Minggu, 13 Januari 2008

MENGGAGAS TEOLOGI PERSAUDARAAN
(Sebuah Alternatif bagi Pengembangan Teologi
dalam Masyarakat Pluralistik)


Agama, sejauh merupakan pelembagaan iman seseorang terhadap Yang Ilahi, sangatlah identik dengan teologi. Oleh karena itulah, seringkali teologi-lah yang kemudian menentukan cetak-biru (blue-print) agama dalam sebuah masyarakat. Jika suatu teologi yang berkembang dalam sebuah agama adalah teologi yang bercorak eksklusif, maka biasanya teologi tersebut juga sangat mempengaruhi pola perilaku eksklusif penganutnya dalam hubungan-hubungan sosial-kemasyarakatan yang dibangunnya. Dengan demikian, ketika ada keinginan untuk memberi ruang atas gejala pluralitas masyarakat dalam agama, maka sudah barang tentu harus dilakukan dari upaya pembaharuan rancang-bangun teologi yang bernuansa pluralistik. Penulis, dalam artikel ini, sesungguhnya ingin menyodorkan satu konsep persaudaran dalam Islam sebagai alternatif pengembangan teologi dalam ranah masyarakat yang pluralistik.
Kata kunci: al-ukhuwah al-insaniyah, al-ukhuwah al-Rabbaniyah, dan al-ukhuwah al-islamiyyah.

A. Pendahuluan
Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim mengemukakan sebuah hadits yang menjelaskan tentang terjadinya dialog antara Nabi Muhammad saw. dengan Jibril as. Dari dialog tersebut dapat dipahami bahwa agama Islam itu meliputi Iman, Islam, dan Ihsan[1] -- yang sekarang sering disebut dengan trilogi agama Islam. Sementara Mahmout Syaltout mengatakan bahwa Islam mempunyai dua dahan utama, sehingga tidak akan terwujud hakikat dan tidak akan terbukti pengertiannya melainkan apabila kedua dahan tersebut mendapat tempat pembuktian dalam akal, hati dan kehidupan manusia. Kedua dahan tersebut ialah kepercayaan dan kewajiban-kewajiban agama (akidah dan syari'at).[2]
Keimanan dan perbuatan (aqidah dan syari'ah) adalah dua bidang agama yang sambung-menyambung dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya bagai pohon dan buah, bagai sebab dan musabbab. Artinya, keimanan merupakan akidah yang tidak lain merupakan pokok-dasar yang di atasnya berdiri syari'at Islam.[3]
Dengan ketidak terpisahan itu, maka ajaran Islam seperti yang disebutkan di atas selalu mengandaikan adanya misi keselarasan hidup antar manusia dan juga antar sesama makhluk Tuhan penghuni alam semesta. Menurut terminologi Alquran, misi itu yang disebut rahmat li al-alamin (rahmat dan kedamaian seluruh alam), sebagaimana dinyatakan dalam Alquran, sebagai berikut: “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”[4] “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”[5]
Isyarat yang terkandung dalam ayat Alquran di atas antara lain menunjukkan bahwa manusia yang hidup di dunia ini adalah mengemban amanah untuk mewujudkan keharmonisan atau dengan ungkapan lain bahwa misi kekhalifahan di dunia ini adalah agar manusia menciptakan keseimbangan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan penciptanya, hingga dapat mewujudkan keselarasan dan keserasian antar umat manusia sendiri dan manusia dengan Tuhan dan alam semesta.
Sehubungan dengan itu, maka dalam tulisan ini, penulis berusaha mengetengahkan sebuah deskripsi yang diharapkan akan memberikan alternatif jawaban terhadap sebuah pertanyaan bagaimana usaha mengaktualisasikan aspek keselarasan dan keserasian itu khususnya pada hubungan antar umat beragama dalam teologi ketika kecenderungan masyarakat dunia saat ini bergerak ke arah masyarakat yang pluralistik.

B. Ajaran Persaudaraan dalam Alquran sebagai Alternatif
Dalam kitab suci Alquran terdapat banyak ayat yang langsung atau tidak langsung -- sudah jelas atau memerlukan penafsiran -- memberikan tuntunan, arahan dan bimbingan tentang keselarasan dan keserasian hidup bermasyarakat. Salah satu dari sekian ajaran Alquran tersebut adalah ajaran tentang persaudaraan sebagai konsep pengembangan hidup yang serasi dan selaras dalam masyarakat. Hal ini menjadi suatu keharusan bagi Alquran untuk umat manusia agar mereka mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai pengembangan fungsi kekhalifahan di muka bumi ini.
Ajaran tentang persaudaraan yang merupakan salah satu misi agama Islam ini dapat diklasifikasikan kepada dua bentuk persaudaraan, yaitu persaudaraan dalam satu agama (sesama muslim), dan persaudaraan sesama manusia dalam kemajemukan agama (antar umat beragama).
Bentuk persaudaraan yang pertama dipahami dari isyarat ayat Alquran sebagai berikut “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”[6] Sementara dalam ayat yang lain Alquran juga mengungkapkan sebagai berikut: “Orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan harus melakukan tolong-menolong, melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar, melaksanakan shalat, membayar zakat dan taat kepada Allah swt.[7]
Bentuk persaudaraan yang kedua dipahami dari isyarat ayat Alquran sebagai berikut, “Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.[8]
Ajaran tentang persaudaraan dalam Islam yang berdasarkan Alquran tersebut, pada saat diupayakan untuk diaktualisasikan dalam kehidupan manusia, maka terjadilah penafsiran – bukan tak mungkin – yang berbeda. Tatkala terjadi perbedaan dalam tafsiran, penjabaran dan rincian itu disertai kecemburuan dan semangat persaingan antar berbagai kelompok dalam kalangan umat Islam, maka bisa menjadi pangkal perselisihan atau konflik, akan lebih parah lagi kalau penafsiran dan penjabaran disemangati oleh subjektivitas dan tertanamnya kepentingan diri.[9]
Salah satu aspek ajaran Islam yang – secara normatif – ikut menentukan dalam keberhasilan misi kekhalifahan adalah persaudaraan (ukhuwah). Konsep persaudaraan menurut ajaran Islam – secara normatif – boleh dikatakan sangat baik dan sempurna serta manusiawi. Ajaran yang dimaksud pada umumnya diyakini bersifat mutlak benar dan tidak berubah-ubah. Faham mutlak dan tidak berubah-ubah berpengaruh terhadap sikap mental dan tingkah laku penganutnya. Oleh karena itu, umat beragama (baca: muslim) tidak mudah menerima perubahan dan cenderung untuk mempertahankan tradisi yang berlaku.[10]
Persaudaraan adalah salah satu persoalan kemanusiaan dan tidak bisa lepas hubungannya dengan tugas kekhalifahan yang diajarkan agama. Apabila persoalan ini ditelaah secara kritis (kritik sosial kemanusiaan), maka persoalan dimaksud berada pada konteks teologi sosial.[11]
Dari sisi yang lain bahwa ajaran tentang persaudaraan dimaksud akan berhadapan dan bersentuhan dengan kemajemukan agama, budaya, etnis dan berbagai sekte (berbagai aliran dan mazhab) yang ada dalam Islam sendiri. Kondisi seperti ini sering disebut dengan pluralisme.
Secara luas, ada tiga tingkatan persaudaran, yakni: (1) persaudaraan di antara sesama manusia (ukhuwah insaniyah) secara menyeluruh, dalam hal ini tidak melihat adanya perbedaan dari aspek apapun, yang dilihat hanyalah dimensi kemanusiaan; (2) persaudaraan (ikatan) di antara mereka yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini tidak menetapkan atau memastikan nama agama, tetapi yang dilihat adalah pada dimensi kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; (3) persaudaraan sesama umat Islam. Dalam hal ini, ada suatu keharusan bahwa hanya pada orang-orang muslim, meski demikian dalam persaudaraan sesama muslim tidak melihat adanya perbedaan etnis, jenis kelamin, bahasa, dan lain-lain.[12]
Alqur'an sebagai dasar pokok ajaran Islam telah menggariskan beberapa sendi persaudaraan. Secara global dapat dipahami dari beberapa ayat Alquran sebagai berikut: (1) Cinta dan Pengorbanan diri [Q.S. al-Hasyr: 59, 9]; (2) Kasih Sayang [Q.S. al-Fath: 48, 29], [ Q.S. al-Maidah: 5, 2]; (3) Musyawarah [Q.S. Ali Imran: 3, 159], [Q.S. al-Syura: 42, 38].
Ketiga sendi persaudaraan yang dikemukakan di atas masih berada pada garis normatif. Untuk itu, masih sangat diperlukan adanya kegiatan dan usaha dalam rangka memahaminya secara menyeluruh dan benar serta dapat diaktualisasikan dalam kehidupan empirik.
Salah satu usaha untuk mewujudkan persaudaraan tersebut ialah memenuhi dan menciptakan beberapa prasyarat sebagai berikut; (1) harus ada husnu al-zhan, yakni prasangka baik terhadap sesama saudara, kalau ada prasangka buruk maka apa yang dilakukan oleh pihak lain akan ditafsirkan jelek walaupun hal itu pada dasarnya baik. Hal ini merupakan awal dari keretakan persaudaraan; (2) tidak ada satu kelompok pun boleh memonopoli kebenaran, sebagaimana tidak ada satu kelompok pun yang memonopoli kesalahan.[13]
Prasyarat yang terakhir inilah yang kemudian dapat dicari ungkapan katanya melalui istilah pluralisme, yang dapat dipahami sebagai suatu pandangan filosofis yang tidak mau mereduksikan segala sesuatu pada satu prinsip terakhir, melainkan menerima adanya pluralitas atau keragaman.[14]
Pluralisme di sini kemudian bisa terkait dengan bidang kultural, politik dan religius. Adapun pluralisme dalam bidang religius itu sendiri pertama kali muncul di kalangan umat Kristiani, dimana pada koncili Vatikan II tahun 1959 telah mengakui adanya keanekaragaman yang benar dalam tradisi dan ibadah Kristiani dan meninggalkan uniformitas kaku.[15]
Diana Eek, seorang guru besar dari Universitas Harvard AS yang dikutip oleh Victor J. Tanja dalam bukunya Pluralisme Agama dan Pluralisme Sosial mengatakan bahwa pengertian pluralisme tidak sama dengan kemajemukan. Menurut Diana Eek, bahwa pluralitas mengacu pada adanya hubungan saling bergantung antara berbagai hal yang berbeda, sedang kemajemukan (diversitas) mengacu pada tidak adanya hubungan seperti itu di antara hal-hal yang berbeda. Dengan demikian, pluralitas mengharuskan adanya dialog antara sesama umat beragama dan dalam dialog itu faktor etika sangat menentukan karena menyangkut masalah bagaimana seseorang bersikap terhadap sesamanya.[16]
Faktor etika berhubungan erat dengan aspek persaudaraan, karena etika yang sesuai dengan dasar ajaran menurut kitab suci akan mendorong dan memperkuat persaudaraan dalam situasi dan kondisi yang pluralistik. Terciptanya persaudaraan berarti di dalamnya terdapat pelaksanaan etika atau konsep etika dapat teraktualisasi dalam persaudaraan.

C. Persaudaraan dalam Masyarakat yang Pluralistik
Beberapa pandangan menunjukkan bahwa salah satu dampak dari adanya keragaman atau pluralistik dapat dipahami sebagai salah satu faktor yang bisa menimbulkan berbagai bentuk konflik sosial baik karena bertolak dari satu kepentingan keagamaan yang sempit, maupun disebabkan oleh adanya supremasi budaya kelompok masyarakat tertentu.[17]
Sebab timbulnya perpecahan (hancurnya persaudaraan) karena umat Islam meninggalkan tali Allah dan berpegang pada tali atau ikatan selain Allah. Ada lima faktor yang menyebabkan umat Islam meninggalkan jalan Allah, yakni:
1. Kurang pengetahuan tentang Islam. Hal ini disimpulkan dari surah al-Maidah (5) ayat 14.
2. Kedengkian di antara sesama kaum muslimin. Hal ini disimpulkan dari Q.S. 2: 213; Q. S. 3: 19; Q.S. 42: 14 dan Q.S. 45: 17.
3. Tidak mau menggunakan akal. Hal ini disimpulkan dari Q.S. 59: 14.
4. Kecintaan yang berlebihan kepada dunia. Hal ini diisyaratkan Q.S. 3: 152.
5. Tidak menyerahkan kepercayaan atau kepemimpinan kepada kaum muslimin. Hal ini dipahami dari Q.S. 11: 116.[18]
Kesulitan mengembangkan persaudaraan dalam hubungannya dengan persoalan pluralitas masyartakat yang dihadapi oleh teologi adalah kecenderungan dalam memahami konsep ukhuwah Islamiyyah sebagai sesuatu yang telah final, sehingga menghambat usaha dalam mengembangkan konsep yang lebih kontekstual. Kecenderungan ini ditambah lagi dengan sikap-sikap menutup diri terhadap bentuk-bentuk pemikiran kritis yang coba untuk dikembangkan.[19]
Pemikiran yang sudah baku seperti itu tidak searah dengan tujuan agama, dimana ajaran agama diwahyukan Tuhan untuk kepentingan manusia, bukan manusia tercipta untuk kepentingan agama. Agama adalah jalan bukannya tujuan. Dengan bimbingan agama, manusia berjalan mendekati Tuhan dan mengharap ridha-Nya melalui amal-kebajikan yang berdimensi vertikal (ritual keagamaan) dan horizontal (pengabdian sosial).[20]

D. Usaha Mewujudkan Persaudaraan pada Masyarakat Pluralistik
Kenyataan yang dihadapi oleh umat Islam sejak awal perkembangan Islam sampai sekarang adalah adanya pluralitas agama, sosial dan budaya. Agama, pada hakikatnya, adalah dasar yang bisa dijadikan penggerak dalam pengembangan kehidupan sosial-budaya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan keharmonisan hidup manusia. Sebaliknya apabila agama dijadikan sebagai alat dalam rangka melegitimasi satu fenomena sosial dan budaya, maka agama bisa dipandang sebagai faktor disintegrasi dalam kehidupan sosial dan budaya yang pada ujungnya berakibat perpecahan, permusuhan dan penderitaan dalam kehidupan manusia.
Ada beberapa aspek ajaran Islam yang seyogyanya dipahami dan dihayati dengan memperhatikan kenyataan adanya pluralitas sosial. Hal ini diupayakan dengan tidak menggeser apalagi menghilangkan norma yang mendasar, akan tetapi hanya berorientasi pada pengembangan penafsiran atau pemahaman konsep agama dari yang eksklusivisme kepada inklusivisme, bahkan akan lebih maju lagi jika sampai pada pluralisme.
Dalam tulisan ini penulis mengemukakan beberapa contoh, sebagai berikut:
1) Pemahaman tentang orang-orang kafir yang dipahami dari surah al-Fath (48) ayat 29 yang mengandung pengertian bahwa Nabi Muhammad SAW dan para pengikut beliau (umat Islam) adalah bersifat keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih sayang sesama mereka.
Dalam kondisi sosial yang pluralistik, untuk menciptakan persaudaraan maka konsep kafir seyogyanya tidak diarahkan kepada individu dan atau komunitas sosial yang non-muslim, akan tetapi lebih diarahkan kepada perilaku-perilaku yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan atau segala tindakan yang memicu kepada kehancuran aspek persaudaraan kemanusiaan.
Dalam pemahaman seperti ini aspek persaudaraan antar umat beragama dapat diwujudkan secara harmonis dan usaha melenyapkan segala bentuk perilaku kekufuran akan lebih kuat dan kemungkinan membuahkan hasil yang gemilang. Hal ini dikarenakan adanya kebersamaan dalam mengatasi segala persoalan sosial yang pluralistik.
2) Dalam memahami ayat Alquran surah Ali Imran (3) ayat 19 yang isinya menyatakan bahwa sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam.
Penafsiran terhadap ayat di atas sering menjadi eksklusif yang menimbulkan semangat bahwa kebenaran hanya pada agama yang dianut, sedang agama lain harus diajak agar masuk agama Islam.
Pemahaman seperti ini tidak mendukung terwujudnya kondisi persaudaraan yang harmonis, bahkan tidak mustahil bisa menimbulkan konflik yang memungkinkan membawa kepada perpecahan yang menghanguskan sendi-sendi persaudaraan.
Dengan maksud demi menjaga aspek persaudaraan dalam kondisi sosial yang pluralistik maka pemahaman terhadap ayat seperti dikemukakan di atas selayaknya dikembangkan ke arah pemahaman yang inklusif yang mengarah pada pemahaman lain ats pengertian Keberislaman. Dalam hal ini, keberislaman bisa dipahami sebagai suatu kepasrahan kepada Allah (dengan tidak memonopoli hanya pada satu agama). Sedang alternatif lain bisa dengan cara memahami kata “sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah” dengan pengertian bahwa sesungguhnya agama yang paling dekat di sisi Allah adalah agama Islam.
Tawaran pemahaman seperti di atas setidaknya akan mengurangi semangat eksklusivitas dan membuka peluang adanya semangat inklusivitas. Hal ini diharapkan akan memberikan dorongan pada terciptanya persaudaraan yang harmonis.
3) Alquran yang diimani menjadi petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu (Hudan li al-Nas Q.S. 2: 185) antara lain memberikan petunjuk agar tidak melakukan permusuhan tetapi mewujudkan perdamaian dan dialog yang didasari semangat toleransi. Hal ini antara lain disebutkan dalam Alquran sebagai berikut:
“Dan katakanlah: Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan Aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu, Allah lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya kita kembali".[21]
Sementara dalam ayat lain, Alquran juga menjelaskan sebagai berikut:
Jika seseorang di antara orang-orang musyrikin itu minta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia, supaya sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.[22]
Kedua ayat di atas adalah sebagai dasar manusia dalam mengemban tugas mewujudkan persaudaraan sosial yang pluralistik baik pada aspek agama, budaya, bahasa, bangsa, etnis dan lain-lain. Apabila pemahaman terhadap ayat tersebut dapat dihayati, maka keberagamaan yang eksklusif akan semakin menipis dan pada gilirannya akan berubah menjadi keberagamaan yang inklusif.
4) Berkenaan dengan adanya aspek yang berbeda dalam pandangan agama yang berbeda –misalnya judi dan minuman yang mengandung alkohol --yang diyakini sebagai bagian ritual (dibolehkan) menurut ajaran suatu agama dan terlarang bagi suatu agama yang lain, maka dalam hal ini perlu diperpegangi suatu prinsip yaitu agree in disagreement yakni setuju dalam perbedaan.
Dalam hal ini dituntut adanya sikap saling menghargai dan menghormati diiringi dengan menjauhi sikap memaksakan kehendak (keyakinan) sendiri kepada orang lain yang memang berbeda agama.
Semua contoh yang dikemukakan di atas adalah sebuah wacana pemikiran yang perlu diupayakan untuk dapat dipahami dan dihayati selanjutnya diaktualisasikan dalam kehidupan beragama, mengingat hal itu sangat mendukung untuk mewujudkan kedamaian dan mengembangkan konsep persaudaraan insaniyah dalam teologi untuk konteks sosio-masyarakat yang pluralistik.
Dua aspek ajaran Islam (persaudaraan dan sosio-masyarakat yang pluralistik) ini mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling mendukung dan saling menguatkan. Aspek persaudaraan yang dipahami dan diaktualisasikan secara benar akan mendukung dan menguatkan terwujudnya sosio-masyarakat yang pluralistik. Sebaliknya apabila sosio-masyarakat yang pluralistik dipahami dan diaktualisasikan secara benar, maka akan mendukung dan menguatkan terwujudnya persaudaraan dalam berbagai bentuknya (intern umat Islam dalam satu agama dan antar umat beragama dalam berbagai agama).
Asumsi yang dikemukakan di atas adalah sebuah pendekatan yang bersifat teologis-normatif. Pada sisi lain bahwa apabila dilakukan studi dengan pendekatan yang bersifat historis-kritis maka akan tampak adanya berbagai kesenjangan, yakni terjadi berbagai ketegangan, konflik intern umat beragama dan antar umat beragama baik yang sifatnya individual maupun sosial.[23]
Dalam perjalanan sejarah umat Islam tercatat bahwa munculnya konflik intern umat Islam terjadi pada saat para sahabat Nabi saling berbeda pendapat, terjadi fitnah yang mengakibatkan terbunuhnya Utsman bin Affan, khalifah umat Islam ketiga.[24] Sejarah berikutnya menggambarkan berbagai fenomena perpecahan intern umat Islam yang muncul silih berganti di berbagai tempat dan kurun waktu sampai sekarang.
Sikap mudah bertengkar memang salah satu kelemahan manusiawi, yang merupakan salah satu akibat dari ketidak-mampuan manusia dalam mengendalikan hawa nafsunya. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai indikator kekurangdewasaan manusia, baik secara emosional maupun intelektual.[25] Disintegarsi sosial mungkin pula dilatarbelakangi oleh adanya fanatisme kelompok. Hal ini sering dikaburkan oleh pikiran dan tingkah laku umat Islam sendiri. Karena sadar atau tidak umat Islam (terutama para pemimpinnya) sering tidak lagi berbicara untuk kepentingan Islam, melainkan sering kali untuk kepentingan golongan atau organisasi. Sering kali menilai menilai berbagai masalah dalam segala seginya dengan ukuran agama.[26] Adanya berbagai perbedaan harus disadari adalah suatu keniscayaan sosial yang pluralistik yang tidak semestinya dijadikan sebab ketegangan emosional sesaama umat Islam.

E. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Ajaran Islam tentang persaudaraan meliputi persaudaraan antar sesama manusia (al-ukhuwah al-insaniyah), persauda-raan di antara mereka yang percaya kepada Tuhan yang Maha Esa (al-ukhuwah al-Rabbaniyah), dan persaudaraan sesama umat Islam (al-ukhuwah al-islamiyyah).
2. Islam tidak menolak terhadap keniscayaan sosial yang pluralistik, baik dilihat pada dimensi keagamaan maupun dimensi kemanusiaan.
3. Terdapat hubungan yang erat dan saling mendukung antara aspek persaudaraan dengan aspek teologi sosial yang pluralistik.
4. Aspek persaudaraan yang dapat diaktualisasikan sesuai dengan apa yang ada pada tataran normatif akan memberikan dukungan besar dalam usaha mewujudkan berbagai aspek teologis yang terkait dengan kesejahteraan manusia yang pluralistik. Begitu pula keberhasilan mewujudkan berbagai aspek teologi sosial yang pluralistik akan mendukung dan memperkuat ikatan persaudaraan sesama manusia.
5. Untuk dapat mewujudkan persaudaraan pada masyarakat yang pluralistik, maka semua umat beragama harus berpegang teguh pada agama masing-masing (tidak mencampuri urusan agama yang bukan anutannya) dan harus memegang dan mengaktualisasikan prinsip agree in disagreement (setuju dalam perbedaan) serta menghormati adanya larangan dan atau kebolehan masing-masing agama.
6. Berkenan dengan adanya berbagai macam perbuatan yang merusak nilai kemanusiaan seperti narkoba, judi dan pelanggaran seksual, selain disorot dari aspek larangan agama seyogyanya lebih ditonjolkan pada aspek larangan berdasar-kan undang-undang negara atau peraturan pemerintah. Hal ini akan meminimalkan timbulnya konflik antar agama.
7. Bagaimanapun kondisi emosional yang kita rasakan, kita tidak bisa mengelak dari kenyataan adanya kesenjangan baik skala besar adan skala kecil antara doktrin-normatif dengan kenyataan sosial-historis.


Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996.
Alquran dan Terjemahannya, Jakarta, Departemen Agama RI, 1971.
Andito. Atas Nama Agama, Bandung, Pustaka Hidayah, 1998.
Arkoun, Muhammad dan Lois Gardet, Islam Kemaren dan Hari Esok, diterjemahkan oleh Ashun Muhammad, Bandung, Pustaka 1997.
Basri, Syafiq (ed.). Satu Islam; Sebuah Dilema, Bandung, Mizan, 1994.
Collins, Gerald O' dan Edward G. Farruqie, A Coneise Dictionary of Theology, diterjemahkan oleh I. Suharto, Kamus Teologi, cet. VI, Yogyakarta, Kanisius, 1998.
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF, (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama, Jakarta, Gramedia, 1998.
Muslim, Imam. Shahih Muslim, juz. I, Bandung, PT. al-Ma'arif, t.th.
Nasution, Harun. Islam Rasional, cet. V., Bandung, Mizan, 1998.
Sabiq, Sayyid. al-Aqaidu al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh M. Abdai Rathomy, Aqidah Islam (Ilmu Tauhid), cet. I, Bandung, CV. Diponegoro, 1974.
Syaltout, Mahmout. al-Islam Aqidat wa Syari'at, jilid I, diterjemahkan oleh Bustomi A. Ghani, Islam sebagai Aqidah dan Syari'at, Jakarta, Bulan Bintang, 1972.
Tanja, Victor J. Pluralisme Agama dan Pluralisme Sosial, cet. I, Jakarta, Pustaka Cidesindo, 1998.
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam, Pluralisme Budaya dan Politik: Refleksi Teologi untuk Aksi dalam Keberagamaan dan Pendidikan, Yogyakarta, Sipress, 1994.Ya'fie, Ali. Teologi Sosial: Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan, Yogyakarta, LKPSM, 1997.
*Penulis saat ini menjabat Pembantu Dekan I Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin. Menyelesaikan pendidikan S-2 di bidang Ilmu Tasawuf pada Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin.
[1]Imam Muslim, Shahih Muslim, juz. I, (Bandung: PT. al-Ma'arif, t.th), h.23-24.
[2]Mahmout Syaltout, Al-Islam Aqidat wa Syari'at, jilid. I, diterjemahkan oleh Bustomi A. Ghani, Islam sebagai Aqidah dan Syari'at, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), h.22.
[3]Sayyid Sabiq, Al-Aqaidu al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh M. Abdai Rathomy, Aqidah Islam (Ilmu Tauhid), cet. I, (Bandung: CV. Diponegoro, 1974), h.15.
[4]Q.S. al-Anbiya (21) : 107.
[5]Q. S. Saba' (34) : 28.
[6]Q.S. al-Hujurat (49) : 10.
[7]Q.S. al-Taubah (9) : 71.
[8]Q.S. al-Hujurat (49) : 13.
[9]Nurcholish Madjid, "Meninggalkan Kemutlakan; Jalan Menuju Perdamaian", dalam Audito (ed.), Atas Nama Agama, cet. I., (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h.157.
[10]Harun Nasution, Islam Rasional, cet. V., (Bandung: Mizan, 1998), h.167.
[11]Ali Ya'fie, Teologi Sosial, (Yogyakarta: LKISM, 1997), h.v.
[12]M. Dawam Rahardjo, "Mengembangkan Sistem Kerja Sama Umat Islam", dalam M. Dawam Rahardjo, dkk., Satu Islam Sebuah Dilema, cet. VII, (Bandung: Mizan, 1994), h.127.
[13]M. Quraisy Syihab, "Mengikis Fanatisme dan Mengembangkan Toleransi", dalam M. Dawam Rahardjo, dkk., Satu Islam Sebuah Dilema …, op. cit., h.109.
[14]Gerald O' Collins dan Edward G. Farruqie, A Coneise Dictionary of Theology, diterjemahkan oleh I. Suharto, Kamus Teologi, cet. VI., (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h.257.
[15]Ibid., h.257.
[16]Victor J. Tanja, Pluralisme Agama dan Pluralisme Sosial, cet. I., (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1998), h.4.
[17]Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam, Pluralisme Budaya dan Politik: Refleksi Teologi untuk Aksi dalam Keberagamaan dan Pendidikan, (Yogyakarta: Sipress, 1994), h.33.
[18]Jalaluddin Rahmat, Ukhuwah Islamiyyah, dalam M. Dawam Rahardjo, dkk., Satu Islam Sebuah Dilema …, op. cit., h. 78-81.
[19]Mohammad Sobary, Dialog Intern Islam: Ukhuwah Islamiyyah, dalam Passing Over: Melintasi Batas Agama, (Jakarta: Gramedia, 1998), h.63.
[20]Komaruddin Hidayat, Agama untuk Kemanusiaan, dalam M. Dawam Rahardjo, dkk., Satu Islam Sebuah Dilema …, op. cit., h.4.
[21]Q.S. Asy-Syura (42) : 15.
[22]Q.S. al-Taubah (9) : 6.
[23]M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.4.
[24]M. Arkoun dan Lois Gardet, Islam Kemaren dan Hari Esok, diterjemahkan oleh Ashun Muhammad, (Bandung: Pustaka 1997), h.10.
[25]Ahmad Syafi'i Ma'arif, "Ukhuwah Islamiyah dan Etika Alquran", dalam M. Dawam Rahardjo, dkk., Satu Islam Sebuah Dilema …, op. cit., h.52.
[26]Ali Audah, "Ukhuwah Islamiyah: Permasalahan Akidah Minus Fanatisme", dalam M. Dawam Rahardjo, dkk., Satu Islam Sebuah Dilema …, op. cit., h. 52.

Terimakasih pak Abd. Rahman Jaferi*

Tidak ada komentar: