Senin, 27 Oktober 2008

Zakat dalam Perspektif Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari

Oleh Suhaimi

Sekilas tentang Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari lahir dari keluarga suami isteri pasangan Abdullah dan Aminah, penduduk desa Lok Gabang Martapura. Dalam keluarga inilah al-Banjari pertama kali memperoleh pendidikannya sampai usia 8 tahun. Selama itu tampak ketinggian intelegensinya di mata orang tuanya dan masyarakat sekitarnya. Banyak “legenda” berkembang di sekitar keistimewaannya ini.
Sejak usia 8 tahun al-Banjari memasuki pendidikan dalam keraton Banjar Martapura sampai usianya mencapai 30 tahun. Keberuntungan yang diperoleh al-Banjari ini bermula dari suatu peristiwa di Lok Gabang, di mana Sultan Khamidullah (Sultan Kuning) yang sedang mengontrol keadaan rakyatnya bertemu dengan al-Banjari yang waktu itu berusia 8 tahun, dan tertarik oleh kecerdasan anak tersebut terutama dalam kemampuannya melukis alam. Sultanpun memungut al-Banjari menjadi anaknya dan membawanya ke istana untuk dididik dalam kalangan keraton, setelah mendapat persetujuan dari pihak keluarganya. Dia diperlakukan seperti anak sendiri oleh sultan dalam memberikan pendidikan dalam keraton.
Dalam usia 30 tahun al-Banjari mulai memasuki fase ketiga pendidikannya di tanah Suci. Dalam hal ini sangat besar jasa Sultan Tamjidullah (1734-1759 M), yang bersedia membiayai keberangkatannya ke sana dan selama menuntut ilmu di tempat itu. Sebelumnya Sultan juga sudah mengawinkan al-Banjari dengan seorang perempuan bernama Vajut, yang waktu ditinggal pergi ke tanah suci sedang hamil. Mungkin dengan perkawinan ini, sultan bermaksud lebih mengikat hati al-Banjari terhadap kampung halamannya bila sudah selesai menuntut ilmu karena ada isteri yang sudah lama menunggu kepulangannya.
Di Mekkah al-Banjari belajar pelbagai ilmu pengetahuan dengan berguru kepada syekh/ulama yang mengajar di Masjid al-¦ar±m. Di antara gurunya yang terkenal ialah Syekh ‘A¯±ill±h bin A¥mad al-Azh±riy (w. 1161 H.). Banyak ragam ilmu pengetahuan yang dipelajarinya, baik ilmu pengetahuan agama dan bahasa Arab maupun ilmu pengetahuan alam, seperti geografi, biologi, matematika, geometri, dan ilmu falak (astronomi). Lebih kurang 30 tahun dia mempelajari ilmu-ilmu tersebut di kota ini. Selama itu pula dia bertempat tinggal di sebuah rumah yang terletak di kampung Syamsyiah, tidak jauh dari Masjid al-¦ar±m rumah tersebut dibelikan oleh Sultan Tamjidullah, yang sekarang masih ada dalam pemeliharaan Syekh Ali Sulaiman Banjar, dan terkenal dengan sebutan “Barkat Banjar”.
Banyak teman dan kenalan al-Banjari selama belajar di Mekkah. Di antara mereka yang berasal dari Nusantara ialah: Abdul as-Shammad al-Falimbani dari Palembang (Sumatera Selatan), Syekh Ismail ibn Abdullah al-Khalidi al Minankabawi dari Minangkabau (Sumatera Barat), Abd al-Wahab Bugis (Jakarta), Syekh Daud ibn Abdullah Fatani, dan kemungkinan juga termasuk Syekh Muhammad Nafis. Setelah lebih kurang 30 tahun lamanya di Mekkah, al-Banjari bersama tiga orang temannya (‘Abd al-Shammad al-Falimbanni, ‘Abd al-Wahab Bugis, dan ‘Abd al-Rahman Masri), yang kemudian disebut “empat serangkai” berkemauan keras untuk meneruskan studinya ke Mesir, sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan dunia Islam waktu itu. Mereka pun berangkat ke sana dan mampir dulu di Madinah, untuk ziarah ke kubur Rasulullah saw.
Cita-cita al-Banjari dan teman-temannya untuk menuntut ilmu di Mesir tidak tercapai. Di Madinah mereka bertemu dengan seorang ulama dari Mesir bernama Syekh Muhammad ibn Sulayman al-Kurdy (w. 1196 H.) yang mengajar di Masjid Nabawi Madinah. Dari ulama inilah al-Banjari berguru selama beberapa tahun dan sering terlibat dan bertukar pikiran di bidang keagamaan. Tidak ada penjelasan tentang ilmu apa saja yang dipelajari dari ulama ini. Kemungkinan dia juga belajar ilmu fiqih syafi’iyah. Namun dari hasil pertukaran pendapat tersebut, sang guru mengatakan ketinggian ilmu al-Banjari, sehingga dia tidak menganggap perlu lagi bagi muridnya itu pergi ke Mesir untuk meneruskan studinya dan disarankan segera pulang ke Nusantara.

Zakat menurut Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
Menurut Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari bahwa zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Siapa yang mengingkarinya baik dari segi wajibnya atau dari segi jumlah yang wajib dikeluarkan yang telah disepakati oleh para ulama, maka ia dianggap keluar dari agama Islam. Karena itu orang yang enggan mengeluarkan zakat hartanya dapat diperangi dan jumlah zakat wajib dikeluarkan dapat diambil dengan kekerasan, sekalipun melalui peperangan.
Zakat itu dapat dibagi menjadi dua mazam yakni: Pertama zakat badan dan kedua zakat mal yakni zakat harta, zakat harta ini kadang-kadang dihubungkan dengan harta itu sendiri maka yang seperti ini ada lima macam, yaitu (1) zakat binatang ternak, (2) zakat tumbuh-tumbuhan, (3) Zakat emas dan perak, (4) zakat rikaz yakni emas, dan perak peninggalan orang terdahulu yang hidup sebelum agama Islam tersebar pada tempat yang pernah dihuni oleh manusia atau daerah yang belum pernah dihuni manusia, (5) zakat tambang yaitu emas dan perak yang diperoleh dari usaha menambang. Dan kadang-kadang zakat itu dihubungkan dengan nilainya saja seperti dalam zakat harta perdagangan.
Berkaitan dengan pembayaran zakat fitrah, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mengemukakan bahwa diwajibkan zakat fitrah dengan beberapa syarat yang diantaranya:
1. Menemui akhir bulan ramadhan dan awal bulan syawal
2. yang mengeluarkan zakat itu adalah beragama Islam, yang bukan Islam tidaklah wajib.
3. Yang mengeluarkan zakat fitrah itu adalah orang yang merdeka baik seluruh maupun sebagiannya.
4. Yang mengeluarkan zakat fitrah itu mampu.
5. Disyaratkan pula zakat fitrah yang dikeluarkan itu lebih baik pembayar hutang sekalipun hutang yang tertunda pembayarannya.
Adapun kewajiban mengeluarkan zakat fitrah ini jumlahnya adalah 1/10 atau 1/5 dan tidak cacat barangnya atau yang terbaik, yaitu yang lebih mengenyangkan bukan yang mahal harganya. Misalnya gandum lebih utama dari kurma, baru jagung, baru anggur baru susu kering dan baru keju. Sementara itu menunggu kedatangan keluarga dan teman sejiran lebih af«al dalam mengeluarkan zakat.
Adapun orang yang berhak menerima zakat (musta¥iq) ialah delapan macam yaitu, (1) fakir, (2) miskin, (3) amil zakat, (4) mu’±llaf, (5) budak yang dijanjikan akan dimerdekakan (mukatab), (6) orang yang berhutang (7) f³ sab³lill±h dan (8) ibnu sab³l.
Dalil yang menunjukkan orang-orang yang berhak menerima zakat ini ialah ayat yang berbunyi:
إنما الصدقة للفقراء والمسكين والعملين عليها والمؤلفة قـلوبهم وفى الرقـاب والغارمين وفى سبيل الله وابن السبيـل فريضة من الله والله عليم حكيم (التوبة: 60)
Artinya:
Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (at-Taubah: 60)
Menurut Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari bahwa fakir yang menjadi penerima zakat ialah orang yang tidak mempunyai suami, tidak mempunyai ayah, nenek, anak, cucu, yang wajib menerima nafkah yang memadai kepadanya dan tidak pula mempunyai harta dan usaha halal, yang layak, yang akan dapat memenuhi keperluan hidupnya seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal dan segala keperluan primer yang lainnya untuk dirinya dan untuk orang yang menjadi kewajibannya memberi nafkah pada masa kebiasaan hidup manusia. Umpamanya seseorang memerlukan belanja setiap harinya 10 dirham tetapi yang diperoleh hanya 2 atau 3 dirham sekalipun tubuhnya sehat dan meminta-minta kepada orang.
Jika seseorang memiliki rumah yang menjadi tempat kediamannya namun masih memerlukan yang lebih banyak, maka ia masih dianggap fakir. Sedangkan seseorang yang tidak bekerja karena menuntut ilmu agama walaupun menurut kebiasaannya ia mampu bekerja maka masih dihitung fakir dan diberikan zakat. Hak ini karena kemanfaatan ilmu bukan hanya untuk dirinya saja tetapi juga untuk orang lain. Sedangkan jika seseorang sibuk beribadah untuk dirinya, maka tidak berhak zakat.
Orang miskin yang menjadi penerima zakat ialah yang memiliki harta atau usaha yang halal lagi layak dengan kedudukannya tetapi tidak mencukupi untuk belanja dirinya dan untuk mereka yang menjadi kewajibannya memberi nafkah pada masa yang kebiasaannya manusia dapat hidup umpamanya diperlukan biaya hidup 10 dirham tapi yang ada hanya 17 dirham atau 8 dirham. Sedangkan orang yang diberikan nafkah oleh ayahnya, nenek, anak, cucu, suami bukanlah dikatakan fakir dan bukan pula miskin karena ia dianggap mampu dengan nafkah itu dan tidak boleh mengambil bagian fakir miskin. Namun boleh mengambil bagian mu’allaf jika ia mu’allaf atau bagian orang yang berhutang zakat kepada anak cucunya yang diberikan nafkah oleh ayahnya atau nenek dengan syarat-syarat bukan karena si fakir miskin tetapi karena mu’allaf, berhutang, ibnu sab³l, dan lainnya.
Kalau isteri menerima nafkah dari suaminya namun dari jumlah tidak mencukupi karena suaminya tidak mampu atau makan isterinya lebih banyak dari orang biasa, maka boleh isteri mengambil zakat sekedar jumlah untuk mencukupi nafkah yang diberikan suaminya.
Fakir miskin yang belum mampu bekerja baik sebagai pengrajin atau sebagai pedagang dapat diberikan zakat sekira cukup untuk pembelanjaannya dalam masa kebiasaan orang hidup. Sedang umur yang biasa ialah 60 tahun maka kalau umur fakir atau miskin itu sudah mencapai 40 tahun, maka diberikan zakat kepadanya sekira cukup untuk biaya hidup dirinya selama 20 tahun.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dengan mengutip pendapat Ibnu Salah bahwa yang berhak menerima zakat dewasa ini hanya ada empat (1) fakir, (2) miskin, (3) orang yang berhutang dan (4) ibnu sab³l. Kalau tidak ada seorang jua maka ditahan sambil menunggu ada semua musta¥iq atau sebagainya.
Menurutnya, wajib membagikan zakat fitrah yang satu sana kepada semua musta¥iq dan tidak boleh hanya diberikan kepada satu atau dua orang saja. Demikianlah qaul yang lebih kuat dalam mazhab Syafi’i. Namun Menurutnya, dalam kitab Tu¥fah bahwa sebagian ulama yang memilih kebolehan memberikan zakat kepada tiga fakir miskin. Dinukil dari Imam Ruyani memilih pendapat selain dari mazhab Syafi’i ialah yang memperbolehkan memberikan zakat harta benda kepada tiga orang atau satu musta¥iq yang katanya ialah qaul yang dipilih karena sukar melaksanakan mazhab Syafi’i dan kalau sekiranya Imam Syafi’i masih hidup niscaya memfatwakan seperti itu. Di dalam kitab Mugn³ sebagian murid Imam Syafi’i yang di antaranya Imam Istuhri memilih pendapat yang memperbolehkan menyerahkan kepada tiga orang dalam satu musta¥iq dan pendapat ini juga menjadi pilihan Imam Subki. Azrai berkata qaul yang menyatakan wajib meratakan zakat kepada seluruh musta¥iq yang ada adalah sangat jauh, meskipun pendapat itu adalah pendapat yang ،a¥³¥ dalam mazhab, karena itu orang yang menyerahkan zakat fitrah tidak wajib meliputi kepada seluruh musta¥iq dan zakat fitrah yang satu sha’ tidak dapat dibagikan kepada tiga orang pada setiap musta¥iq menurut kebiasannya.
Pemilik zakat tidak boleh memindahkan harta zakat atau zakat fitrah dari negeri zakat yang ada dalam negeri musta¥iq zakat ke negeri lain yang ada di dalam musta¥iq agar zakat itu diberikan kepada mereka.

Konsep Zakat Produktif menurut Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari

Fakir dan miskin, menurut al-Banjari termasuk di antara delapan golongan yang berhak menerima zakat. Adanya kedua golongan ini dalam masyarakat Islam merupakan suatu pertanda kemiskinan umat, yang harus diperangi demi kesejahteraan hidup mereka di dunia ini. Untuk ini zakat bisa banyak berfungsi bila betul-betul dikelola dengan benar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Ukuran kefakiran dan kemiskinan menurut al-Banjari dihitung sampai usia rata-rata kehidupan manusia (sinn al gaib) yaitu 60 tahun. Menjelang sampai usia tersebut diperhitungkan apakah seorang mempunyai harta atau kemungkinan memperolehnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang layak berupa pangan, sandang dan papan, bagi dirinya dan orang-orang wajib menafkahinya, baik diperoleh dari orang yang menafkahinya (seperti bapak, anak, dan sebagainya), maupun diperoleh dari usahanya atau harta yang ada. Bila yang diperolehnya itu sama sekali tidak memadai maka dia disebut faq³r, dan bila tidak mencukupi maka ia disebut misk³n.
Menurut al-Banjari, memberikan zakat kepada fakir dan miskin itu tidak berbentuk uang yang bisa digunakan untuk membiayai kebutuhannya selama usia mencapai usia rata-rata 60 tahunan . Mungkin yang dimaksudnya di sini ialah bersifat konsumtif belaka. Tetapi zakat diberikan kepada mereka itu dalam bentuk sesuatu yang bersifat produktif, sehingga hasilnya bisa digunakan untuk menutupi kebutuhannya sampai usia 60 tahun. Dengan demikian setelah dia diberi zakat maka dia sudah tidak fakir atau miskin lagi yang berhak menerima zakat tetapi sudah termasuk orang kaya.
Dalam kitab Sab³lal Muhtad³n, al-Banjari merinci keadaan fakir miskin yang harus diberi zakat kepada mereka sesuai dengan kemampuan mereka dalam berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
1. Mereka yang tidak memiliki keterampilan berusaha dengan keahlian tertentu atau dengan berdagang. Kepada mereka ini diberikan zakat dalam bentuk pembelian suatu “benda” yang sewanya atau hasilnya bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Sebagai contoh al-Banjari menyebutkan: Sebidang kebun yang sewanya atau hasilnya buah-buahan bisa mencukupi kebutuhan tersebut.
2. Mereka yang mempunyai kemampuan berusaha dengan jenis-jenis keterampilan tertentu. Kepada mereka ini diberikan zakat dalam bentuk pembelian alat-alat keterampilan yang diperlukan meskipun cukup banyak. Bila diperhitungkan hasil dari usaha keterampilan tersebut belum mencukupi kebutuhan yang diperlukannya, maka bisa pula diberikan semacam sebidang kebun yang hasilnya atau sewanya bisa menambahi penghasilan usaha keterampilan itu, sehingga dia bisa memenuhi kebutuhannya secara memadai.
3. Mereka yang mempunyai kemampuan berdagang atau berniaga, kepada mereka diberikan modal berdagang sekira cukup laba perdagangannya itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bila orang itu sudah memiliki modal berdagang tetapi belum cukup untuk bisa diperkirakan labanya guna memenuhi kebutuhan hidupnya, maka diberi zakat sekedar untuk mencukupi modal tersebut.
Tetapi menurut al-Banjari semua cara pemberian zakat seperti tersebut di atas harus terlebih dahulu ada izin dari pihak imam atau pemimpin umat atau pihak penguasa.
Dari konsepsi al-Banjari tentang pengelolaan zakat bagi golongan fakir-miskin ini ada beberapa hal yang bisa disimpulkan, yaitu: Pertama harus ada pendataan orang-orang yang diperkirakan termasuk dalam kategori fakir dan miskin, yang berhak menerima zakat mengenai: Dirinya dan keluarganya yang wajib dinafkahinya, usianya, hartanya yang ada, usahanya dan kemampuannya berusaha, hasil usahanya yang ada dan sebagainya. Kedua, harus ada aparat yang mempunyai wawasan yang luas dalam mencarikan kemungkinan apa saja yang bisa diberikan kepada fakir-miskin dari zakat, agar mereka tidak termasuk lagi dalam golongan orang yang berhak menerima zakat. Ketiga, ada semacam usaha untuk mengurangi jumlah orang-orang fakir dan miskin dalam masyarakat secara berencana, meskipun lambat tetapi pasti. Keempat, segala usaha memproduktifkan zakat tersebut harus direstui oleh pemerintah. Dari semua kesimpulan tersebut jelaslah bahwa al-Banjari pemikiran yang mendalam mengenai penyaluran zakat yang bersifat produktif demi untuk meningkatkan kesejahteraan umat.