Judul di atas saya pasang sebagai refleksi saya orang awam terhadap novel ”Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur”. Memoar luka seorang muslimah. Karya Muhidin M Dahlan.
Mengungkap satu kenyataan yang mungkin benar-benar terjadi. Dialah seorang gadis bernama Nidah Kirani, bercita-cita memasuki Islam secara kaffah, bergabung dengan teman-temannya dalam sebuah jamaah aliran keras untuk mendirikan Daulah Islamiyah di indonesia.
Kiran, seorang muslimah yang taat. Tubuhnya dihijabi oleh jubah dan jilbab besar, hampir semua waktunya dihabiskan untuk salat, baca Qran, dan berzikir. Dia memilih hidup yang sufistik, hidup sederhana, makan seadanya di sebuah pesantren mahasiswa.
Perjalanan selama tiga tahun ikut berjuang dalam jemaah tidak membuat Kiran bertambah kuat keislamannya tapi sebaliknya, pertentangan daya nalarnya yang kritis dengan kondisi riil dalam organisasi yang tidak lain hanya berisi dogma-dogma yang tertutup membuat dirinya memberontak dan ingin keluar dari kungkungan jemaah tersebut.
”pada akhirya ibadahku pun kembali merosot kalaupun aku terlihat menjalani ibadah, itu sekedar menjalani ritual keagamaan saja. Tubuhku saja lenggak-lenggok menghadap kiblat, namun hatiku tidak ikut dalam ritual itu. Aku sudah sebagaimana kebanyakan ibadah awam. Ibadahpun mulai malas, sekali duakali ketika azan maghrib sudah melantun rasa kosong manghampiriku, hatiku nelangsa tak tahu berbuat apa. (h.65)
Dalam keadaan kosong itulah Kiran terjerembab dalam dunia hitam. Ia memutuskan untuk keluar dari pos jamaahnya. Mengontrak kamar kos yang seadanya di pinggiran Malioboro. Ia lampiaskan frustasinya dengan free sex dan mengonsumsi obat-obat terlarang. Katanya ”aku hanya ingin Tuhan melihatku, lihat aku Tuhan, kan kutuntaskan pemberontakanku kepada-Mua” katanya setiap kali usai bercinta yang dilakukannya tanpa ada secuilpun rasa sesal.
Lihatlah Kau, apa yang Kau lakukan selama ini. Aku sudah berinfak sekian banyak, bahkan lebih besar dari yang lain, di jalan yang Engkau ridai, kalau malam aku dirikan salat, untuk mengabdi kepada-Mu semata, tapi mengapa semua itu berujung dengan kekecewaan.(h.100)
Oh kakak-kakakku, oh ibu, oh bapak, aku rela menipu kalian. Telah kukuras semua harta untuk infak setiap minggunya, dari kerja payah kalian. Untuk apa infak itu? Untuk infak jamaah, untuk perjuangan suci umat islam.
Rasa kecewa yang besar membuat kiran gelap hati, hingga membuat terjerembab dalam dunia hitam, pil-pil haram itu telah menjadi temannyaa, free sek adalah hiburannya. Tak ada lagi ibadah yang dulu selalu dilakukannya. Yang ada hanya perasaan benci dan kecewa dengan tuhan yang dilampiaskan dengan pil dan free seks.
Dari petualangan seksnya itu tersingkap topeng-topeng kemunafikan dari para aktivis yang meniduri dan ditidurinya—baik aktivis sayap kiri maupun sayap kanan (Islam)—yang selama ini lantang meneriakkan tegaknya moralitas. Bahkan terkuak pula sisi gelap seorang dosen Kampus Matahari Terbit Yogyakarta yang bersedia menjadi germonya dalam dunia remang pelacuran yang ternyata anggota DPRD dari fraksi yang selama ini bersikukuh memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Indonesia.
Aku mengimani iblis. Lantaran sekian lama ia dicaci, ia dimaki, dimarginalkan tanpa ada satupun yang mau mndengarnya. Sekali-kali bolehlah ku mendengar suara dari kelompok yang disingkirkan, kelompok yang dimarginalkan itu, supaya ada keseimbangan informasi. (h.11)
Hingga akhir cerita tak ada penyesalan atas apa yang kiran lakukan. Dia semakin mantap menempuh jalannya sebagai pelacur, dia katakan:
Oh tuhan izinkan aku mencintai-Mu dengan cara yang lain...(h.253).
Terserah Kamu Tuhan, aku tak perduli lagi......(h.252)
Demikian...
Bagaimana dengan Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar