui pengetahuan bersifat inklusif, termasuk pengalaman pribadi.
(7) Menyusun dan mendorong pencarian pengalaman subjektif.
(8) Memadukan konsep dari tingkat kesadaran dengan tingkat pengalaman subjektif.
(9) Tidak bertentangan dengan pandangan holistik, sehingga epistemologi Islam sesuai dengan pengalaman pribadi dan pertumbuhan intelektual.[20]
Selain itu, Bastaman juga menawarkan rumusan tujuh prinsip berpikir ilmiah-Qurani, yaitu:
(1) Empiris-metaempiris.
(2) Rasional-intuitif.
(3) Objektif-partisipatif.
(4) Absolutisme moral yang berpijak pada keunikan sistem.
(5) Eksplisit mengungkap kemampuan spritual.
(6) Aksioma dari ajaran agama.
(7) Pendekatan holistik menurut model manusia seutuhnya, baru mengadakan parsialisasi ke bidang disiplin. [21]
Kedua kerangka di atas memberikan tantangan kepada para peneliti, pengkaji dan pemerhati Psikologi Islam untuk menggali khazanah yang dimilikinya. Dengan begitu Psikologi Islam dalam membicarakan jiwa manusia sarat nilai. Ia tidak hanya berbicara apa adanya, juga bagaimana seharusnya.
2) Metode Ilmu Tafsir dan Ushul Fiqh
Menurut Elmira N. Sumintardja, objek formal dari Psikologi Islam adalah konsep manusia berdasarkan al-Quran dan Hadis yang pemahaman interpretatifnya hanya dapat diperoleh dengan metode Ilmu Tafsir dan Ushul Fiqh. Pertimbangan yang diambil adalah bahwa manusia dapat menggunakan akal untuk proses pemahamannya. Kebenaran substansi dapat dicapai bila manusia meyakini bahwa ilmu diberikan Allah kepadanya (naqliyah) dan pengetahuan yang digali melalui akal sehatnya (aqliyah).[22]

a) Metode Ilmu Tafsir
Pendekatan dalam Ilmu Tafsir dapat dilakukan untuk mengkaji masalah kejiwaan manusia. Misalnya, Tafsir Maudhu’i/metode tematis berdasarkan tema tertentu dari Al-Quran . Untuk mengkaji konsep-konsep penting yang berhubungan dengan Psikologi Islam seperti insan, basyar, nas, Bani Adam, fithrah, ruh, nafs, akal, qalb dan lain-lain metode itu sungguh tepat. Caranya ayat al-Quran atau Hadis yang terkait dikumpulkan. Hasil inventarisasi dicarikan kaitannya agar masing-masing dapat menjelas-kan, lalu disistematisasi menurut disiplin psikologis, hingga didapatkan konklusi yang bernuansa psikologis pula.
Keunggulan cara ini adalah selain dapat menampilkan nash secara integral dan komprehensif juga dapat menghindari intervensi pemikiran manusia yang berlebihan. Sedang kelemahannya adalah bahwa masing-masimg ayat atau hadis dilatar belakangi oleh konteks dan kondisi yang berbeda.
Tafsir Tahlili/Tafsir bil Ma’tsur (analisis) yang menafsirkan ayat dengan ayat, riwayat nabi, sahabat dan tabi’in. Dengan metode ini dapat diketahui peristiwa yang terjadi di seputar turunnya wahyu al-Quran dan bagaimana situasi sosial-psikologis Rasul dan para sahabat sewaktu turunnya ayat itu.
Kelebihan prosedur ini adalah pengkaji dapat memilih ayat atau Hadis tertentu yang dianggap representatif saja, sehingga dapat mengkaji secara mendalam.[23] Kelemahannya bisa terjadi bila pengkaji terlalu jauh dalam analisisnya sehingga keluar dari konteks yang sesungguhnya.
Tafsir Maqarin prosedur perbandingan yaitu memperbandingkan antara ayat satu dengan ayat lain, ayat dengan Hadis, Hadis dengan ayat dan ayat dengan hadis. Pendapat ulama salaf atau ulama khalaf. Dari sini dapat diketahui adanya ayat yang terminologinya sama tetapi konteksnya berbeda.[24] Misalnya kata nafs dalam QS. Ali Imran ayat 185 tentang setiap nafs yang tenang.
Tafsir Ijmali/prosedur global mengemukakan penjelasan mengenai ayat-ayat atau Hadis yang berkaitan dengan psikologis secara global. Penjelasannya ringkas, bahasa popular dan mudah dimengerti. Prosedur terakhir ini jarang digunakan karena terwakili oleh ketiga prosedur tadi.
b) Metode Ushul Fiqh
Sementara itu metode Ushul Fiqh juga dapat digunakan. Metode ini berfungsi untuk merumuskan kaidah keilmuan dari dalil-dalil al-Quran dan Hadis dengan menggunakan penalaran akal yang logis dan rasional. Akal adalah sesuatu yang abstrak dan merupakan aktivitas hati. Kalbu adalah pusat awal kegiatan akal, karena itulah setiap perilaku manusia dihubungkan dengan niat sebagai kehendak yang kuat dan motif yang berasal dari hati. Para sufi yang menekankan pengendalian hati sebagai pemicu setiap perbuatan manusia memusatkan pembinaan akhlak melalui pintu hati ini. Prinsip inilah yang digunakan para pakar hukum Islam untuk mengukur keabsahan sesuatu tingkah laku secara hukum.[25]
c. Metode ilmiah dalam Psikologi Islam
Secara operasional, metode ilmiah dalam Psikologi Islam terdiri dari metode deskriptif dan metode eksperimental.
1) Metoda deskriptif
Metode deskriptif yang digunakan dalam metode ilmiah adalah observasi dan riset korelasi. Pada tingkat intervensi pengamat, terdapat dua observasi. Pertama, obsevasi tanpa intervensi. Kedua, observasi dengan intervensi.
Observasi tanpa intervensi mirip dengan telaah naturalistik, di mana pengamat lebih berperan sebagai pencatat pasif tentang rentetan peristiwa yang terjadi. Observasi dengan intervensi adalah: pertama, observasi partisipan di mana pengamat turut aktif berperan dalam situasi tingkah laku yang diamati, kedua, observasi terstruktur di mana pengamat mengadakan intervensi dengan maksud untuk melihat rentetan peristiwa yang terjadi kemudian, setelah ada intervensi, eksprerimen lapangan, di mana pengamat memanipulasi satu atau beberapa variabel dalam setting natural pada tingkah laku.
Adapun observasi dengan intervensi memungkinkan pembauran dengan nuansa alamiah dengan suatu intervensi dalam upaya menguji suatu teori. Adapun riset korelasi digunakan bila peneliti bertujuan mengidenti-fikasi hubungan prediktif melalui ukuran kovarian di antara berbagai variabel.
Metode eksperimental adalah metode ilmiah yang digunakan untuk melihat sebab akibat dengan prosedur kerja yang berhubungan dengan variabel independen dan variabel dependen. Metode observasi dan eksperimen pernah dilakukan oleh Malik B. Badri ketika melakukan studi banding antara proses tafakur dengan hukum-hukum alam dalam buku beliau Tafakur Perspektif Psikologi Islam.
Pada dasarnya, metode-metode yang ditawar-kan oleh para ahli di atas, tidak lepas dari pendekatan-pendekatan yang pernah dilakukan oleh para pemikir Islam di dalam mengkaji ilmu-ilmu keislaman, termasuk ilmu-ilmu tentang kejiwaan. Secara historis metode-metode yang ditawarkan memiliki dasar yang kuat, baik secara konseptual maupun operasional.

C. Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua masalah pokok dalam membahas Metodologi Psikologi Islam, yaitu masalah yang bersifat konseptual dan operasional. Secara konseptual, Psikologi Islam bertolak dari aksiologi yang didasarkan kepada al-Quran, epistemologi yang menyangkut perumusan dan pengembangan Psikologi Islam dan ontologi yang menetapkan substansi yang ingin dicapai.
Secara operasional, metodologi Psikologi Islam berbicara lebih lanjut tentang apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Dengan cara membicarakan metode penelitian baik melalui pengkajian leteral maupun lapangan.
Sebagai ilmu yang sarat nilai, Psikologi Islam yang terintegrasi dengan pola pendekatan disiplin ilmu keislaman lainnya, jelas memiliki kekhasan tersendiri secara paradigma maupun epistemologinya. Ketidaksamaannya dengan metodologi ilmiah secara umum tidaklah mengurangi keilmiahannya, jika kita mencoba mengkritisinya dengan berpedoman kepada paradigma dan epistemologi sendiri.

Daftar Pustaka

Ancok, Djamaluddin dan Fuad Nashori Suroso. Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikologi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995.

Badri, Malik B. The Dilemma of MuslimPsychologist, terj. Siti Zainab Luxfiati dengan judul: Dilema Psikologi Muslim, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1996.
Bastaman, Hanna Djumhana. Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta, Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996.

Faruqi, Ismail Raji, al-. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Wahyuni, Bandung, Pustaka, 1984.

James, William. The Varieties of Relegious Exprence, New York, Collier Books, 1974.

Muhaimin dan Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung, Trigenda Karya, 1993.

Muslim, Abu Husein Muslim ibn al-Hajjaj ibn. Shahih Muslim, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.

Nashori, Fuad. Psikologi Islam, Agenda Menuju Aksi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1997.

Nawawi, Rif’at Syauqi et. al. Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000.

Rahardjo, Dawam. Ensiklopedia Al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta, Paramadina, 1996.

Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Agama Sebuah Pengantar, Bandung, Mizan, 2003.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Quran dengan Metode Maudhu’i Dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Quran, Jakarta, Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran, 1983.

Syukur, M. Amin Abdullah dan Masyharuddin. Intelektualisme Tasawuf, Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, PT. Wihani Corporation, 1990/1991.
*Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin, menyelesaikan Program Pascasarjana IAIN Antasari tahun 2004.
[1]Malik B. Badri, The Dilemma of MuslimPsychologist, terj. Siti Zainab Luxfiati Dilema Psikologi Muslim,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 1. Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashorri Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 70-75. Lihat juga Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan, 2003), h. 163-174. Adapun psikologi umum yang dimaksud adalah psikologi Barat kontemporer, seperti aliran Psikoanalisis yang dipelopori Sigmund Freud, yang mencitrakan manusia buruk hakikat manusia. Psikologi Behavioristik yang dipelopori J.B. Watson yang mencitrakan manusia netral. Sedang Psikologi Humanistik yang dipelopori Abraham Maslow memandang manusia mempunyai otoritas mutlak atas kehidupannya.
[2]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996), h. 28.
[3]Rif’at Syauqi Nawawi, et.al., Metodologi Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 120.
[4]Hanna Djumhana Bastaman, op. cit., h 9. Adapun salah satu persyaratan sains adalah memiliki cara yang lazim disebut metode yang berfungsi untuk menemukan rahasia sunnatullah yang bekerja dalam dirinya, sekaligus berfungsi untuk mengukuhkan objektivitasnya.
[5]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al.,. op. cit., h. 105.
[6]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Wihani Corporation, 1990/1991), h. 279.
[7]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al, op. cit., h. 106-107.
[8]Ibid., h 110.
[9]M. Amin Abdullah Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 170-209.
[10]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al.,. op. cit., h. 111.
[11]Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakir, op. cit., h. 15.
[12]William James, The Varieties of Relegious Exprence, (New York: Collier Books, 1974), p. 22.
[13]Hanna Djumhana Bastaman, op. cit., h. 10.
[14]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al., op. cit., h. 111.
[15]Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 6.
[16]Malik B. Badri, loc. cit.
[17]Abu Husein Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 219.
[18]Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Quran,: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 265.
[19]Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Wahyuni, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 99-115.
[20]Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakir, op. cit., h. 20-21.
[21]Hanna Djumhana Bastaman, op. cit., h. 21.
[22]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al, .op. cit., h. 138-139.
[23]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Quran dengan Metode Maudhu’i Dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Quran, (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran, 1983), h. 23.
[24]Ibid., h 38.
[25]Fuad Nashori, Psikologi Islam, Agenda Menuju Aksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 150-151.

Tksh Ibu Siti Faridah untuk tulisan ini