Minggu, 13 Januari 2008

BIAS JENDER An-Nisa 1 & 4

AYAT BIAS GENDER
Studi Analitis Penafsiran an Nisa Ayat 1 dan 34

Dalam ‘Ul­m al-Qur’±n / Tafsir ditemukan penegasan bahwa at-Tafs³r al-Ma’£­r merupakan penafsiran atau interpretasi utama terhadap Alquran, karena ia bersandar kepada Alquran sendiri, atau kepada hadis Nabi Muhammad Saw. yang memang punya otoritas untuk menjelaskan Alquran (mubayyin), atau kepada ±£±r sahabat. Para sahabat inilah yang mengalami langsung (kontekstual) peristiwa diturunkannya Alquran. Sandaran lain adalah syair-syair Jahiliyyah yang waktu itu Bahasa Arab mencapai puncak perkembangannya sementara Alquran diturunkan sesuai dengan ketentuan Bahasa Arab. Penegasan ini ternyata harus dicermati ulang, karena penafsiran Alquran dengan Alquran atau penafsiran Alquran dengan hadis Nabi Saw. memang tidak diragukan lagi kebenarannya, jika hal itu ditegaskan sendiri oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai pemegang otoritas penafsir Alquran. Di sini hadis harus dicermati secara proporsional dan professional serta diperhatikan esensi konteksnya. Akan tetapi jika penafsiran dimaksud adalah hasil pemahaman mufasir, tidak tertutup kemungkinan adanya penafsiran baru yang barangkali berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan penafsiran lama. Di sisi lain, pengambilan kesimpulan yang melampaui batas kandungan ayat (generalisasi), juga merupakan hal yang mesti dipertimbangkan
Kat-kata kunci: Bias gender; at-tafs³r al-ma’£­r (interpretasi tekstual); pemahaman hadis secara proporsional, professional, dan esensi konteksnya; generalisasi ayat yang spesifik dan korelasi antarayat (mun±sabah bayn al-±y±t).

A. Pendahuluan
Alquran yang diturunkan 15 abad yang silam, berfungsi sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Bukan hanya sampai di situ, penjelasan mengenai petunjuk itu pun terdapat pula di dalam Alquran, bahkan ia merupakan pembeda antara yang hak dan yang batil.[1]
Sebagai petunjuk yang harus dipedomani dalam menjalani kehidupan ini, Alquran terlebih dahulu harus dipahami dengan baik, dihayati dan selanjutnya diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Salah satu petunjuk Alquran itu bagi umat manusia adalah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju terang benderang.[2] Hal ini berarti bahwa Alquran memperkenalkan dirinya sebagai kitab suci yang berfungsi melakukan perubahan-perubahan positif. Dan perubahan dapat terlaksana akibat pemahaman dan penghayatan nilai-nilai Alquran.[3]
Alquran mendudukkan manusia dalam status yang sama, baik laki-laki maupun perempuan, yang membedakan mereka hanyalah mutu dan tingkat ketakwaan.[4] Informasi ini memberi isyarat untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, termasuk diskriminasi seksual, warna kulit, etnis dan ikatan-ikatan primordial lainnya.[5] Oleh karena itu, jika terdapat penafsiran yang menghasilkan bentuk penindasan dan ketidakadilan, maka penafsiran tersebut perlu diteliti kembali.
Uraian terakhir ini memberikan gambaran bahwa dalam sejarah kemanusiaan terjadi ketidakadilan sosial, terutama berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin. Analisis yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dari hubungan jenis kelamin ini, diistilahkan dengan analisis gender.[6]
Dalam penafsiran Alquran, terutama berkenaan dengan S­rah an-Nis± ayat satu terlihat adanya bias gender. Tafsir klasik umumnya masih menggunakan hadis yang secara harfiah menjelaskan bahwa perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.[7] Begitu pula dengan S­rah an-Nis± ayat 34 yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Departemen Agama “Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum wanita”.[8] Kata “pemimpin” dalam Bahasa Indonesia tidak identik dengan qaww±mah dalam Bahasa Arab. Yusuf Ali menerjemahkannya ke dalam Bahasa Inggris dengan: man are the protectors and maintainers of women (laki-laki adalah pelindung dan pemelihara bagi perempuan). Qaww±mah dalam terjemahan Bahasa Indonesia terkesan otoriter daripada terjemahan Bahasa Inggris.[9]
Dari uraian terdahulu, dianggap perlu untuk melihat kembali penafsiran ayat-ayat yang terkesan adanya bias gender, yaitu S­rah an-Nis± ayat satu dan 34, pada gilirannya diharapkan adanya tafsiran baru yang lebih relevan dalam menjawab permasalahan kontemporer umat manusia, terutama kaum muslimin. Masalah dimaksud dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana penafsiran klasik dan modern terhadap ayat satu dan 34 S­rah an-Nis± yang bias gender? 2. Bagaimana penafsiran baru terhadap ayat-ayat tersebut?

B. Ayat-ayat yang Ditafsirkan Bias Gender
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالاَْرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا(سورة النساء:4/1)
Adapun ayat yang berkaitan dengan laki-laki pemimpin wanita adalah sebagai berikut:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (سورة النساء:4/34)

C. Penafsiran Klasik dan Moderen yang bias Gender
1. Penafsiran Ayat tentang Kejadian Manusia
a. Kitab-kitab Tafsir Klasik
Al-Al­siy (217–270 H.) menjelaskan sebagai berikut:
Hai manusia, bertakwalah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari seorang pribadi, yaitu ²dam. Dan daripadanya pula Dia menciptakan isterinya. Ungkapan ”wa khalaqa minh± zaujah±” dihubungkan (di’a¯afkan) kepada ungkapan “khalaqakum”. Ungkapan “khalaqa” diulang kembali, karena ada perbedaan dalam penciptaan. Yang pertama berkenaan dengan perkembangbiakan dari asal, sedangkan yang kedua diwujudkan dari sesuatu benda atau materi. Yang dimaksud dengan ungkapan “zawjun” yang berarti pasangan di sini adalah ¦aww± yang diciptakan dari salah satu tulang rusuk ²dam yang sebelah kiri, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar dan lainnya.[10]
A¯-°­siy (385–460 H.) menjelaskan sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan ungkapan “min nafsin w±¥idatin” pada ayat ini adalah ²dam menurut mufasir: as-Suddiy, Qat±dah, Muj±hid dan yang lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan ungkapan “wa khalaqa minh± zawjah±” yakni ¦aww±. Diriwayatkan bahwa ¦aww± diciptakan dari salah satu tulang rusuk ²dam. Mayoritas mufasir mengikuti pendapat ini.[11]
Az-Zama¥syariy (467–538 H.) memberikan komentar:
Allah menciptakan manusia berasal dari seorang pribadi, yaitu ²dam Ab­ al-Basyar yang diistilahkan dengan nafsin w±¥idatin. Sementara wa khalaqa minh± zawjah± dapat dihubungkan (di’a¯afkan) kepada dua kemungkinan sebagai berikut:
Pertama, ayat itu dihubungkan kepada kalimat yang dihilangkan. Jadi seakan-akan Allah berfirman: “Hai manusia,bertakwalah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menjadikan kalian dari seorang pribadi yang Dia ciptakan sendiri dan daripadanya pula Dia ciptakan isterinya”. Di sini kalimat yang dihilangkan adalah “ansya’ah± aw ibtada’ah±”, karena makna kalimat itu sudah tersirat dalam pengertian ayat.[12]
Berikutnya az-Zama¥syariy menjelaskan:
Allah menciptakan kalian dari seorang pribadi yang Dia ciptakan sendiri dari tanah/debu (tur±b) dan Dia menciptakan isterinya ¦aww± dari salah satu tulang rusuknya. Kemudian diperkembangbiakkan-Nya dari mereka berdua, laki-laki dan perempuan yang banyak. Dalam menyebut laki-laki dan perempuan pada ayat tersebut, yang diberikan sifat hanyalah laki-laki (rij±lan ka£³ran), sedangkan perempuan tidak diberi kata sifat lagi. Hal ini menunjukkan bahwa penciptaan mereka semua berasal dari jenis laki-laki.[13]
Kedua, ungkapan “wa khalaqa minh± zawjah±” dapat pula dihubungkan kepada ungkapan “khalaqakum”.[14]
Ab­ ¦ayy±n al-Andalusiy (654–745 H.) menjelaskan:
Yang dimaksud dengan ungkapan “nafsin w±¥idatin” adalah ²dam,[15] sementara penciptaan ¦aww± berasal dari diri ²dam. Untuk itu ia mengutip riwayat yang dikemukkan oleh Ibnu ‘Abb±s, Muj±hid, as-Suddiy, dan Qat±dah yang mengatakan: “Allah menciptakan ²dam kesepian di surga sendirian, kemudian ia tidur, lalu Allah mencabut salah satu tulang rusuknya sebelah kiri (ada pendapat yang mengatakan tulang rusuknya sebelah kanan) yang lebih pendek, lalu Dia ciptakan ¦aww±”.[16]
Ibnu Ka£³r (705–774 H menjelaskan:
Yang dimaksud dengan ungkapan “min nafsin w±¥idatin” adalah ²dam, sedangkan ungkapan “wa khalaqa minh± zawjah±” adalah ¦aww± yang diciptakan dari tulang rusuk ²dam yang sebelah kiri, setelah diciptakan ²dam, ketika ia sedang tertidur. Begitu ia terbangun, ia melihatnya dan mengaguminya lalu tertarik kepadanya. ¦aww± pun tertarik pula kepada ²dam.[17]
Im±m as-Suy­¯iy (849–911 H.) dan al-Ma¥alliy (791–864 H.) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ungkapan “min nafsin w±¥idatin” adalah ²dam, sedangkan ungkapan “wa khalaqa minh± zawjah±” adalah ¦aww±.[18]
Ab­ as-Su’­d (893–982 H.) menjelaskan:
Allah telah menciptkan ²dam as. kemudian menciptakan ¦aww± dari tulang rusuk ²dam as. Diriwayatkan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla ketika menciptakan ²dam as. Dia tempatkan di dalam surga, lalu Dia jadikan ²dam as. itu tertidur . Dalam kondisi ²dam as. antara tidur dan jaga, Allah ciptakan ¦aww± dari salah satu tulang rusuk ²dam as. yang sebelah kiri. Ketika ²dam as. betul-betul jaga, dia temukan ¦aww± sudah berada di sisinya.[19]
b. Kitab-kitab Tafsir Moderen
Perlu ditegaskan bahwa kitab-kitab tafsir moderen yang akan dikemukakan di sini hanyalah kitab-kitab yang penafsirannya masih senada dengan penafsiran kitab-kitab tafsir klasik, yakni masih bias gender. Kitab-kitab tafsir dimaksud antara lain adalah sebagai berikut:
Al-Q±simiy (1866–1914 M.) menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari seorang pribadi, yaitu ²dam. Kemudian Dia ciptakan pula baginya seorang isteri, yaitu ¦aww± yang berasal dari diri ²dam itu sendiri. Selanjutnya Allah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak dengan jalan beranak dan berketurunan. Kata sifat dari nis±’an tidak disebutkan dengan jelas, karena dari kata sifat untuk laki-laki, yaitu “ka£³ran” sudah tercakup pula perempuan.[20]
A¥mad Mu¡¯af± al-Mar±giy (1883–1952 H.) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ungkapan “min nafsin w±¥idatin” adalah ²dam….sedangkan ungkapan “wa khalaqa minh± zawjah±” adalah ¦aww± yang diciptakan dari tulang rusuknya yang sebelah kiri ketika ia sedang tidur.[21]
Mu¥ammad ‘Aliy a¡-¢±b­niy, Guru Besar Fakultas Syar³’ah dan Studi Islam di Mekah al-Mukarramah mengatakan:
Yang dimaksud dengan ungkapan “min nafsin w±¥idatin” adalah “ansya’akum min a،lin w±¥idatin wa huwa ab³kum ²dam” yakni Allah menciptakan kalian dari satu asal, yaitu moyang kalian ²dam, sedangkan ungkapan “wa khalaqa minh± zawjah± wa hiya ¦aww±” yakni Allah ciptakan dari diri ²dam tadi isterinya, yaitu ¦aww±.[22]
Ab­ Bakr J±bir al-Jaz±’iriy, penasihat Mesjid Nabawiy di Mad³nah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ungkapan “min nafsin w±hidatin” adalah ²dam as., sedangkan yang dimaksud dengan ungkapan “wa khalaqa minh± zawjah±” adalah “khalaqa ¦aww± min ²dam, min «il’ihi” yakni Allah menciptakan ¦aww± itu dari diri ²dam, yaitu dari tulang rusuknya.[23]
Wahbah az-Zuhayliy, Ketua Jurusan Fiqh Islam dan Mazhab-mazhabnya di Universitas Damaskus mengatakan:
Yang dimaksud dengan ungkapan “minnafsin w±¥idatin” menurut mayoritas ulama tafsir adalah ²dam as. yang merupakan moyangnya manusia, tidak ada lagi ²dam yang lain, kecuali dia sendiri. Pendapat yang menyatakan adanya ²dam-²dam yang lain, bertentangan dengan ungkapan tegas Alquran.[24]
Adapun yang dimaksud dengan ungkapan “wa khalaqa minh± zawjah±” adalah “¦aww± yang Allah ciptakan dari tulang rusuk ²dam yang sebelah kiri, ketika ia sedang tidur, kemudian ia terjaga dan kagum melihatnya dan tertarik kepadanya, ¦aww± pun juga demikian”.[25]
Semua tafsir yang penulis gunakan sebagai rujukan dalam subbahasan ini, baik tafsir klasik maupun tafsir moderen yang menggunakan interpretasi tekstual, terutama yang menjadikan hadis Nabi Saw. sebagai penjelas atau penafsir ayat tersebut, sepakat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ungkapan “min nafsin w±¥idatin” adalah ²dam as. sebagai moyangnya manusia, sedangkan ungkapan “wa khalaqa minh± zawjah±” adalah Allah swt. menciptakan ¦aww± dari diri ²dam, tegasnya dari tulang rusuknya. Ada yang menyatakan tulang rusuknya yang sebelah kiri dan ada pula yang menyatakan tulang rusuknya yang kanan.
2. Penafsiran Ayat tentang Laki-laki Pemimpin Wanita
a. Kitab-kitab Tafsir Klasik
Al-Al­siy (217–270 H.) memberikan komentar bahwa laki-laki itu memimpin wanita sebagaimana pemerintah memimpin rakyatnya dengan perintah, larangan dan sebagainya.[26]
A¯-°­siy (385–460 H.) memulai komentarnya dengan mengemukakan latar belakang turunnya ayat (sabab an-nuz­l) sebagai berikut: “Al-¦asan, Qat±dah, Ibnu Jurayj, dan as-Suddiy meriwayatkan bahwa seorang suami menampar isterinya. Lalu si isteri itu datang kepada Nabi Saw. menuntut agar dilaksanakan qi¡±¡, kemudian turunlah ayat yang berbunyi: “ar-rij±lu qaww±m­na ‘al± an-nis±”.[27]
Selanjutnya a¯-°­siy menjelaskan makna ayat tersebut:
Laki-laki bertugas mendidik dan mengatur wanita, karena kelebihan yang Allah berikan kepada mereka berupa akal dan pendapat (al-‘aql wa ar-ra’y). Ia juga mengutip pendapat az-Zuhriy yang mengatakan: “Tidak ada qi¡±¡ antara suami dengan isterinya, selain menghilangkan nyawanya”. Yang dimaksudkan dengan ungkapan “rajulun qayyimun, wa qaww±m, wa qiy±m” adalah bahwa mereka melaksanakan urusan wanita agar menaati Allah dan menaati mereka.[28]
Az-Zama¥syariy (467–538 H.) menjelaskan:
Laki-laki itu menjaga para wanita sebagai pemberi perintah atau larangan, sebagaimana pemerintah menjaga rakyatnya. Laki-laki mengawasi wanita, karena kelebihan yang Allah berikan kepada mereka, bukan karena menguasai, dapat memberi dan memaksa. Ia mengutip sejumlah kelebihan yang Allah berikan kepada laki-laki atas perempuan, baik yang bersifat fisik, mental, maupun urusan keagamaan. Antara lain adalah: akal, mengambil keputusan, tekat, dan kemampuan menulis pada umumnya; mengendarai kuda dan memanah. Para nabi dan ulama serta pemimpin besar dan kecil dari laki-laki. Mereka yang disuruh berjihad, a©±n, berkhutbah, i’tik±f, takbiran pada hari-hari tasyr³q dan lain-lain.[29]
Ab­ ¦ayy±n al-Andalusiy (654–745 H.) memulai komentarnya dengan mengemukakan latar belakang turunnya ayat yang lebih lengkap dari apa yang dikemukakan oleh a¯-°­siy.
Menurutnya, ada seorang wanita yang telah ditampar oleh suaminya, wanita itu lalu minta diputuskan hukuman untuk suaminya dan ditetapkanlah hukum qi¡±¡. Akan tetapi, sebelum qi¡±¡ itu diberlakukan, turunlah ayat ini. Nabi Saw. pun lalu bersabda: “Anda menginginkan suatu perkara, namun Allah menghendaki perkara yang lain”. Selanjutnya Ab­ ¦ayy±n mengemukakan beberapa riwayat secara panjang lebar yang menyebutkan bahwa wanita itu adalah ¦ab³bah binti Zayd bin Ab³ Zuhayr isteri ar-Rab³’ bin ‘Amr dan akhirnya hukuman qi¡±¡ itu ditiadakan.[30]
Ibnu Ka£³r (705–774 H.) memberikan komentar:
Laki-laki pemgimpin wanita, pengatur, penentu (pembuat keputusan),dan pendidiknya jika wanita itu bertindak tidak lurus. Lebih jauh ia menjelaskan:
Laki-laki itu lebih baik dan lebih utama dari wanita, karena itulah kenabian hanya diberikan kepada kaum laki-laki.[31] Sebagai argumen pendapatnya ini, ia mengemukakan hadis Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh al-Bukh±riy dari ‘Abd ar-Ra¥m±n bin Ab³ Bakrah dari Ayahnya yang artinya: “Suatu bangsa tidak akan memperoleh keberuntungan (jika) menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita”.[32]

Im±m as-Suy­¯iy (849–911 H.) dan al-Ma¥alliy (791–864 H.) menjelaskan bahwa laki-laki itu pemegang kekuasaan atas wanita, mendidik mereka dan dapat menindak mereka.[33]
Ab­ as-Su’­d (893–982 H.) menjelaskan bahwa laki-laki itu pemegang tampuk pemerintahan terhadap wanita, sebagaimana pemegang tampuk pemerintahan terhadap rakyatnya. Dalam hal ini, mereka diberi kelebihan atas wanita.[34]
b. Kitab-kitab Tafsir Moderen
Al-Q±simiy (1866–1914 M.) menjelaskan bahwa ungkapan “qaww±m­n” itu bentuk jamak (plural) dari qaww±m dalam arti laki-laki itu adalah orang yang tegak untuk mengatur kemaslahatan dan pendidikan wanita, mengatur mereka dengan memerintah dan melarang sebagaimana pemerintah mengatur rakyatnya.[35]
A¥mad Mu¡¯af± al-Mar±giy (1883–1952 M.) menjelaskan bahwa laki-laki itu memelihara dan melindungi wanita. Lebih tegas lagi, berkaitan dengan kepemimpinan laki-laki atas wanita, ia menjelaskan:
Orang yang dipimpin melaksanakan apa yang diinginkan dan dipilih oleh pemimpinnya. Makna kepemimpinan itu hanya memberi petunjuk dan mengawasi terhadap apa yang diperintahkannya dan memperhatikan apa yang dikerjakannya. Karena itu, wanita bertugas menjaga rumah suaminya, tidak berpisah dengan suaminya (tidak meninggalkan rumah) tanpa izin suaminya, sekalipun untuk mengunjungi keluarga dekat.[36]
Mu¥ammad ‘Aliy a¡-¢±b­niy menjelaskan bahwa laki-laki itu dapat memerintah, melarang, memberi nafkah, dan arahan, sebagaimana pemerintah memerintah rakyatnya.[37]
Ab­ Bakr J±bir al-Jaz±’iriy, penasihat Mesjid Nabawiy di Mad³nah menjelaskan bahwa “kata qaww±m­n itu adalah bentuk jamak (plural) dari kata qaww±m, yang berarti orang yang tegak atas sesuatu dalam hal pemeliharaan, perlindungan, dan perbaikan”.[38]
Setelah mengemukakan sebab turunnya ayat ini dan menjelaskan gagalnya pelaksanaan qi¡±¡ ia mengomentari ayat ini sebagai berikut:
Laki-laki itu pemimpin wanita. Kita menginginkan satu perkara, namun Allah menghendaki perkara yang lain. Apa yang Allah kehendaki adalah lebih baik dan menerima ketentuan Allah bahwa laki-laki itu selamanya menjadi pemimpin wanita. Ia memeliharanya, mendidiknya, dan memperbaikinya dengan apa yang Allah anugerahkan kepada-Nya berupa akal yang lebih sempurna dari akal wanita, pengetahuan yang lebih banyak dari pengetahuan wanita pada umumnya, pandangan yang jauh ke depan dalam berbagai urusan baik persiapan maupun menentukan sasarannya. Lebih dari itu semua, laki-laki membayar mahar sementara wanita tidak membayarnya, laki-laki berkewajiban memberi nafkah sementara wanita tidak berkewajiban untuk itu. Mengingat bahwa laki-laki berkewajiban menjadi pemimpinwanita secara syar’iy¸ maka ia berhak memukul isterinya namun tidak sampai berakibat luka atau merusak anggota badan. Pukulan tersebut bersifat persuasif dengan tujuan mendidik. [39]
Wahbah az-Zuhayliy, Ketua Jurusan Fiqh Islam dan Mazhab-mazhabnya di Universitas Damaskus, menjelaskan:
Laki-laki itu mengurusi, memelihara atau menjaga dan memimpin wanita berdasarkan haknya, mendidik dan dapat mengambil tindakan terhadap wanita. Yang dimaksudkan dengan kepemimpinan di sini adalah kepemimpinan dalam urusan keluarga dan rumah tangga dan tidak berlaku untuk urusan kebatilan. Dalam hal ini, wanita tidak boleh menaati laki-laki untuk melakukan kebatilan.[40]

D. Penafsiran Baru
1. Ayat tentang Asal Kejadian Manusia
Dari penelusuran terhadap sejumlah kitab tafsir, baik yang klasik maupun yang moderen yang menafsirkan ayat satu s­rah an-Nis± yang berkaitan dengan asal kejadian manusia dengan teknik penafsiran tekstual (al-ma’£­r dalam hal ini menjadikan hadis sebagai penafsir ayat Alquran), sepakat bahwa ²dam Allah ciptakan dari tanah, sementara isterinya ¦aww± diciptakan dari tulang rusuk ²dam yang sebelah kanan atau yang sebelah kiri.
Untuk lebih jelasnya mengenai hadis tersebut, akan penulis kutip selengkapnya sebagai berikut:
Ab­ Kurayb dan M­s± bin ¦iz±m menyampaikan hadis ini kepada kami. Keduanya mengatakan: “¦usayn bin ‘Aliy menyampaikan hadis ini kepada kami”. Dari Z±’idah, dari Maysarah al-Asyja’iy, dari Ab­ ¦±zim dari Ab­ Hurayrah ra. Ia berkata: “Bersabda Rasulullah Saw.: ‘Berwasiatlah kalian kepada para wanita, karena seorang wanita itu diciptakan dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling tinggi (panjang). Jika Anda meluruskannya, (berarti) Anda memecahkannya, namun jika Anda biarkan saja, ia akan selalu bengkok. Oleh karena itu, maka berwasiatlah kepada para wanita’. (H. R. al-Bukh±riy, kit±b A¥±d³£ al-Anbiy±, nomor 3084).
Dalam teks hadis ini barangkali dapat dipahami bahwa yang diciptakan dari tulang rusuk itu adalah ¦aww±, karena menggunakan ungkapan “ar-Mar’ah” yang berarti seorang perempuan dan “khuliqat” yang berarti ia diciptakan, kata ganti di sini kembali kepada kata al-Mar’ah. Akan tetapi jika diperhatikan hadis lain yang dikemukakan oleh al-Bukh±riy juga, maka yang diciptakan dari tulang rusuk itu, bukan hanya ¦aww±, isteri ²dam, tetapi semua wanita, sebagaimana hadis berikut ini:
Is¥±q bin Na،r menyampaikan hadis ini kepada kami. Ia mengatakan: “¦usayn al-Ja’fiy menyampaikan hadis ini kepada kami”. Dari Z±’idah, dari Maysarah, dari Ab­ ¦±zim, dari Ab­ Hurayrah, dari Nabi Saw. Ia Bersabda: “Siapa pun yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah orang itu menyakiti tetangganya. Dan hendaklah kalian berwasiat yang baik kepada para wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk dan tulang yang paling bengkok adalah yang paling tinggi (panjang). Jika Anda meluruskannya (berarti) Anda memecahkannya, namun jika Anda membiarkannya, ia akan selalu bengkok. Oleh karena itu hendaklah kalian berwasiat yang baik kepada para wanita”. (H. R. al-Bukh±riy, kit±b an-Nik±¥, nomor 4787).
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Al-Bukhariy dari gurunya yang lain, yaitu Is¥±q bin Na،r. Akan tetapi untuk sanad berikutnya, yaitu ¦usayn bin ‘Aliy al-Ja’fiy, Z±’idah, Maysarah al-Asyja’iy, Ab­ ¦±zim dan Ab­ Hurayrah adalah sama dengan sanad hadis sebelumnya. Matn hadis kedua ini menggunakan ungkapan “hunna” adalah kata ganti yang berarti mereka, yakni semua wanita. Dengan demikian, penjelasan bahwa ¦aww± diciptakan dari tulang rusuk ²dam tidak dapat dipertahankan, karena dari hadis yang kedua ini diketahui bahwa hadis yang semakna ini tidak berbicara secara spesifik berkaitan dengan asal kejadian wanita. Baik ¦aww± sebagai wanita pertama, maupun wanita pada umumnya.
Aksentuasi (penekanan) hadis ini menurut penulis adalah memberikan wasiat yang baik, pesan atau petuah kepada para wanita secara arif dan bijaksana. Hal ini dapat dipahami dari pengulangan ungkapan “fa istaw،­ bi an-nis±” pada hadis pertama, dan “fa istaw،­ bi an-nis±’i khayran” pada hadis kedua.
Pada hadis yang lain, semakin tampak bahwa hadis semakna tidaklah berbicara secara spesifik tentang kejadian wanita, karena ungkapan “a«-¬ila’” digunakan sebagai metafora. Hadis dimaksud adalah sebagai berikut:
Abdullah bin Ab³ Ziy±d menyampaikan hadis ini kepada kami. Ia mengatakan: “Ya’q­b bin Ibr±h³m bin Sa’d menyampaikan hadis ini kepada kami”. Ia mengatakan: “Keponakan Ibnu Syih±b menyampaikan hadis ini kepada kami”. Dari pamannya (Ibnu Syih±b), dari Sa’³d bin al-Musayyab, dari Ab­ Hurayrah. Ia mengatakan: “Rasulullah Saw. bersabda: ‘Sesungguhnya wanita itu bagaikan tulang rusuk, jika Anda meluruskannya (berarti) Anda memecahkannya, namun jika Anda membiarkannya, Anda bersenang-senang dengannya atas kebengkokan’. At-Turmu©iy mengatakan dalam bab ini ada pula riwayat yang berasal dari Ab­ ´arr, Samurah, dan ‘²’isyah. Selanjutnya ia mengatakan pula: Hadis Ab­ Hurayrah ini ¥asan ،a¥³¥ gar³b dari sanad ini (artinya semula berkualitas ¥asan, namun didukung oleh hadis lainnya yang berkualitas ،a¥³¥ dan para periwayatnya untuk masing-masing angkatan (¯abaqah) hanya satu orang). Walaupun demikian, menurut at-Turmu©iy sanad hadis ini baik (jayyid) (H. R. at-Turmu©iy, kit±b a¯-°al±q wa al-Li’±n, nomor 1109).
Dalam hadis ini Nabi Saw. menggunakan ungkapan “ka a«-¬ila’i” sebagai bentuk metafora. Dari hadis yang ketiga ini, semakin tampak bahwa sasaran hadis bukanlah untuk menjelaskan asal kejadian wanita. Masih ada hadis-hadis lain semakna yang menggunakannya sebagai metafora, sehingga dapat dipahami dalam arti konotasi (majazi) bukan dalam arti denotasi (hakiki).
Lebih lanjut, apa yang dimaksudkan dengan ungkapan “kasartah±” yang berarti Anda memecahkannya dalam hadis-hadis yang semakna dengan ketiga hadis di atas adalah “menceraikannya atau menalaknya”.[41] Untuk itu dapat dilihat hadis berikut:
‘Amrun an-N±qid dan Ibnu Ab³ ‘Umar menyampaikan hadis ini kepada kami. Lafal hadis ini berasal dari Ibnu Ab³ ‘Umar. Mereka berdua berkata: “Sufy±n menyampaikan hadis ini kepada kami”. Dari Ab³ az-Zin±d, dari al-A’raj, dari Ab­ Hurayrah. Ia mengatakan: “Rasulullah Saw. bersabda: ‘Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Selamanya ia tidak akan dapat lurus untukmu atas satu cara. Maka jika Anda bersenang-senang dengannya, (berarti) Anda bersenang-senang dengannya sedangkan ia dalam keadaan bengkok, namun jika Anda meluruskannya, (berarti) Anda memecahkannya. Pecahnya itu adalah menalaknya. (H. R. Muslim, kit±b ar-Ra«±’, nomor 2670).
Memang ada hadis lain yang dikemukakan oleh Ibnu M±jah pada kit±b a¯-°ah±rah wa Sunanih± yang menyebutkan:
¦aw£arah bin Mu¥ammad dan Mu¥ammad bin Sa’³d bin Yaz³d bin Ibr±h³m menyampaikan hadis ini kepada kami. Keduanya mengatakan: “Mu’±© bin Hisy±m menyampaikan hadis ini kepada kami”. Ia mengatakan: “Ayahku (Hisy±m) menginformasikan hadis ini kepada kami”. Dari Qat±dah, dari Ab³ ¦arb bin Ab³ al-Aswad ad-D³liy, dari Ayahnya (Ab³ al-Aswad), dari ‘Aliy, sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: “Kemudian, kencing anak yang menyusu (belum makan apa-apa selain air susu) disiram dengan air terhadap kencing anak laki-laki dan dicuci terhadap kencing anak perempuan’. Ab­ al-¦asan bin Salamah mengatakan: “A¥mad bin M­s± bin Ma’qil menyampaikan hadis ini kepada kami”. Ia berkata: “Ab­ al-Yam±n al-Mi،riy menyampaikan hadis ini kepada kami”. Ia mengatakan: “Aku bertanya kepada Im±m asy-Sy±fi’iy tentang hadis Nabi Saw. yang berkaitan dengan memercikkan air kepada bekas kencing anak laki-laki dan mencuci bekas kencing anak perempuan padahal keduanya sama-sama air kencing”. Asy-Sy±fi’iy menerangkan kepadaku bahwa kencing anak laki-laki itu berasal dari air dan tanah, sementara air kencing anak perempuan berasal dari daging dan darah. Setelah itu ia bertanya padaku: “Apakah Anda mengerti?”. Kusahut: “Tidak”. Ia menjelaskan pula: “Sesungguhnya Allah swt. ketika menciptakan ²dam, ¦aww± diciptakan pula dari tulang rusuknya yang pendek. Karena itu, kencing anak laki-laki itu berasal dari air dan tanah, sedangkan air kencing anak perempuan berasal dari daging dan darah”. Abu al-Yam±n al-Mi،riy berkata pula: Asy-Sy±fi’iy bertanya pula padaku: “Apakah Anda mengerti?”. Kujawab: “Ya”. Ia mengatakan padaku: “Allah memberikan manfaat kepadamu dengan penjelasan itu”. (H. R. Ibnu M±jah, kit±b a¯-°ah±rah wa Sunanih±, nomor 525).
Dalam hadis yang terakhir ini, informasi utamanya adalah masalah memercikkan air kepada bekas air kencing anak laki-laki dan mencuci bekas air kencing anak perempuan. Dimunculkannya hadis yang berkaitan dengan kejadian ¦aww± dari tulang rusuk ²dam yang pendek, karena adanya pertanyaan Ab­ al-Yam±n al-Mi،riy kepada Im±m asy-Sy±fi’iy dan dalam jawabannya asy-Sy±fi’iy mengaitkannya dengan hal itu.
Dari uraian terdahulu, jika hadis-hadis semakna dicermati secara proporsional dan profesional, maka dapat dikatakan bahwa hadis-hadis yang dijadikan sandaran oleh para mufasir dalam menafsirkan kejadian ¦aww± dari tulang rusuk ²dam, bukanlah esensi konteks hadis, karena secara kontekstual hadis-hadis tersebut menekankan perlunya memberikan wasiat, pesan, bimbingan, petunjuk dan arahan kepada para wanita dengan cara arif dan bijaksana, karena wanita itu bagaikan tulang rusuk yang bengkok, sangat sulit (kalau tidak enggan mengatakan mustahil) untuk meluruskannya. Sekiranya tulang rusuk tersebut dapat menjadi lurus, maka hal itu berarti bahwa tulang itu telah pecah. Pecahnya tulang rusuk tersebut sebagai gambaran (konotasi bukan denotasi) terjadinya talak terhadap isteri. Demikian informasi langsung dari redaksi hadis yang berkaitan dengan hal tersebut.
Berkaitan dengan dijadikannya hadis tersebut sebagai alasan mengapa dibedakan perlakuan terhadap air kencing anak laki-laki dan anak perempuan, Im±m asy-Sy±fi’iy menggunakan analisisnya sendiri, karena perbedaan asal-usul kejadian nenek moyangnya. Walaupun demikian, hadis itu sendiri tidak memberikan informasi tegas seperti itu.
Para ahli hadis pun, seperti al-Bukh±riy, Muslim at-Turmu©iy dan Ibnu M±jah yang hadis mereka dikutip dalam uraian ini tidak menempatkan hadis-hadis tersebut sebagai penafsir ayat satu S­rah an-Nisa, terutama berkaitan dengan kejadian wanita, lebih khusus lagi kejadian ¦aww±. Al-Bukh±riy memuatnya pada kit±b A¥±d³£ al-Anbiy± dan an-Nik±¥, Muslim memuatnya dalam kit±b ar-Ra«±’, dan at-Turmu©iy memuatnya dalam kit±b a¯-°al±q wa al-Li’±n, sementara Ibnu M±jah memuatnya dalam kit±b a¯-°ah±rah wa Sunanih±.
Dengan menggunakan CD. al-Bay±n, program Hadis penulis menelusuri hadis melalui kata “zawjah±” dan penulis temukan 17 hadis semakna, namun tidak ada hadis yang secara langsung dapat dipahami menjelaskan atau menafsirkan S­rah an-Nis± ayat satu. Di samping itu, penulis melacak hadis dengan menggunakan kata ¦aww±, tidak penulis temukan hadis yang berkaitan dengan kejadian ¦aww± isteri ²dam. Memang ditemukan kata ¦aww± pada Musnad A¥mad bin ¦anbal, kit±b musnad K­fiyy³n, namun tidak berkaitan dengan kejadian wanita pertama, di situ hanya pemakaian bahasa yang berarti hitam (sawd±).[42] Dengan menggunakan CD. Al-Maktabah al- Alfiyyah li as-Sunnah an-Nabawiyyah penulis juga melacak hadis melalui kata ¦aww±, penulis menemukan 18 hadis yang menginformasikan bahwa ¦aww± diciptakan dari tulang rusuk ²dam, namun tidak ditempatkan sebagai penafsir ayat satu S­rah an-Nis±.
Berbeda halnya dengan penafsiran kata “¨ulm” yang bermakna syirk, Nabi secara tegas mengatakan dalam hadisnya berikut:
Hadis ‘Abdull±h Ibnu Mas’­d ra., ia berkata: “Ketika turun ayat: ‘Orang-orang yang beriman dan mereka tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (§ulm)…’(Q. S. al-An’±m ayat 82). Hal itu dirasakan berat oleh para sahabat Rasulullah Saw. dan mereka berkata: ‘Siapa di antara kami yang tidak menzalimi dirinya?’ Rasulullah Saw. lalu bersabda, hal itu tidak seperti yang kalian duga, pengertiannya adalah seperti nasihat Luqman kepada anaknya: ‘Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezaliman yang sangat besar’ (Q. S. Luqm±n ayat 13). (H. R. al-Bukh±riy, kit±b ´m±n, nomor 76).
Dalam hadis yang terakhir ini secara tegas dinyatakan bahwa ayat 13 S­rah Luqm±n itu sebagai penafsir dari S­rah al-An’±m ayat 82. Dengan hadis tersebut para sahabat dapat memahami bahwa yang dimaksud dengan ”§ulm” pada ayat 82 S­rah al-An’±m itu bukanlah dalam arti bahasa yang selama ini mereka pahami, namun yang dimaksudkan adalah mensyarikatkan Allah swt. Pengertian hadis ini tidak berpeluang untuk ditafsirkan kepada hal lain, karena Nabi Muhammad Saw. sendiri yang menyatakan bahwa ayat 13 S­rah Luqm±n itu menjelaskan ayat 82 S­rah al-An’±m. Hal ini tidak ditemukan pada hadis yang berbicara tentang kejadian ¦aww± dari tulang rusuk ²dam.
Berikut akan penulis kemukakan penafsiran para mufasir, antara lain sebagai berikut:
Ar-R±gib al-I،bah±niy (w. 425 H.) mengatakan:
Setiap yang berpasangan laki-laki dan perempuan, jantan dan betina dari makhluk hidup dikatakan “zawj”. Selain dari makhluk hidup pun yang berpasangan itu disebut “zawj”, seperti sepatu dan sandal. Begitu pula dengan sesuatu yang digandengkan, baik karena ada kesamaan atau berlawanan, juga disebut “zawj” dan akhirnya ia mengatakan kata “zawjah” menurut bahasa berarti yang buruk atau yang jelek.[43] Selanjutnya ia mengemukakan pemakaian kata itu dalam Alquran. Pendapatnya ini banyak dijadikan rujukan oleh mufasir pembaharu berikutnya.
Muhammad Abduh (1849–1905 M.) mengatakan:
Makna yang dimaksudkan dari ungkapan “wa khalaqa minh± zawjah±” menurut mayoritas ulama tafsir adalah bahwa Allah menciptakan untuk “an-Nafs” yakni ²dam, isterinya ¦aww± dari “an-Nafs” itu sendiri. Mereka mengatakan bahwa ¦aww± diciptakan dari tulang rusuknya yang sebelah kiri. Hal ini disebutkan secara tegas dalam Kitab Kejadian (Safar at-Takw³n) yakni salah satu Injil dan ditemukan pula dalam hadis Nabi Saw. yang sekiranya tidak ditemukan hadis tersebut, tentunya hal itu tidak akan terlintas dalam pemikiran pembaca Alquran.[44]
Menurutnya, ada pendapat lain yang dipilih oleh Ab­ Muslim sebagaimana dikatakan oleh ar-R±ziy bahwa makna “wa khalaqa minh± zawjah±” itu adalah Allah ciptakan isteri ²dam itu dari jenisnya sendiri. Pengertian seperti ini ditemukan pada sejumlah ayat Alquran, yakni; S­rah ar-R­m ayat 21, S­rah an-Na¥l ayat 17, dan S­rah asy-Sy­r± ayat 11. Dalam hal ini, termasuk pula apa yang dimaksudkan oleh S­rah at-Tawbah ayat 128 dan S­rah ²li ‘Imr±n ayat 164.[45] Semua ayat ini bermakna bahwa pasangan-pasangan itu adalah dari jenisnya sendiri atau rasul yang diutus itu adalah sejenis dengan umat yang didatanginya.
Sayyid Qu¯b (w. 1386 H./1966 M.) mengatakan:
Makna yang dimaksudkan dari ungkapan “wa khalaqa minh± zawjah±” adalah kemanusiaan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pasangan manusia itu adalah manusia sendiri.[46] Menurutnya, selama ini terjadi kekeliruan yang menyakitkan, di mana terdapat sejumlah pandangan yang picik terhadap wanita, mereka dianggap sumber kotoran dan najis serta asal-usul kejahatan dan bencana .[47] Sebenarnya pasangan atau isteri itu dari jenis yang pertama, yaitu manusia juga yang punya fi¯rah dan tabiat, Allah ciptakan sebagai pasangannya, dan dari keduanya Allah perkembangbiakkan laki-laki dan wanita yang banyak. Tidak ada perbedaan dalam asal-usul dan fi¯rah, yang membedakan mereka hanyalah kesiapan dan pelaksanaan tugas.[48]
Mu¥ammad ¦usayn a¯-°ab±¯ab±’iy (w. 1981 M.) mengatakan:
Ungkapan “wa khalaqa minh± zawjah±” bahwa kondisi pasangan atau isterinya itu dari jenisnya sendiri karena adanya kesamaan. Pribadi-pribadi yang diperkembangbiakkan itu, semuanya dikembalikan kepada mereka berdua yang serupa dan punya kesamaan tadi. Lafal “min” menunjukkan penciptaan (bukan dalam arti sebagian) dan ayat itu sendiri disetir kepada pengertian S­rah ar-R­m ayat 21, S­rah an-Na¥l ayat 17, dan S­rah asy-Sy­r± ayat 11. Sebagai bandingan dari ayat-ayat ini adalah S­rah a©-´±riy±t ayat 49 “wa min kulli syay’in khalaqn± zawjayn¸ yang dalam sebagain tafsir bahwa yang dimaksudkan dengan ayat ini adalah isteri ²dam itu diambil dari diri ²dam, sesuai dengan sebagian hadis yang menyatakan bahwa Allah menciptakan isteri ²dam itu dari salah satu tulang rusuknya, yang tidak ditemukan dalilnya dari Alquran.[49]
Dari uraian terdahulu, diketahui bahwa para mufasir yang penafsiran mereka penulis kutip dalam tulisan ini sepakat bahwa yang dimaksud dengan ungkapan “wa khalaqa minh± zawjah±” adalah bahwa Allah swt. menciptakan pasangan “an-Nafs” itu dari jenisnya sendiri, yaitu makhluk yang punya kesamaan dan keserupaan yang disebut manusia.
Adapun penafsiran para mufasir yang menggunakan hadis yang menyatakan bahwa ¦aww± Allah ciptakan dari tulang rusuk ²dam, dilihat dari konteks esensi hadis dianggap kurang relevan, karena Nabi Saw. sendiri tidak menegaskan bahwa sabdanya itu sebagai penafsiran terhadap S­rah an-Nis± ayat satu tersebut.
Para ulama ahli hadis, seperti al-Bukh±riy, Muslim, at-Turmu©iy dan Ibnu M±jah yang hadis mereka dikutip dalam uraian ini, juga tidak menempatkan hadis-hadis tersebut sebagai penafsir ayat satu S­rah an-Nisa, terutama berkaitan dengan kejadian wanita, lebih khusus lagi kejadian ¦aww±. Al-Bukh±riy memuatnya dalam anak judul A¥±d³£ al-Anbiy± yang menggambarkan bahwa hadis tersebut berkaitan dengan para nabi dan tiga anak judul berikutnya berkaitan dengan urusan kekeluargaan, yaitu nikah, menyusui dan cerai yang dari ketiga anak judul ini semakin jelas konteks hadis itu berkaitan dengan anjuran Nabi Muhammad Saw. agar para suami hendaknya bertindak arif dan bijaksana terhadap isteri-isteri mereka, karena mereka punya sifat dasar tertentu yang tidak dapat dengan mudah mengubahnya. Andaikan pengubahan itu dapat terjadi, maka itu merupakan perubahan yang semestinya tidak terjadi, karena perubahan dimaksud menghancurkan keutuhan rumah tangga, yaitu cerai.
Lebih khusus lagi, anak judul yang dikemukakan oleh Ibnu M±jah, menempatkan hadis dimaksud sebagai alasan atau argumen yang diajukan oleh Im±m asy-Sy±fi’i untuk memperkuat hadis lain yang membedakan cara membersihkan najis, karena air kencing anak laki-laki dan anak perempuan yang belum makan apa-apa selain susu.
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan hadis penciptaan ¦aww± dari tulang rusuk ²dam sebagai penafsir S­rah an-Nisa ayat satu, merupakan kreasi para mufasir, bukan petunjuk langsung dari Rasulullah Saw., karena dalam kasus tertentu, seperti ketika ia menjelaskan pengertian “§ulm” ia dengan tegas menyatakan bahwa pemahaman para sahabat secara linguistik / lugawiy terhadap S­rah al-An’±m ayat 82 itu tidak tepat dan secara lugas ia menyatakan bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah apa yang terdapat pada S­rah Luqm±n ayat 13, yakni “syirk”.
Dari kasus ini, penulis berpendapat, jika Rasulullah Saw. menyatakan secara tegas bahwa yang dimaksud dengan ungkapan “wa khalaqa minh± zawjaha” adalah bahwa Allah swt. menciptakan ¦aww± dari tulang rusuk ²dam, maka tidak ada peluang lagi untuk mencari penafsiran yang lain dan harus diterima oleh seluruh umat Islam.
Di sisi lain, penafsiran hasil kreativitas para mufasir tersebut tidak didukung oleh adanya ayat yang lain, sementara ayat-ayat lainnya justeru menggambarkan bahwa ungkapan “min anfusikum” menunjukkan arti jenis yang sama, yaitu sama-sama manusia. Maksudnya bahwa pasangan atau isteri manusia itu dari jenis manusia itu sendiri.
Penafsiran tentang asal-usul wanita dari tulang rusuk laki-laki tersebut membawa kepada sejumlah persepsi yang merugikan para wanita dalam kurun waktu yang cukup lama. Persepsi yang picik itu tidak dapat dengan mudah diubah tanpa upaya keras dari mereka yang punya kompetensi, terutama di bidang tafsir dan hadis.
2. Ayat tentang Laki-laki Pemimpin Wanita
Ketika mengemukakan penafsiran para mufasir klasik dan moderen pada bagian yang lalu, penulis menemukan keseragaman penafsiran, berupa adanya latar belakang historis turunnya ayat 34 S­rah an-Nis± ini. Walaupun demikian, masih ditemukan variasi informasi mengenai pribadi orang yang terlibat dalam kasus yang menyebabkan turunnya ayat tersebut. Dalam hal ini, pernyataan Nabi Muhammad Saw. yang lugas “kita menghendaki satu urusan, sementara Allah menghendaki urusan yang lain” atau “Anda menginginkan suatu perkara, sedangkan Allah menginginkan perkara yang lain” merupakan petunjuk jelas bahwa qi¡±¡ yang diinginkan oleh pihak isteri yang ditampar oleh suaminya tidak dapat diberlakukan, karena harus memberlakukan ayat yang diturunkan setelah ketetapan itu diambil.
Berikut akan ditelusuri kata kunci berkaitan dengan ayat tentang laki-laki pemimpin wanita ini. Kata kunci dimaksud adalah “qaww±m­na ‘al± an-nis±”.
Ibnu F±ris mengatakan bahwa kata yang akar katanya terdiri atas huruf-huruf “q±f, w±w, dan m³m” mempunyai dua arti dasar, yaitu: “kumpulan orang” dan “berdiri tegak atau tekat”.[50] Berkaitan dengan ayat yang sedang ditafsirkan ini, lebih tepat untuk pengertian kedua.
Menurut Ibnu Man§­r kata “qaww±m­n” berasal dari kata “qiy±m” yang berarti “’azm”, yakni tekat; dapat pula berarti “al-mu¥±fa§ah wa al-I¡l±¥” yakni pemeliharaan dan perbaikan. Termasuk pengertian inilah firman Allah “ar-Rij±l qaww±m­na ‘al± an-Nis±” dan firman Allah “ill± m± dumta ‘alayhi q±’iman” dalam arti “mul±ziman mu¥±fi§an”, yakni melazimi pemeliharaan; dan dapat pula bermakna “al-wuq­f wa a£-£ub­t”, yakni berdiri dan tetap.[51]
Lebih lanjut, Ibnu Man§­r menjelaskan yang dimaksud dengan ayat tersebut bahwa laki-laki melaksanakan urusan isterinya dan keperluan isterinya itu kepadanya. Dengan demikian, laki-laki itu membebani dirinya dengan urusan-urusan wanita dan memperhatikan kondisi mereka.[52]
Ar-R±gib al-I،bah±niy (w. 425 H.) menjelaskan bahwa kata “q±’im” yang bentuk plural (jamak)nya “qiy±m” ada beberapa macam pengertiannya: “qiy±m bi asy-syakh،I” berarti mengatur atau memilih seseorang; “qiy±m li asy-syay’i” berarti mengawasi dan menjaga sesuatu; dan “qiy±m ‘al±” berarti tekat untuk melaksanakan sesuatu”. Menurutnya, ayat yang ditafsirkan ini termasuk dalam pengertian yang pertama, yaitu mengatur dan memilih seseorang.[53]
Dari uraian-uraian terakhir ini dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud dengan ungkapan “ar-Rij±lu qaww±m­na ‘al± an-Nis±” itu adalah bahwa laki-laki (suami) itu berdiri tegak dan bertekat untuk memilih dan mengatur serta melaksanakan berbagai urusan dan keperluan isterinya dalam upaya memelihara dan memperbaiki keadaan isterinya itu. Dari pengertian ini, tergambar bahwa ayat ini berkaitan dengan kehidupan suami isteri dalam rumah tangga. Hal ini diperkuat lagi oleh adanya peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut.
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M. A. (lahir 16 Februari 1944) mengatakan:
Harus diakui bahwa ada sementara ulama yang menjadikan firman Allah dalam S­ah an-Nis± ayat 34 yang berarti “lelaki-lelaki adalah pemimpin perempuan-perempuan”… sebagai bukti tidak bolehnya perempuan terlibat dalam persoalan politik. Karena --kata mereka--kepemimpinan berada di tangan mereka. …Pandangan ini tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat ini.
Ayat ini berbicara tentang kepemimpinan lelaki (dalam hal ini suami) terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini pun tidak mencabut hak-hak isteri dalam berbagai segi, termasuk dalam hak pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan suami.
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Ummu H±ni misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad Saw. ketika memberikan jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan isteri Nabi Muhammad Saw. sendiri, yakni ‘²’isyah ra., memimpin langsung peperangan melawan ‘Aliy bin Ab³ °±lib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara. Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya Khalifah Ketiga, ‘U£m±n bin ‘Aff±n ra.[54]
Uraian ringkas yang dikemukakan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M. A. ini membuka wawasan baru dalam penafsiran Alquran, terutama berkaitan dengan laki-laki pemimpin wanita, yang menurutnya terbatas dalam kehidupan suami isteri atau lebih luas lagi kehidupan rumah tangga dan keluarga.
Sayyid Qu¯b (w. 1386 H./1966 M.) mengatakan bahwa sebelum menafsirkan ayat ini, terlebih dahulu “harus dikemukakan pandangan Islam secara global berkaitan dengan pembentukan keluarga, metode pembinaan dan pemeliharannya, serta sasaran yang ingin dicapai dengan keluarga itu secara kejiwaan dan kemasyarakatan”.[55]
Orang yang menciptakan manusia ini menjadikan berpasangan sebagai fi¯rahnya. Kondisi itu merupakan kondisi segala sesuatu yang Dia ciptakan dalam wujud ini. Kemudian Dia ingin menjadikan sepasang manusia itu sebagai dua bagian (separoh-separoh) untuk satu jenis (an-nafs al-w±¥idah). Dia menghendaki pertemuan dua bagian yang (menjadi) satu itu--setelah itu-- berdasarkan apa yang Dia kehendaki tadi, jadilah pertemuan itu menenangkan jiwa, menenteramkan urat syaraf dan ruh, serta menjadikan jasad dapat beristirahat…menjadi pembatas, memelihara dari kejahatan, ladang untuk mengembangkan keturunan dan perpanjangan kehidupan serta peningkatan kehidupan itu untuk masa selanjutnya.[56]
Hal yang disebutkan terakhir ini, menurut Sayyid Qu¯b merupakan masalah terpenting dalam pembinaan bangunan keluarga, dalam memenuhi ketenteraman, ketenangan, perlindungan, dan menjaga diri dari melakukan kejahatan; serta merupakan faktor dapat berlangsungnya dan meningkatnya masyarakat manusia. Undang-undang yang sangat cermat tersebut harus didapatkan oleh setiap bagian dalam bangunan keluarga tadi.[57]
Menurutnya lagi, ayat yang ditafsirkan ini berkaitan dengan --pengaturan bangunan perkawinan dan penjelasan spesifikasi pengaturan bangunan perkawinan itu, mencegah lahirnya alasan untuk berkelahi antara pribadi-pribadi dengan mengembalikan mereka semua kepada ketetapan Allah, bukan ketetapan hawa nafsu, emosi, dan pribadi-- pembatasan bahwa kepemimpinan dalam bangunan perkawinan ini diberikan kepada laki-laki.[58]
Bahwa ayat ini berkaitan dengan kehidupan perkawinan dan rumah tangga, akan lebih jelas jika dilihat lanjutan ayat 34 dan ayat 35 S­rah an-Nis± ini yang berbicara tentang suami, isteri, dan keterlibatan keluarga kedua belah pihak dalam melakukan i¡l±¥ jika antara suami-isteri tersebut terjadi perselisihan.
E. Penutup
Setelah mengemukakan pembahasan pada uraian sebelumnya, maka pada bagian akhir ini penulis akan menarik kesimpulan berikut:
1. Penafsiran bias gender terhadap ayat satu S­rah an-Nis± bertolak dari ungkapan “wa khalaqa minh± zawjah±” dengan menggunakan hadis bahwa ¦aww± diciptakan dari tulang rusuk ²dam yang sebelah kiri atau sebelah kanan. Penafsiran ini berlanjut pada adanya pandangan yang meminggirkan wanita, sehingga wanita kehilangan beberapa hak mereka yang semestinya dapat mereka peroleh. Penafsiran bias gender ini terjadi, karena krteativitas para mufasir yang menempatkan hadis tersebut dalam konteks penafsiran ayat satu S­rah an-Nis±. Ketika diteliti secara cermat, ternyata hadis tersebut secara esensi kontekstual tidak berfungsi sebagai penafsir ayat satu S­rah an-Nis±. Jika semua hadis semakna dicermati, dapat diketahui bahwa ada hadis yang dapat dipahami bahwa ¦aww± diciptakan dari tulang rusuk ²dam, ada yang dapat dipahami bahwa para wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, bahkan ada hadis yang dipahami sebagai ungkapan metafora, karena esensinya secara kontekstual berkaitan dengan wasiat, nasehat,dan petuah terhadap para wanita. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa menempatkan hadis-hadis tersebut sebagai penafsir ayat satu S­rah an-Nis± terkesan dipaksakan, karena Nabi Muhammad Saw. sendiri tidak menegaskan hal itu. Dalam kasus penafsiran kata “§ulm” Nabi Saw. secara lugas dan sangat tegas dalam hadisnya, sehingga tidak ada kemungkinan untuk dipahami berbeda. Di sisi lain, penafsiran bias gender tersebut tidak didukung oleh ayat-ayat lainnya, karena ayat lain yang senada dipahami “dari jenis yang sama, yaitu manusia” juga. Sedangkan penafsiran bias gender terhadap ayat 34 S­rah an-Nis± bertolak dari ungkapan “ar-Rij±lu qaww±m­na ‘al± an-Nis±” yang dipahami bahwa kepemimpinan laki-laki atas wanita itu bersifat umum untuk semua aspek kehidupan manusia, jika laki-laki dihadapkan dengan wanita. Jika ungkapan tadi dicermati berdasarkan hubungan korelasi antar ayat, maka akan tampak dengan jelas bahwa ayat tersebut terbatas dalam lingkup kehidupan suami- isteri atau dapat diperluas dalam lingkup kehidupan rumah tangga dan keluarga. Penafsiran bias gender terhadap ayat 34 S­rah an-Nis± ini juga berakibat terabaikannya sebagian hak-hak wanita yang seharusnya dapat mereka peroleh.
2. Penafsiran baru terhadap ayat satu S­rah an-Nis±, melihat hadis kejadian wanita yang digunakan sebagai penafsirnya itu secara proporsional dan profesional dengan mendudukkan hadis tersebut secara esensi kontekstual. Pada prinsipnya, penafsiran baru tidak berkeberatan menggunakan hadis sebagai penafsir ayat Alquran selama hadis itu secara profesional, lugas dan tegas dinyatakan oleh Nabi Muhammad Saw. sendiri, karena hal itu tidak akan membawa kepada pemahaman lain. Berkaitan dengan penafsiran ayat 34 S­rah an-Nis± , penafsiran baru secara profesional melihat korelasi ayat tersebut dengan ayat berikutnya sehingga ditemukan pemahaman bahwa ayat tersebut berbicara tentang perkawinan, rumah tangga, atau dapat diperluas menjadi hubungan keluarga.

Daftar Pustaka
Ab­ as-Su’­d, Tafs³r Ab³ as-Su’­d (Irsy±d al-‘Aql as-Sal³m il± Maz±y± al-Kit±b al-Kar³m), Juz 1, (T.T.: D±r al-Fikr, t. th.)
Al-Alma'iy, ¨±hir 'Iwa«, Dir±s±t f³ at-Tafs³r al-Maw«­'iy li al-Qur'±n al-Kar³m, (Riy±«: t. p., 1984)
Al-Andalusiy,Mu¥ammad bin Y­suf yang terkenal dengan Ab­ ¦ayy±n, Tafs³r al-Ba¥r al-Mu¥³¯, Jilid 3, (Cet. ke-2; Beir­t: D±r al-Fikr, 1983 M./1403 H.)
Bagd±diy, Ab­ al-Fa«l Syih±b ad-D³n as-Sayyid Ma¥m­d al-Al­siy, R­¥ al-Ma’±niy f³ Tafs³r Al-Qur’±n al-‘A§³m wa as-Sab’ al-Ma£±niy, Juz 4 dan 5, (Beir­t: D±r I¥y± at-Tur±£ al-‘Arabiy, t. th.)
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Alquran, (Cet. ke-1; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998)
CD. Al-Bay±n, Maws­’ah al-¦adi£ asy-Syar³f li al-Kutub at-Tis’ah, Program Hadith dan Al-Bay±n
CD. Al-Maktabah al-Alfiyyah li as-Sunnah an-Nabawiyyah
CD. Maktabah at-Tafs³r wa ‘Ul­m al-Qur’±n
Dimasyqiy, Al-¦±fi§ ‘Im±d ad-D³n Ab­ al-Fid± Ism±’³l bin Ka£³r al-Qusyayriy, Tafs³ al-Qur’±n al-‘A§³m, Juz 1, (Semarang: Toha Putra, t. th.)
Fakih, Mansour, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Cet. ke-3; Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 1999)
Ibnu Man§­r, Ab­ al-Fa«l Jam±l ad-D³n bin Mukram, Lis±n al-‘Arab, Jilid 12, (Mesir: ad-D±r al-Mi،riyyah, t. th.)
Ibnu Zakariyy±, Ab­ al-¦usayn A¥mad bin F±ris, Mu’jam Maq±y³s al-Lugah, Juz 5, dinotasi oleh ‘Abd as-Sal±m Mu¥ammad H±r­n, (T. t.: D±r al-Fikr, t. th.)
Al-I،bah±niy, Al-‘All±mah ar-R±gib, Mufrad±t Alf±§ al-Qur’±n, dinotasi oleh ¢afw±n ‘Adn±n D±w­diy, (Cet. ke-1; Damaskus: D±r al-Qalam / Beir­t: ad-D±r asy-Sy±miyah, 1412 H./1992 M.)
Al-Jaz±’iry, Ab­ Bakr, Aysar at-Taf±s³r, Jilid 1, (T.t.: D±r as-Sal±m li a¯-°ib±’ah wa an-Nasyr wa at-Tawz³’, t. th.)
Al-Ma¥alliy Al-‘All±mah Jal± ad-D³n Mu¥ammad bin A¥mad dan Jal±l ad-D³n ‘Abd ar-Ra¥m±n bin Ab³ Bakr as-Suy­¯iy, Tafs³r al-Qur’±n al-Kar³m (Tafs³r Jal±layn), Juz 1, (Surabaya: al-Maktabah as-Saq±fiyyah, 1345 H.)
Al-Mar±giy, A¥mad Mu¡¯af±, Tafs³r al-Mar±giy, Juz 4, (Cet. ke-2; Beir­t: D±r I¥y± at-Tur±£ al-‘Arabiy, 1985)
Al-Q±simiy, Mu¥ammad Jam±l ad-D³n, Ma¥±sin at-Ta’w³l, Juz 5, (Mesir: ‘´s± al-B±b³ al-¦alabiy, 1959)
Qu¯b, Sayyid, F³ ¨il±l al-Qur’±n, Juz 4 dan 5, (Cet. ke-5; Beir­t: D±r I¥y± at-Tur±£ al-‘Arabiy, 1386 H./1968 M.)
Al-Quzw³niy, Mu¥ammad bin Yaz³d Ab­ ‘Abdill±h, Sunan Ibni M±jah, Juz 1, dinotasi oleh Mu¥ammad Fu’±d ‘Abd al-B±qiy, (Beir­t: D±r al-Fikr, t. th.)
Ri«±, M. Rasy³d, Tafs³r al-Qur'±n al-¦ak³m (al-Man±r), Jilid I, (Beir­t: D±r al-Ma'rifah, t. th.), h. 17; 'Abd al-'A§³m Ma'±niy dan A¥mad al-Gand­r, A¥k±m min al-Qur'±n wa as-Sunnah, (Mesir: D±r al-Ma'±rif, 1967)
A¡-¢±b­niy, Mu¥ammad ‘Aliy, ¢afwah at-Taf±s³r, Juz 1, (Jeddah: Maktabah Jeddah, 1399 H.)
Shihab, M. Quraish,Membumikan Alquran, (Cet. ke-2; Bandung: Mizan, 1992)
__________, Wawasan Alquran, (Cet. ke-2; Bandung: Mizan, 1996)
A¯-°ab±¯ab±’iy, Al-‘All±mah as-Sayyid Mu¥ammad ¦usayn, Al-M³z±n f³ Tafs³r al-Qur’±n, (Cet. ke-5; Iran, Mu’assasah Ism±’³liyyah, 1412 H.)
A¯-°­siy, Asy-Syaykh a¯-°±’ifah Ab³ Ja’far Mu¥ammad bin al-¦asan, At-Tiby±n f³ Tafs³r al-Qur’±n, Jilid 3, dinotasi oleh A¥mad ¦±sib Qa،³r al-‘²miliy, (T. t.: Maktabah al-‘²lam al-Isl±miy, t. th.)
Umar, Nasaruddin, Perspektif Jender dalam Alquran (Disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999)
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Alquran, Alquran danTerjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama RI., 1984)
Az-Zama¥syariy, Im±m Ab­ al-Q±sim J±rull±h Ma¥m­d bin ‘Umar, Al-Kasysy±f ‘an ¦aq±’iq Gaw±mi« at-Tanz³l wa ‘Uy­n al-Aq±w³l f³ Wuj­h at-Ta’w³l, Juz 1, (Beir­t: D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H./1995 M.)
Az-Zuhayliy, Wahbah, At-Tafs³r al-Mun³r, Juz 4 dan 5, (Cet. ke-1; Damaskus: D±r al-Fikr, 1991 M./1411 H.)
[1] Lihat Q. S. al-Baqarah ayat 185.
[2] Lihat Q. S. Ibr±h³m ayat 1.
[3] M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran, (Bandung: Mizan, 1992), Cet. ke-2, h. 245.
[4] Lihat Q. S. al-¦ujur±t ayat 13.
[5] Nasaruddin Umar, Perspektif Jender dalam Alquran (Disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999), h. 13.
[6] Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 1999), Cet. ke-3, h. xii.
[7]Lihat antara lain az-Zama¥syariy, al-Kasysy±f, Juz I, (Mesir: Mu?¯af± al-B±b³ al-¦alabiy wa Awl±duh­, 1972), h. 492; al-Q±simiy, Ma¥±sin at-Ta'w³l, Jilid V, (Mesir: '´s± al-B±b³ al-¦alabiy, 1959), h. 1095; dan al-Al­siy, R­¥ al-Ma'±niy, Jilid IV, (Beir­t: D±r I¥y± at-Tur±£ al-'Arabiy, t. th.), h. 181.
[8] Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Pentafsir Alquran, Alquran dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama RI., 1984), h. 123.
[9] Nasaruddin Umar, op. cit., h. 266–267.
[10] Ab­ al-Fa«l Syih±b ad-D³n as-Sayyid Ma¥m­d al-Al­siy al-Bagd±diy, R­¥ al-Ma’±niy f³ Tafs³r Al-Qur’±n al-‘A§³m wa as-Sab’ al-Ma£±niy, Juz 4, (Beir­t: D±r I¥y± at-Tur±£ al-‘Arabiy, t. th.), h. 181.
[11] Asy-Syaykh a¯-°±’ifah Ab³ Ja’far Mu¥ammad bin al-¦asan a¯-°­siy, At-Tiby±n f³ Tafs³r al-Qur’±n, Jilid 3, dinotasi oleh A¥mad ¦±sib Qa،³r al-‘²miliy, (T. t.: Maktabah al-‘²lam al-Isl±miy, t. th.), h. 99.
[12] Im±m Ab­ al-Q±sim J±rull±h Ma¥m­d bin ‘Umar az-Zama¥syariy, Al-Kasysy±f ‘an ¦aq±’iq Gaw±mi« at-Tanz³l wa ‘Uy­n al-Aq±w³l f³ Wuj­h at-Ta’w³l, Juz 1, (Beir­t: D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H./1995 M.), h. 451.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Mu¥ammad bin Y­suf yang terkenal dengan Ab­ ¦ayy±n al-Andalusiy, Tafs³r al-Ba¥r al-Mu¥³¯, Jilid 3, (Beir­t: D±r al-Fikr, 1983 M./1403 H.), Cet. ke-2, h. 154.
[16] Ibid.
[17] Al-¦±fi§ ‘Im±d ad-D³n Ab­ al-Fid± Ism±’³l bin Ka£³r al-Qusyayriy ad-Dimasyqiy, Tafs³ al-Qur’±n al-‘A§³m, Juz 1, (Semarang: Toha Putra, t. th.), h. 448.
[18]Al-‘All±mah Jal± ad-D³n Mu¥ammad bin A¥mad al-Ma¥alliy dan Jal±l ad-D³n ‘Abd ar-Ra¥m±n bin Ab³ Bakr as-Suy­¯iy, Tafs³r al-Qur’±n al-Kar³m (Tafs³r Jal±layn), Juz 1, (Surabaya: al-Maktabah as-Saq±fiyyah, 1345 H.), h. 70.
[19] Ab­ as-Su’­d, Tafs³r Ab³ as-Su’­d (Irsy±d al-‘Aql as-Sal³m il± Maz±y± al-Kit±b al-Kar³m), Juz 1, (T.T.: D±r al-Fikr, t. th.), h. 476.
[20] Mu¥ammad Jam±l ad-D³n al-Q±simiy, Ma¥±sin at-Ta’w³l, Juz 5, (Mesir: ‘´s± al-B±b³ al-¦alabiy, 1959), h. 1059.
[21] A¥mad Mu?¯af± al-Mar±giy, Tafs³r al-Mar±giy, Juz 4, (Beir­t: D±r I¥y± at-Tur±£ al-‘Arabiy, 1985), Cet. ke-2, h. 176.
[22] Mu¥ammad ‘Aliy a?-¢±b­niy, ¢afwah at-Taf±s³r, Juz 1, (Jeddah: Maktabah Jeddah, 1399 H.), h. 258.
[23] Ab­ Bakr al-Jaz±’iry, Aysar at-Taf±s³r, Jilid 1, (T.t.: D±r as-Sal±m li a¯-°ib±’ah wa an-Nasyr wa at-Tawz³’, t. th.), h. 432.
[24] Wahbah az-Zuhayliy, At-Tafs³r al-Mun³r, Juz 4, (Damaskus: D±r al-Fikr, 1991 M./1411 H.), Cet. ke-1, h. 223.
[25] Ibid.
[26] Ab­ al-Fa«l Syih±b ad-D³n as-Sayyid Ma¥m­d Al-Al­siy al-Bagd±diy, op. cit., Juz 5, h. 34.
[27] Syaykh a¯-°±’ifah Ab³ Ja’far Mu¥ammad bin al-¦asan a¯-°­siy, op. cit., h. 189.
[28] Ibid.,
[29] Im±m Ab­ al-Q±sim J±rull±h Ma¥m³d bin ‘Umar az-Zama¥syariy, op. cit., h. 495.
[30] Mu¥ammad bin Y­suf yang terkenal dengan Ab­ ¦ayy±an al-Andalusiy, op. cit., h. 239.
[31] Al-¦±fi§ ‘Im±d ad-D³n Ab­ al-Fid± Ism±’³l bin Ka£³r al-Qurasyiy ad-Dimasyqiy, op. cit., h. 491.
[32] Ibid.
[33] Al-‘All±mah Jal±l ad-D³n Mu¥ammad bin A¥mad al-Ma¥alliy dan Jal±l ad-D³n ‘Abd ar-Ra¥m±n bin Ab³ Bakr as-Suy­¯iy, op. cit., h. 77.
[34] Ab­ as-Su’­d, op. cit., h. 517,
[35] Mu¥ammad Jam±l ad-D³n al-Q±simiy, op. cit., Jilid 3, h. 120.
[36] A¥mad Mu?¯af± al-Mar±giy, op. cit., Juz 5, h. 27.
[37] Mu¥ammad ‘Aliy a?-¢±b­niy, op. cit., h. 274.
[38] Ab­ Bakr al-Jaz±’iry, op. cit., h. 472.
[39] Ibid., h. 472–473.
[40] Wahbah az-Zu¥ayliy, op. cit., Juz 5, h. 53.
[41] Ibid.
[42] CD. al-Bay±n, program Hadith.
[43] Al-‘All±mah ar-R±gib al-I،bah±niy, Mufrad±t Alf±§ al-Qur’±n, dinotasi oleh ¢afw±n ‘Adn±n D±w­diy, (Damaskus: D±r al-Qalam / Beir­t: ad-D±r asy-Sy±miyah, 1412 H./1992 M.), Cet. ke-1, h. 384.
[44] Mu¥ammad Rasy³d Ri«±, Tafs³r al-Qur’±n al-¦ak³m (al-Man±r), Juz 4, (Beir­t:D±r al-Ma’rifah, t. th.), Cet. ke-2, h. 330.
[45] Ibid.
[46] Sayyid Qu¯b, F³ ¨il±l al-Qur’±n, Juz 4, (Beir­t: D±r I¥y± at-Tur±£ al-‘Arabiy, 1386 H./1968 M.), Cet. ke-5, h. 236.
[47] Ibid.
[48] Ibid.
[49] Al-‘All±mah as-Sayyid Mu¥ammad ¦usayn a¯-°ab±¯ab±’iy, Al-M³z±n f³ Tafs³r al-Qur’±n, (Iran, Mu’assasah Ism±’³liyyah, 1412 H.), Cet. ke-5, h. 136.
[50] Ab­ al-¦usayn A¥mad bin F±ris bin Zakariyy±, Mu’jam Maq±y³s al-Lugah, Juz 5, dinotasi oleh ‘Abd as-Sal±m Mu¥ammad H±r­n, (T. t.: D±r al-Fikr, t. th.), h. 43.
[51] Ab­ al-Fa«l Jam±l ad-D³n bin Mukram bin Man§­r, Lis±n al-‘Arab, Jilid 12, (Mesir: ad-D±r al-Mi،riyyah, t. th.), h. 497.
[52] Ibid., h. 503.
[53] Al-‘All±mah ar-R±gib al-I،bah±niy, op. cit., h. 690.
[54] M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran, (Bandung: Mizan, 1992), Cet. ke-2, h. 274–275.
[55] Sayyid Qu¯b, op. cit., h. 351.
[56] Ibid.
[57] Ibid., h. 352.
[58] Ibid.

*Artikel di atas diadaptasi dari tulisan Pak Abdullah Karim IAIN Banjarmasin

Tidak ada komentar: