Minggu, 13 Januari 2008

INTEGRASI PSIKOLOGI DENGAN ISLAM

INTEGRASI PSIKOLOGI DENGAN ISLAM
(Sebuah Upaya Membangun Metodologinya)


Oleh Siti Faridah dipublikasikan oleh Habibah

Abstrak
Metodologi Psikologi Islam adalah cara cara menyusun pikiran untuk memahami kehidupan jiwa manusia, sesuai dengan penjelasan Allah. Hal ini disebabkan karena Psikologi Islam menemukan landasan filsafat ilmunya pada nilai-nilai Islam. Secara konseptual, metodologi Psikologi Islam bertolak dari aksiologi yang berdasarkan wahyu. Secara epistimologi menyangkut perumusan dan pengembangan Psikologi Islam yang memadukan antara akal dan wahyu, serta ontologi yang menetapkan substansi yang ingin dicapai. Secara operasioanal, metodologi Psikologi Islam berbicara tentang metode-metode penelitian yang ditawarkan. Dengan metodologi Psikologi Islam, maka cara pandang kita terhadap kehidupan jiwa manusia menjadi lebih utuh

Kata kunci: Metodologi konseptual, metode operasional, Psikologi Islam.
A. Pendahuluan

Menyaksikan pergumulan pemikiran tentang pembaharuan Islam di Indonesia, nampaknya ada keinginan yang kuat dari para pakar Islam, agar Islam tetap aktif memberikan warna dalam kemodernan. Usaha ini nampak ketika Islam merespon ilmu pengetahuan modern dengan ide islamisasi ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah perbincangan di seputar upaya membangun sebuah konstruksi Psikologi Islam yang mempunyai corak dan warna tersendiri, sekaligus sebagai psikologi alternatif. Sedang Psikologi umum telah terbukti banyak mengalami kegagalan di dalam memahami berbagai kehidupan jiwa manusia. [1]
Dalam lintasan sejarah, psikologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang lahir dan berkembang dari peradaban Barat yang berlandasan ilmiah empiris-sekuler yang tak berjiwa. Ketika menelaah dimensi relegius dan spiritual, ia hanya menghasilkan interpretasi yang mengandung kekosongan. Untuk mengisi kekosongan itu, kemunculan dan sekaligus pengembangan Psikologi Islam yang koheren dengan nilai-nilai ajaran Islam menjadi semacam kebutuhan. Islamisasi psikologi ini mengharuskan landasan, tujuan, ruang lingkup, metode dan fungsinya harus relevan dengan kebenaran yang bersumber pada wahyu Allah.
Dari segi pemikiran Islam, istilah Psikologi Islam memang baru muncul, tetapi secara substansinya telah ada dalam pemikiran Islam klasik, baik dalam Ilmu Tafsir, Ilmu Kalam, terlebih Ilmu Tasawuf. Hanya saja dalam pemikiran klasik tersebut diwarnai dengan pemikiran filsafat.[2]
Sebagai mazhab baru dalam bidang psikologi, Psikologi Islam mempunyai nilai tambah yang tidak dimiliki oleh psikologi kontemporer lainnya. Namun sayangnya, di kalangan psikolog muslim sendiri masih terdapat ketidakpercayaan mereka terhadap ilmu ini. Salah satu sebabnya adalah karena mereka telah terlanjur mempercayai psikologi Barat kontemporer, terutama metodologinya. Mereka juga belum memahami Metodologi Psikologi Islam. Padahal prasyarat yang sangat penting bagi suatu pengetahuan yang dapat dikategori dalam jajaran ilmu pengetahuan adalah keuniversalan metodologinya. Hal ini berlaku pula dalam membangun Psikologi Islam sebagai ilmu yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan alasan di atas, maka pembicaraan di seputar upaya membangun Metodologi Psikologi Islam ini sangat penting. Tulisan ini pada garis besarnya berisi landasan Metodologi Psikologi Islam, pendekatan-pendekatan dalam Psikologi Islam dan metode-metode dalam Psikologi Islam.

B. Pembahasan

1. Konsep Metodologi Psikologi Islam
Metodologi dalam pembahasan filsafat disebut dengan logika material yang berarti cara menyusun pikiran untuk memahami suatu hal atau keadaan.[3] Metodologi membahas konsep teoritik dari berbagai metode disertai dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing metode, yang dalam.karya ilmiah akan ditindaklanjuti dengan memilih dan menentukan metode yang digunakan.
Ada dua pendapat yang ditawarkan oleh para ahli mengenai metodologi Psikologi Islam. Pertama, Psikologi Islam harus menggunakan metode ilmu pengetahuan modern, yaitu metode ilmiah, Sebab hanya metode ilmiah yang mampu mencapai pengetahuan yang benar. Menurut pendapat ini, tak ada sains tanpa metode, bahkan sains itu sendiri adalah metode. Kedua, Psikologi Islam adalah sains yang mempunyai persyaratan ketat sebagai sains. Mengingat ciri subjeknya yang sangat kompleks, maka Psikologi Islam harus menggunakan metode yang beragam dan tidak terpaku pada metode ilmiah saja.[4]
Ketika kita membicarakan Metodologi Psikologi Islam, ada dua hal penting yang harus diperhatikan Pertama, masalah yang bersifat konseptual, Kedua, masalah yang bersifat operasional. Masalah konseptual meliputi aksiologi, epistemologi dan ontologi. Sedang masalah yang bersifat operasional adalah metode dalam Psikologi Islam itu sendiri.
Menurut Noeng Muhadjir, Filsafat Yunani kono menekankan aspek ontologi dengan menggunakan nalar secara optimal untuk memahami substansi yang menjadi objek pemikiran, baik yang ada dalam kognisi maupun yang ada dalam realitas inderawi. Tradisi ini memunculkan pengetahuan yang bersumber dari metode spekulatif. Sedang ilmu pengetahuan Barat menekankan dimensi epistemologinya pada metode ilmiah sebagai alat untuk mencari kebenaran. Asumsi dasarnya adalah bahwa kebenaran sangat tergantung kepada metode ilmiah yang digunakan, sehingga metode yang digunakan harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian, kualitas metode mencerminkan kualitas kebenaran yang diperoleh.[5]
Dalam konteks Islam, aksiologi merupakan weltanschaung (pandangan hidup) yang berfungsi sebagai landasan di dalam mengkonstruksi fakta. Dalam pandangan Islam, ilmu dan sistem nilai tidak dapat dipisahkan, keduamya saling berhubungan erat, karena ilmu merupakan fungsionalisasi ajaran wahyu. Secara aksiologi Psikologi Islam bersumber dari al-Quran yang berbunyi:
...كتـاب أنزلنـه إليك لنخرج النـاس من الظلمـت إلى النـور بـإذن ربـهم إلى صراط العـزيز الحمـيد . (إبراهـيم/14: 1 ).

“... (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. (QS. Ibrahim/14: 1).[6]
Dengan ayat di atas, maka nampaklah bahwa Islam meletakkan wahyu sebagai paradigma agama yang mengakui eksistensi Allah, baik dalam keyakinan, maupun aplikasinya dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Islam menolak sains untuk sains (science for science), namun menghendaki terlibatnya moralitas di dalam mencari kebenaran ilmu. Secara aksiologi Psikologi Islam dibangun dengan tujuan akhir untuk menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh umat (rahmat li al-‘alamin).
Secara epistemologi, metodologi Psikologi Islam merupakan jalan untuk mencari kebenaran perihal substansi yang ingin diungkapkan, epistemologi membicarakan apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Dalam masalah ini, pemaknaan aksiologik sangat berperan di dalam menentukan kebenaran epistemologik.[7] Dengan demikian, dasar epistemologinya adalah hubungan (nisbah) akal dan intuisi.
Perlu diingat bahwa Psikologi Islam adalah ilmu yang terintegrasi dengan pola pendekatan disiplin ilmu keislaman lainnya, ia memiliki kekhasan tersendiri secara paradigma maupun epistemologinya. Ketidaksamaannya dengan metodologi ilmiah secara umum tidaklah mengurangi keilmiahannya bila kita mengkritisinya dengan berpedoman kepada paradigma dan epistemologi sendiri.
Adapun ontologi berfungsi menetapkan substansi yang ingin dicapai yaitu memahami manusia sesuai dengan sunnatullahnya. Mengingat al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan yang paling dapat diandalkan, maka ayat-ayat yang membicarakan terma-terma seperti insan, basyar, nafs, aql, ruh, qalb dapat dijadikan rujukan. Dengan patokan, sejauh mana metodologi itu dapat mengejar makna dan esensi, bukan hanya gejala. Dengan alasan itu Noeng Muhajir menyatakan bahwa Psikologi Islam bermakna sebagai Psikologi yang menemukan landasan filsafat ilmunya pada nilai-nilai Islam.[8]
Psikologi Islam bagian dari Tasawuf Islam, oleh karena itu metodologi tasawuf dapat pula dijadikan patokan untuk menentukan Metodologi Psikologi Islam. Sebagai contoh metodologi secara konseptual pada tasawuf al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din. Secara aksiologi, tasawuf al-Ghazali bersumber dari wahyu, dasar epistemologinya adalah nisbah akal dan intuisi, dan dasar ontologinya adalah terma-terma seperti al-aql, al-nur dan etika/moral.[9]
Dalam pencarian kebenaran ilmu pengetahuan, aliran positivisme hanya mengakui satu kebenaran yaitu kebenaran inderawi atau kebenaran sensual yang dapat diamati dan dibuktikan oleh siapa saja. Sedang hal-hal yang bersifat metaphisik dan transendental tidak diakui kebenarannya. Sementara itu aliran rasionalisme mengakui tiga kebenaran, yaitu kebenaran imperi-sensual, kebenaran imperi-logik dan kebenaran imperi-etik.
Dengan cara pandang terhadap manusia seperti di atas, dapat kita bayangkan pecahnya kepribadian seseorang yang di satu sisi mempelejari filsafat rasionalistik ataupun positivistik dan di sisi lain diajarkan agama yang padat dengan kebenaran transendental, paradigma semacam ini diyakini dapat mengerosikan keimanan.
Dalam perkembangan filsafat ilmu sangatlah bijak cara yang ditempuh dengan membuka kesempatan yang selebar-lebarnya untuk mengintegrasikan antara ilmu dan wahyu dalam kebenaran yang bersifat monistik tanpa ada dikotomi di antara kedua kebenaran itu, sebab keduanya sama-sama memberikan kontribusi kepada manusia di dalam mencari kebenaran.
Kebenaran dalam Psikologi Islam adalah integratif, tetapi juga masih bersifat probabalistik. Maksudnya, walaupun usaha manusia mendapatkan kebenaran tercapai, namun pada hakikatnya kebenaran itu hanya bersifat probabilistik, maka usaha manusia harus selalu melewati proses yang panjang tanpa akhir untuk menuju kebenaran mutlak yang hanya milik Allah semata. Apabila terjadi kebenaran yang dicapai manusia berbeda dengan kebenaran mutlak Allah, maka kebenaran yang dicapai akal manusia itu berarti belum mampu untuk mencapai kebenaran mutlak Allah. Dengan demikian, maka pemahaman tentang jiwa manusia dengan melalui usaha-usaha ilmiah akan selalu momot nilai benar dan momot nilai salah.
Tampilan kebenaran Psikologi Islam bersifat aspektif atau menonjol pada dataran tertentu, namun pada kasus lain, aspek yang tampil bisa saja berbeda. Keadan ini bukan berarti kebenaran psikologik itu banyak. Untuk menyikapinya maka Noeng Muhadjir menawarkan konsep monisme multifaset. Imperi, kebenaran dan realitas tingkah laku manusia itu tunggal (monistik), menjadi beragam karena tampilan.[10]
Secara realitas tingkah laku manusia itu beragam. Ada yang mudah dijelaskan secara empiri-sensual, ada yang dapat dimengerti dengan penjelasan logik, ada yang memerlukan penjelasan etik. Selain itu, kebenaran ilmu pengetahuan Islam tidak selamanya harus dicari, karena ada hal-hal yang perlu disyukuri sebagai rahmat dan ada pula hal-hal yang hanya dapat dihadapi dengan sabar dan dipahami dengan mengambil hikmahnya.
Cara pandang yang mengakui bermacam-macam tampilan ini, membuat kita lebih arif di dalam menentukan metodologi yang tepat dan sesuai dengan karakteristik dari tampilan objeknya. Sebagai contoh, metodologi positivistik yang kuantitatif-statistik, sesuai dengan karakter objek yang emperi-sensual. Metodologi rasionalistik dapat digunakan untuk membangun konsep teoritik-logik. Metodologi realistik metaphisik bila kita ingin melakukan studi keagamaan yang mengakui wahyu al-Quran sebagai sumber kebenaran.
2. Pendekatan dalam Psikologi Islam
Beberapa pendekatan yang dilakukan di dalam membangun Psikologi Islam sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para psikolog muslim di masa klasik adalah pendekatan skriptualis, pendekatan falsafi/filosofis dan pendekatan tasawwufis/ sufistik.[11]
a. Pendekatan skriptualis adalah pendekatan yang mengacu kepada wahyu. Pendekatan skriptualis dalam pengkajian Psikologi Islam didasarkan pada teks-teks al-Quran atau Hadis dengan lafal-lafal yang terkandung di dalamnya merupakan petunjuk (dilalah) yang sudah dianggap jelas (sharih). Asumsi filosofisnya adalah bahwa Allah mencipatakan nafs manusia dengan segala hukum psikologisnya. Sedang prosedur metodologinya dapat ditempuh dengan empat cara yaitu Tafsir Maudhu’i (tematis), Tahlili (analisis), Maqarin (perbandingan) dan Ijmali (global). Dalam terminologi Ilmu Tafsir, pendekatan skriptualis sama dengan aliran al-Manqul.
b. Pendekatan falsafi/filosofis adalah pendekatan yang mengacu kepada akal (burhan). Pendekatan falsafi dalam pengkajian Psikologi Agama ini didasarkan atas prosedur berpikir spekulatif (sistematis, radikal dan universal yang didukung akal sehat). Pendekatan ini mengutamakan akal tanpa meninggalkan nash, hanya cara memahaminya dengan mengambil makna esensi yang tersirat di dalamnya. Jika terjadi pertentangan antara akal dan wahyu, berarti akal belum mampu menangkap pesan nash tadi. Untuk itu diperlukan interpretasi filosofis (ta’wil) terhadap lafal nash. Dalam terminologi Ilmu Tafsir pendekatan falsafi identik dengan aliran Ma’qul.
c. Pendekatan tasawwufis/sufistik adalah pendekatan yang mengacu kepada intuisi (irfan). Pendekatan sufistik dalam pengkajian Psikologi Islam didasarkan pada prosedur intuitif (al-hadsiyah), ilham dan cita-cita (al-zauqiah) dengan cara menajamkan struktur kalbu melalui proses penyucian diri (tazkiyah al-nafs) untuk membuka tabir (hijab) yang menjadi penghalang ilmu-ilmu Allah dengan jiwa manusia, hingga memperoleh ketersingkapan (al-kasyaf) dan mampu mengungkapkan hakikat jiwa sesungguhnya. Dalam terminologi Ilmu Tafsir, pendekatan sufistik disebut juga dengan Itsari.
Menurut William James, ada empat karakteristik yang dapat dipahami dalam pendekatan sufitik ini, yaitu:
1) Mereka mengutamakan perasaan
2) Dalam kondisi neurotik (syatahat)
3) Dalam kondisi puncak yang sementara tetapi mendalam
4) Apa yang diperoleh merupakan anugerah yang tidak diusahakan. [12]
Ketiga pendekatan dapat digunakan secara simultan walau ada di antaranya yang lebih dominan sesuai namanya.
3. Metode-metode Psikologi Islam
Menurut Hanna Djumhana Bastaman, metode ilmiah yang lazim dipergunakan dalam psikologi, baik kuantitatif dan kualitatif dengan teknik-tekniknya seperti wawancara, tes, eksperimen, survei bisa berlaku dalam Psikologi Islam, namun ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama, kesetaraan porsi dan fungsi antara metode kualitatif dan kuantitatif, karena ada gejala dan perilaku manusia serta peristiwa khusus yang dialami secara pribadi, seperti pengalaman keagamaan. Untuk itu metode fenomenologi dapat dipergunakan. Kedua, selain menggunakan metode ilmiah, Psikologi Islam mengakui adanya pengetahuan yang didapat melalui ilham dan intuisi dengan melalui ibadah khusyuk seperti tafakkur, shalat Istikharah, shalat tahajjud dan doa.[13] Selain itu, bentuk penelitian ada yang dinamakan dengan library research (penelitian kepustakaan) dan field research (penelitian lapangan).
Ada beberapa metode yang ditawarkan oleh para ahli dalam perumusan, penelitian dan pengembangan Psikologi Islam, yaitu:
a. Metode-Metode dalam Perumusan Psikologi Islam
Adapun metode-metode dalam perumusan Psikologi Islam meliputi: metode keyakinan, metode rasionalisasi, integrasi metode keyakinan dengan rasionalisasi, metode otoritas dan metode instuisi.[14]
1) Metode Keyakinan
Dalam metode keyakinan seseorang meyakini betul tentang kebenaran sesuatu (tanpa keraguan) yang bersumber dari al-Quran dan Hadis. Keyakinan bahwa Allah adalah pencipta kehidupan yang mengetahui seluk beluk dari makhluk ciptaan-Nya. Inilah ciri khas Psikologi Islam yang menempatkan wahyu di atas rasio.
2) Metode rasional
Metode rasional Psikologi Islam berpandangan bahwa manusia harus mempergunakan rasio secara optimal dengan menyadari keterbatasannya. Penggunaan akal ini sesuai dengan perintah Allah dalam al-Quran .
3) Metode integrasi metode keyakinan dengan rasionalisasi
Metode ini dapat digunakan untuk memahami al-Quran dan Hadis. Metode yang dipergunakan oleh mufassirin dengan Tafsir bil Ra’yi dapat pula dipergunakan pula oleh Psikolog Muslim. Contoh tafsir dari jenis ini adalah Tafsir al-Azhar karya Hamka.
4) Metode otoritas
Metode otoritas menyandarkan kepercayaan kepada orang yang mempunyai banyak pengetahuan dalam bidang tertentu seperti Tafsir bi al-Ma’tsur yang merujuk kepada penjelasan Rasulullah dan para sahabat dekatnya. Dalam Psikologi Islam juga dapat melakukan hal itu, termasuk penjelasan dari ulama yang mengetahui realitas di balik alam nyata.


5) Metode intuisi
Pendayagunaan kalbu atau hati nurani dapat membantu seseorang melihat dengan mata batinnya kenyataan yang dapat dilihat dan dirasakan oleh pancaindranya. Dan metode eksperimen spritual adalah membuat perlakuan tertentu dengan secara rohani mencoba untuk mengetahui dampaknya. Sebagai contoh membiasakan shalat malam, lalu ia berusaha mengetahui bagaimana rasa hati terhadap Tuhan dengan kebiasaan demikian.
b. Metode Penelitian dan Pengembangan Psikologi Islam
1) Pragmatis dan Metode Idealistik
a) Metode Pragmatis
Metode pragmatis adalah metode pengkajian dan pengembangan Psikologi Islam yang lebih mengutamakan aspek praktis dan kegunaannya. Metode ini sebenarnya ditransfer dari kerangka teori Barat kontemporer yang sudah mapan, teori tersebut dilegalisasi dan dijustifikasi dengan nash, hingga bernuansa islami.[15]
Kelebihan dari metode pragmatis ini adalah sifatnya yang responsif, akomodatif dan toleran terhadap perkembangan psikologi serta sangat efektif dan efesien untuk membangun disiplin baru dalam Psikologi Islam. Sedang kekurangannya terletak pada kekhawatiran terseretnya Psikologi Islam kepada frame Barat sekuler yang bertentangan dengan kode etik ilmiah-Qurani. Hal ini beralasan, karena perbedaan paradigma dan proses penyeleksian yang kurang ketat dapat membawa Psikologi Islam bercorak sekuler.
Kekhawatiran ini diungkapkan oleh Malik B. Badri dalam bukunya The Dilemma of Muslim Psychologits. Menurutnya ketidakselektifan psikolog muslim dapat menyebabkan mereka mengikuti cara hidup dan cara pandang mereka (Yahudi dan Kristen), meskipun cara itu berkualitas rendah dan tidak islami.[16] Rasulullah dalam Hadis beliau bahkan meramalkan: …”bahkan jika mereka masuk ke dalam lobang biawak pun , orang Islam tanpa pikir panjang akan mengikutinya.”[17]
Barangkali contoh kasus dalam masalah ini dapat dikemukakan apa yang dilakukan oleh Dawam Rahardjo yang cenderung menyamakan istilah super ego dengan al-nafs al-muthmainnah, ego dengan al-nafs al-lawwamah dan id dengan al-nafs al-ammarah.[18] Menurut penulis, masing-masing terma sebenarnya tidak bisa disamakan, karena masing-masing terma itu memiliki asumsi filosofis yang berbeda. Konsep al-nafs diasumsikan dari paradigma teosentris, sedang id, ego dan super ego diasumsi dari paradigma antroposentris yang menafikan makna keberagamaan dalam hidup manusia. Cara ini dapat mengakibatkan biasnya sains dan direduksinya agama ke taraf sains.
Langkah-langkah operasional dalam metode pragmatis adalah:
(1) Penguasaan disiplin ilmu modern dan penguraian kategori.
(2) Survai disiplin ilmu pengetahuan.
(3) Penguasaan khazanah Islam tahap analisis.
(4) Penemuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan.
(5) Penilaian kritis terhadap ilmu pengetahuan modern.
(6) Penilaian kritis terhadap khazanah Islam di masa kini.
(7) Survai pengetahuan yang dihadapi umat Islam.
(8) Survai pengetahuan yang dihadapi umat manusia.
(9) Analisis, kreatif dan sintesis.
(10) Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam.
(11) Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasi. [19]
b) Metode Idealistik
Metode idealistik adalah metode yang lebih mengutamakan penggalian Psikologi Islam dari ajaran Islam. Metode ini menggunakan pola deduktif dengan cara menggali premis mayor sebagai postulasi yang digali dari nash dan dijadikan sebagai “kebenaran universal” untuk menggali premis minornya.
Menurut Sardar, ada sembilan konstruksi kerangka epistemologis di dalam menerapkan metode idealistik, yaitu:
(1) Didasarkan pada kerangka pedoman mutlak dari Allah dan Rasul-Nya.
(2) Bersifat aktif.
(3) Memandang objektivitas sebagai masalah umum.
(4) Sebagian besar bersifat deduktif.
(5) Memadukan pengetahuan dengan nilai Islam.
(6) Mengakui pengetahuan bersifat inklusif, termasuk pengalaman pribadi.
(7) Menyusun dan mendorong pencarian pengalaman subjektif.
(8) Memadukan konsep dari tingkat kesadaran dengan tingkat pengalaman subjektif.
(9) Tidak bertentangan dengan pandangan holistik, sehingga epistemologi Islam sesuai dengan pengalaman pribadi dan pertumbuhan intelektual.[20]
Selain itu, Bastaman juga menawarkan rumusan tujuh prinsip berpikir ilmiah-Qurani, yaitu:
(1) Empiris-metaempiris.
(2) Rasional-intuitif.
(3) Objektif-partisipatif.
(4) Absolutisme moral yang berpijak pada keunikan sistem.
(5) Eksplisit mengungkap kemampuan spritual.
(6) Aksioma dari ajaran agama.
(7) Pendekatan holistik menurut model manusia seutuhnya, baru mengadakan parsialisasi ke bidang disiplin. [21]
Kedua kerangka di atas memberikan tantangan kepada para peneliti, pengkaji dan pemerhati Psikologi Islam untuk menggali khazanah yang dimilikinya. Dengan begitu Psikologi Islam dalam membicarakan jiwa manusia sarat nilai. Ia tidak hanya berbicara apa adanya, juga bagaimana seharusnya.
2) Metode Ilmu Tafsir dan Ushul Fiqh
Menurut Elmira N. Sumintardja, objek formal dari Psikologi Islam adalah konsep manusia berdasarkan al-Quran dan Hadis yang pemahaman interpretatifnya hanya dapat diperoleh dengan metode Ilmu Tafsir dan Ushul Fiqh. Pertimbangan yang diambil adalah bahwa manusia dapat menggunakan akal untuk proses pemahamannya. Kebenaran substansi dapat dicapai bila manusia meyakini bahwa ilmu diberikan Allah kepadanya (naqliyah) dan pengetahuan yang digali melalui akal sehatnya (aqliyah).[22]

a) Metode Ilmu Tafsir
Pendekatan dalam Ilmu Tafsir dapat dilakukan untuk mengkaji masalah kejiwaan manusia. Misalnya, Tafsir Maudhu’i/metode tematis berdasarkan tema tertentu dari Al-Quran . Untuk mengkaji konsep-konsep penting yang berhubungan dengan Psikologi Islam seperti insan, basyar, nas, Bani Adam, fithrah, ruh, nafs, akal, qalb dan lain-lain metode itu sungguh tepat. Caranya ayat al-Quran atau Hadis yang terkait dikumpulkan. Hasil inventarisasi dicarikan kaitannya agar masing-masing dapat menjelas-kan, lalu disistematisasi menurut disiplin psikologis, hingga didapatkan konklusi yang bernuansa psikologis pula.
Keunggulan cara ini adalah selain dapat menampilkan nash secara integral dan komprehensif juga dapat menghindari intervensi pemikiran manusia yang berlebihan. Sedang kelemahannya adalah bahwa masing-masimg ayat atau hadis dilatar belakangi oleh konteks dan kondisi yang berbeda.
Tafsir Tahlili/Tafsir bil Ma’tsur (analisis) yang menafsirkan ayat dengan ayat, riwayat nabi, sahabat dan tabi’in. Dengan metode ini dapat diketahui peristiwa yang terjadi di seputar turunnya wahyu al-Quran dan bagaimana situasi sosial-psikologis Rasul dan para sahabat sewaktu turunnya ayat itu.
Kelebihan prosedur ini adalah pengkaji dapat memilih ayat atau Hadis tertentu yang dianggap representatif saja, sehingga dapat mengkaji secara mendalam.[23] Kelemahannya bisa terjadi bila pengkaji terlalu jauh dalam analisisnya sehingga keluar dari konteks yang sesungguhnya.
Tafsir Maqarin prosedur perbandingan yaitu memperbandingkan antara ayat satu dengan ayat lain, ayat dengan Hadis, Hadis dengan ayat dan ayat dengan hadis. Pendapat ulama salaf atau ulama khalaf. Dari sini dapat diketahui adanya ayat yang terminologinya sama tetapi konteksnya berbeda.[24] Misalnya kata nafs dalam QS. Ali Imran ayat 185 tentang setiap nafs yang tenang.
Tafsir Ijmali/prosedur global mengemukakan penjelasan mengenai ayat-ayat atau Hadis yang berkaitan dengan psikologis secara global. Penjelasannya ringkas, bahasa popular dan mudah dimengerti. Prosedur terakhir ini jarang digunakan karena terwakili oleh ketiga prosedur tadi.
b) Metode Ushul Fiqh
Sementara itu metode Ushul Fiqh juga dapat digunakan. Metode ini berfungsi untuk merumuskan kaidah keilmuan dari dalil-dalil al-Quran dan Hadis dengan menggunakan penalaran akal yang logis dan rasional. Akal adalah sesuatu yang abstrak dan merupakan aktivitas hati. Kalbu adalah pusat awal kegiatan akal, karena itulah setiap perilaku manusia dihubungkan dengan niat sebagai kehendak yang kuat dan motif yang berasal dari hati. Para sufi yang menekankan pengendalian hati sebagai pemicu setiap perbuatan manusia memusatkan pembinaan akhlak melalui pintu hati ini. Prinsip inilah yang digunakan para pakar hukum Islam untuk mengukur keabsahan sesuatu tingkah laku secara hukum.[25]
c. Metode ilmiah dalam Psikologi Islam
Secara operasional, metode ilmiah dalam Psikologi Islam terdiri dari metode deskriptif dan metode eksperimental.
1) Metoda deskriptif
Metode deskriptif yang digunakan dalam metode ilmiah adalah observasi dan riset korelasi. Pada tingkat intervensi pengamat, terdapat dua observasi. Pertama, obsevasi tanpa intervensi. Kedua, observasi dengan intervensi.
Observasi tanpa intervensi mirip dengan telaah naturalistik, di mana pengamat lebih berperan sebagai pencatat pasif tentang rentetan peristiwa yang terjadi. Observasi dengan intervensi adalah: pertama, observasi partisipan di mana pengamat turut aktif berperan dalam situasi tingkah laku yang diamati, kedua, observasi terstruktur di mana pengamat mengadakan intervensi dengan maksud untuk melihat rentetan peristiwa yang terjadi kemudian, setelah ada intervensi, eksprerimen lapangan, di mana pengamat memanipulasi satu atau beberapa variabel dalam setting natural pada tingkah laku.
Adapun observasi dengan intervensi memungkinkan pembauran dengan nuansa alamiah dengan suatu intervensi dalam upaya menguji suatu teori. Adapun riset korelasi digunakan bila peneliti bertujuan mengidenti-fikasi hubungan prediktif melalui ukuran kovarian di antara berbagai variabel.
Metode eksperimental adalah metode ilmiah yang digunakan untuk melihat sebab akibat dengan prosedur kerja yang berhubungan dengan variabel independen dan variabel dependen. Metode observasi dan eksperimen pernah dilakukan oleh Malik B. Badri ketika melakukan studi banding antara proses tafakur dengan hukum-hukum alam dalam buku beliau Tafakur Perspektif Psikologi Islam.
Pada dasarnya, metode-metode yang ditawar-kan oleh para ahli di atas, tidak lepas dari pendekatan-pendekatan yang pernah dilakukan oleh para pemikir Islam di dalam mengkaji ilmu-ilmu keislaman, termasuk ilmu-ilmu tentang kejiwaan. Secara historis metode-metode yang ditawarkan memiliki dasar yang kuat, baik secara konseptual maupun operasional.

C. Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua masalah pokok dalam membahas Metodologi Psikologi Islam, yaitu masalah yang bersifat konseptual dan operasional. Secara konseptual, Psikologi Islam bertolak dari aksiologi yang didasarkan kepada al-Quran, epistemologi yang menyangkut perumusan dan pengembangan Psikologi Islam dan ontologi yang menetapkan substansi yang ingin dicapai.
Secara operasional, metodologi Psikologi Islam berbicara lebih lanjut tentang apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Dengan cara membicarakan metode penelitian baik melalui pengkajian leteral maupun lapangan.
Sebagai ilmu yang sarat nilai, Psikologi Islam yang terintegrasi dengan pola pendekatan disiplin ilmu keislaman lainnya, jelas memiliki kekhasan tersendiri secara paradigma maupun epistemologinya. Ketidaksamaannya dengan metodologi ilmiah secara umum tidaklah mengurangi keilmiahannya, jika kita mencoba mengkritisinya dengan berpedoman kepada paradigma dan epistemologi sendiri.

Daftar Pustaka

Ancok, Djamaluddin dan Fuad Nashori Suroso. Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikologi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995.

Badri, Malik B. The Dilemma of MuslimPsychologist, terj. Siti Zainab Luxfiati dengan judul: Dilema Psikologi Muslim, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1996.
Bastaman, Hanna Djumhana. Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta, Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996.

Faruqi, Ismail Raji, al-. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Wahyuni, Bandung, Pustaka, 1984.

James, William. The Varieties of Relegious Exprence, New York, Collier Books, 1974.

Muhaimin dan Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung, Trigenda Karya, 1993.

Muslim, Abu Husein Muslim ibn al-Hajjaj ibn. Shahih Muslim, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.

Nashori, Fuad. Psikologi Islam, Agenda Menuju Aksi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1997.

Nawawi, Rif’at Syauqi et. al. Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000.

Rahardjo, Dawam. Ensiklopedia Al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta, Paramadina, 1996.

Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Agama Sebuah Pengantar, Bandung, Mizan, 2003.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Quran dengan Metode Maudhu’i Dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Quran, Jakarta, Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran, 1983.

Syukur, M. Amin Abdullah dan Masyharuddin. Intelektualisme Tasawuf, Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, PT. Wihani Corporation, 1990/1991.
*Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin, menyelesaikan Program Pascasarjana IAIN Antasari tahun 2004.
[1]Malik B. Badri, The Dilemma of MuslimPsychologist, terj. Siti Zainab Luxfiati Dilema Psikologi Muslim,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 1. Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashorri Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 70-75. Lihat juga Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan, 2003), h. 163-174. Adapun psikologi umum yang dimaksud adalah psikologi Barat kontemporer, seperti aliran Psikoanalisis yang dipelopori Sigmund Freud, yang mencitrakan manusia buruk hakikat manusia. Psikologi Behavioristik yang dipelopori J.B. Watson yang mencitrakan manusia netral. Sedang Psikologi Humanistik yang dipelopori Abraham Maslow memandang manusia mempunyai otoritas mutlak atas kehidupannya.
[2]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996), h. 28.
[3]Rif’at Syauqi Nawawi, et.al., Metodologi Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 120.
[4]Hanna Djumhana Bastaman, op. cit., h 9. Adapun salah satu persyaratan sains adalah memiliki cara yang lazim disebut metode yang berfungsi untuk menemukan rahasia sunnatullah yang bekerja dalam dirinya, sekaligus berfungsi untuk mengukuhkan objektivitasnya.
[5]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al.,. op. cit., h. 105.
[6]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Wihani Corporation, 1990/1991), h. 279.
[7]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al, op. cit., h. 106-107.
[8]Ibid., h 110.
[9]M. Amin Abdullah Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 170-209.
[10]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al.,. op. cit., h. 111.
[11]Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakir, op. cit., h. 15.
[12]William James, The Varieties of Relegious Exprence, (New York: Collier Books, 1974), p. 22.
[13]Hanna Djumhana Bastaman, op. cit., h. 10.
[14]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al., op. cit., h. 111.
[15]Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 6.
[16]Malik B. Badri, loc. cit.
[17]Abu Husein Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 219.
[18]Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Quran,: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 265.
[19]Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Wahyuni, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 99-115.
[20]Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakir, op. cit., h. 20-21.
[21]Hanna Djumhana Bastaman, op. cit., h. 21.
[22]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al, .op. cit., h. 138-139.
[23]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Quran dengan Metode Maudhu’i Dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Quran, (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran, 1983), h. 23.
[24]Ibid., h 38.
[25]Fuad Nashori, Psikologi Islam, Agenda Menuju Aksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 150-151.



Tksh Ibu Siti Faridah untuk tulisan ini

INTEGRASI PSIKOLOGI DENGAN ISLAM

INTEGRASI PSIKOLOGI DENGAN ISLAM
(Sebuah Upaya Membangun Metodologinya)



Abstrak
Metodologi Psikologi Islam adalah cara cara menyusun pikiran untuk memahami kehidupan jiwa manusia, sesuai dengan penjelasan Allah. Hal ini disebabkan karena Psikologi Islam menemukan landasan filsafat ilmunya pada nilai-nilai Islam. Secara konseptual, metodologi Psikologi Islam bertolak dari aksiologi yang berdasarkan wahyu. Secara epistimologi menyangkut perumusan dan pengembangan Psikologi Islam yang memadukan antara akal dan wahyu, serta ontologi yang menetapkan substansi yang ingin dicapai. Secara operasioanal, metodologi Psikologi Islam berbicara tentang metode-metode penelitian yang ditawarkan. Dengan metodologi Psikologi Islam, maka cara pandang kita terhadap kehidupan jiwa manusia menjadi lebih utuh

Kata kunci: Metodologi konseptual, metode operasional, Psikologi Islam.
A. Pendahuluan

Menyaksikan pergumulan pemikiran tentang pembaharuan Islam di Indonesia, nampaknya ada keinginan yang kuat dari para pakar Islam, agar Islam tetap aktif memberikan warna dalam kemodernan. Usaha ini nampak ketika Islam merespon ilmu pengetahuan modern dengan ide islamisasi ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah perbincangan di seputar upaya membangun sebuah konstruksi Psikologi Islam yang mempunyai corak dan warna tersendiri, sekaligus sebagai psikologi alternatif. Sedang Psikologi umum telah terbukti banyak mengalami kegagalan di dalam memahami berbagai kehidupan jiwa manusia. [1]
Dalam lintasan sejarah, psikologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang lahir dan berkembang dari peradaban Barat yang berlandasan ilmiah empiris-sekuler yang tak berjiwa. Ketika menelaah dimensi relegius dan spiritual, ia hanya menghasilkan interpretasi yang mengandung kekosongan. Untuk mengisi kekosongan itu, kemunculan dan sekaligus pengembangan Psikologi Islam yang koheren dengan nilai-nilai ajaran Islam menjadi semacam kebutuhan. Islamisasi psikologi ini mengharuskan landasan, tujuan, ruang lingkup, metode dan fungsinya harus relevan dengan kebenaran yang bersumber pada wahyu Allah.
Dari segi pemikiran Islam, istilah Psikologi Islam memang baru muncul, tetapi secara substansinya telah ada dalam pemikiran Islam klasik, baik dalam Ilmu Tafsir, Ilmu Kalam, terlebih Ilmu Tasawuf. Hanya saja dalam pemikiran klasik tersebut diwarnai dengan pemikiran filsafat.[2]
Sebagai mazhab baru dalam bidang psikologi, Psikologi Islam mempunyai nilai tambah yang tidak dimiliki oleh psikologi kontemporer lainnya. Namun sayangnya, di kalangan psikolog muslim sendiri masih terdapat ketidakpercayaan mereka terhadap ilmu ini. Salah satu sebabnya adalah karena mereka telah terlanjur mempercayai psikologi Barat kontemporer, terutama metodologinya. Mereka juga belum memahami Metodologi Psikologi Islam. Padahal prasyarat yang sangat penting bagi suatu pengetahuan yang dapat dikategori dalam jajaran ilmu pengetahuan adalah keuniversalan metodologinya. Hal ini berlaku pula dalam membangun Psikologi Islam sebagai ilmu yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan alasan di atas, maka pembicaraan di seputar upaya membangun Metodologi Psikologi Islam ini sangat penting. Tulisan ini pada garis besarnya berisi landasan Metodologi Psikologi Islam, pendekatan-pendekatan dalam Psikologi Islam dan metode-metode dalam Psikologi Islam.

B. Pembahasan

1. Konsep Metodologi Psikologi Islam
Metodologi dalam pembahasan filsafat disebut dengan logika material yang berarti cara menyusun pikiran untuk memahami suatu hal atau keadaan.[3] Metodologi membahas konsep teoritik dari berbagai metode disertai dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing metode, yang dalam.karya ilmiah akan ditindaklanjuti dengan memilih dan menentukan metode yang digunakan.
Ada dua pendapat yang ditawarkan oleh para ahli mengenai metodologi Psikologi Islam. Pertama, Psikologi Islam harus menggunakan metode ilmu pengetahuan modern, yaitu metode ilmiah, Sebab hanya metode ilmiah yang mampu mencapai pengetahuan yang benar. Menurut pendapat ini, tak ada sains tanpa metode, bahkan sains itu sendiri adalah metode. Kedua, Psikologi Islam adalah sains yang mempunyai persyaratan ketat sebagai sains. Mengingat ciri subjeknya yang sangat kompleks, maka Psikologi Islam harus menggunakan metode yang beragam dan tidak terpaku pada metode ilmiah saja.[4]
Ketika kita membicarakan Metodologi Psikologi Islam, ada dua hal penting yang harus diperhatikan Pertama, masalah yang bersifat konseptual, Kedua, masalah yang bersifat operasional. Masalah konseptual meliputi aksiologi, epistemologi dan ontologi. Sedang masalah yang bersifat operasional adalah metode dalam Psikologi Islam itu sendiri.
Menurut Noeng Muhadjir, Filsafat Yunani kono menekankan aspek ontologi dengan menggunakan nalar secara optimal untuk memahami substansi yang menjadi objek pemikiran, baik yang ada dalam kognisi maupun yang ada dalam realitas inderawi. Tradisi ini memunculkan pengetahuan yang bersumber dari metode spekulatif. Sedang ilmu pengetahuan Barat menekankan dimensi epistemologinya pada metode ilmiah sebagai alat untuk mencari kebenaran. Asumsi dasarnya adalah bahwa kebenaran sangat tergantung kepada metode ilmiah yang digunakan, sehingga metode yang digunakan harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian, kualitas metode mencerminkan kualitas kebenaran yang diperoleh.[5]
Dalam konteks Islam, aksiologi merupakan weltanschaung (pandangan hidup) yang berfungsi sebagai landasan di dalam mengkonstruksi fakta. Dalam pandangan Islam, ilmu dan sistem nilai tidak dapat dipisahkan, keduamya saling berhubungan erat, karena ilmu merupakan fungsionalisasi ajaran wahyu. Secara aksiologi Psikologi Islam bersumber dari al-Quran yang berbunyi:
...كتـاب أنزلنـه إليك لنخرج النـاس من الظلمـت إلى النـور بـإذن ربـهم إلى صراط العـزيز الحمـيد . (إبراهـيم/14: 1 ).

“... (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. (QS. Ibrahim/14: 1).[6]
Dengan ayat di atas, maka nampaklah bahwa Islam meletakkan wahyu sebagai paradigma agama yang mengakui eksistensi Allah, baik dalam keyakinan, maupun aplikasinya dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Islam menolak sains untuk sains (science for science), namun menghendaki terlibatnya moralitas di dalam mencari kebenaran ilmu. Secara aksiologi Psikologi Islam dibangun dengan tujuan akhir untuk menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh umat (rahmat li al-‘alamin).
Secara epistemologi, metodologi Psikologi Islam merupakan jalan untuk mencari kebenaran perihal substansi yang ingin diungkapkan, epistemologi membicarakan apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Dalam masalah ini, pemaknaan aksiologik sangat berperan di dalam menentukan kebenaran epistemologik.[7] Dengan demikian, dasar epistemologinya adalah hubungan (nisbah) akal dan intuisi.
Perlu diingat bahwa Psikologi Islam adalah ilmu yang terintegrasi dengan pola pendekatan disiplin ilmu keislaman lainnya, ia memiliki kekhasan tersendiri secara paradigma maupun epistemologinya. Ketidaksamaannya dengan metodologi ilmiah secara umum tidaklah mengurangi keilmiahannya bila kita mengkritisinya dengan berpedoman kepada paradigma dan epistemologi sendiri.
Adapun ontologi berfungsi menetapkan substansi yang ingin dicapai yaitu memahami manusia sesuai dengan sunnatullahnya. Mengingat al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan yang paling dapat diandalkan, maka ayat-ayat yang membicarakan terma-terma seperti insan, basyar, nafs, aql, ruh, qalb dapat dijadikan rujukan. Dengan patokan, sejauh mana metodologi itu dapat mengejar makna dan esensi, bukan hanya gejala. Dengan alasan itu Noeng Muhajir menyatakan bahwa Psikologi Islam bermakna sebagai Psikologi yang menemukan landasan filsafat ilmunya pada nilai-nilai Islam.[8]
Psikologi Islam bagian dari Tasawuf Islam, oleh karena itu metodologi tasawuf dapat pula dijadikan patokan untuk menentukan Metodologi Psikologi Islam. Sebagai contoh metodologi secara konseptual pada tasawuf al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din. Secara aksiologi, tasawuf al-Ghazali bersumber dari wahyu, dasar epistemologinya adalah nisbah akal dan intuisi, dan dasar ontologinya adalah terma-terma seperti al-aql, al-nur dan etika/moral.[9]
Dalam pencarian kebenaran ilmu pengetahuan, aliran positivisme hanya mengakui satu kebenaran yaitu kebenaran inderawi atau kebenaran sensual yang dapat diamati dan dibuktikan oleh siapa saja. Sedang hal-hal yang bersifat metaphisik dan transendental tidak diakui kebenarannya. Sementara itu aliran rasionalisme mengakui tiga kebenaran, yaitu kebenaran imperi-sensual, kebenaran imperi-logik dan kebenaran imperi-etik.
Dengan cara pandang terhadap manusia seperti di atas, dapat kita bayangkan pecahnya kepribadian seseorang yang di satu sisi mempelejari filsafat rasionalistik ataupun positivistik dan di sisi lain diajarkan agama yang padat dengan kebenaran transendental, paradigma semacam ini diyakini dapat mengerosikan keimanan.
Dalam perkembangan filsafat ilmu sangatlah bijak cara yang ditempuh dengan membuka kesempatan yang selebar-lebarnya untuk mengintegrasikan antara ilmu dan wahyu dalam kebenaran yang bersifat monistik tanpa ada dikotomi di antara kedua kebenaran itu, sebab keduanya sama-sama memberikan kontribusi kepada manusia di dalam mencari kebenaran.
Kebenaran dalam Psikologi Islam adalah integratif, tetapi juga masih bersifat probabalistik. Maksudnya, walaupun usaha manusia mendapatkan kebenaran tercapai, namun pada hakikatnya kebenaran itu hanya bersifat probabilistik, maka usaha manusia harus selalu melewati proses yang panjang tanpa akhir untuk menuju kebenaran mutlak yang hanya milik Allah semata. Apabila terjadi kebenaran yang dicapai manusia berbeda dengan kebenaran mutlak Allah, maka kebenaran yang dicapai akal manusia itu berarti belum mampu untuk mencapai kebenaran mutlak Allah. Dengan demikian, maka pemahaman tentang jiwa manusia dengan melalui usaha-usaha ilmiah akan selalu momot nilai benar dan momot nilai salah.
Tampilan kebenaran Psikologi Islam bersifat aspektif atau menonjol pada dataran tertentu, namun pada kasus lain, aspek yang tampil bisa saja berbeda. Keadan ini bukan berarti kebenaran psikologik itu banyak. Untuk menyikapinya maka Noeng Muhadjir menawarkan konsep monisme multifaset. Imperi, kebenaran dan realitas tingkah laku manusia itu tunggal (monistik), menjadi beragam karena tampilan.[10]
Secara realitas tingkah laku manusia itu beragam. Ada yang mudah dijelaskan secara empiri-sensual, ada yang dapat dimengerti dengan penjelasan logik, ada yang memerlukan penjelasan etik. Selain itu, kebenaran ilmu pengetahuan Islam tidak selamanya harus dicari, karena ada hal-hal yang perlu disyukuri sebagai rahmat dan ada pula hal-hal yang hanya dapat dihadapi dengan sabar dan dipahami dengan mengambil hikmahnya.
Cara pandang yang mengakui bermacam-macam tampilan ini, membuat kita lebih arif di dalam menentukan metodologi yang tepat dan sesuai dengan karakteristik dari tampilan objeknya. Sebagai contoh, metodologi positivistik yang kuantitatif-statistik, sesuai dengan karakter objek yang emperi-sensual. Metodologi rasionalistik dapat digunakan untuk membangun konsep teoritik-logik. Metodologi realistik metaphisik bila kita ingin melakukan studi keagamaan yang mengakui wahyu al-Quran sebagai sumber kebenaran.
2. Pendekatan dalam Psikologi Islam
Beberapa pendekatan yang dilakukan di dalam membangun Psikologi Islam sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para psikolog muslim di masa klasik adalah pendekatan skriptualis, pendekatan falsafi/filosofis dan pendekatan tasawwufis/ sufistik.[11]
a. Pendekatan skriptualis adalah pendekatan yang mengacu kepada wahyu. Pendekatan skriptualis dalam pengkajian Psikologi Islam didasarkan pada teks-teks al-Quran atau Hadis dengan lafal-lafal yang terkandung di dalamnya merupakan petunjuk (dilalah) yang sudah dianggap jelas (sharih). Asumsi filosofisnya adalah bahwa Allah mencipatakan nafs manusia dengan segala hukum psikologisnya. Sedang prosedur metodologinya dapat ditempuh dengan empat cara yaitu Tafsir Maudhu’i (tematis), Tahlili (analisis), Maqarin (perbandingan) dan Ijmali (global). Dalam terminologi Ilmu Tafsir, pendekatan skriptualis sama dengan aliran al-Manqul.
b. Pendekatan falsafi/filosofis adalah pendekatan yang mengacu kepada akal (burhan). Pendekatan falsafi dalam pengkajian Psikologi Agama ini didasarkan atas prosedur berpikir spekulatif (sistematis, radikal dan universal yang didukung akal sehat). Pendekatan ini mengutamakan akal tanpa meninggalkan nash, hanya cara memahaminya dengan mengambil makna esensi yang tersirat di dalamnya. Jika terjadi pertentangan antara akal dan wahyu, berarti akal belum mampu menangkap pesan nash tadi. Untuk itu diperlukan interpretasi filosofis (ta’wil) terhadap lafal nash. Dalam terminologi Ilmu Tafsir pendekatan falsafi identik dengan aliran Ma’qul.
c. Pendekatan tasawwufis/sufistik adalah pendekatan yang mengacu kepada intuisi (irfan). Pendekatan sufistik dalam pengkajian Psikologi Islam didasarkan pada prosedur intuitif (al-hadsiyah), ilham dan cita-cita (al-zauqiah) dengan cara menajamkan struktur kalbu melalui proses penyucian diri (tazkiyah al-nafs) untuk membuka tabir (hijab) yang menjadi penghalang ilmu-ilmu Allah dengan jiwa manusia, hingga memperoleh ketersingkapan (al-kasyaf) dan mampu mengungkapkan hakikat jiwa sesungguhnya. Dalam terminologi Ilmu Tafsir, pendekatan sufistik disebut juga dengan Itsari.
Menurut William James, ada empat karakteristik yang dapat dipahami dalam pendekatan sufitik ini, yaitu:
1) Mereka mengutamakan perasaan
2) Dalam kondisi neurotik (syatahat)
3) Dalam kondisi puncak yang sementara tetapi mendalam
4) Apa yang diperoleh merupakan anugerah yang tidak diusahakan. [12]
Ketiga pendekatan dapat digunakan secara simultan walau ada di antaranya yang lebih dominan sesuai namanya.
3. Metode-metode Psikologi Islam
Menurut Hanna Djumhana Bastaman, metode ilmiah yang lazim dipergunakan dalam psikologi, baik kuantitatif dan kualitatif dengan teknik-tekniknya seperti wawancara, tes, eksperimen, survei bisa berlaku dalam Psikologi Islam, namun ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama, kesetaraan porsi dan fungsi antara metode kualitatif dan kuantitatif, karena ada gejala dan perilaku manusia serta peristiwa khusus yang dialami secara pribadi, seperti pengalaman keagamaan. Untuk itu metode fenomenologi dapat dipergunakan. Kedua, selain menggunakan metode ilmiah, Psikologi Islam mengakui adanya pengetahuan yang didapat melalui ilham dan intuisi dengan melalui ibadah khusyuk seperti tafakkur, shalat Istikharah, shalat tahajjud dan doa.[13] Selain itu, bentuk penelitian ada yang dinamakan dengan library research (penelitian kepustakaan) dan field research (penelitian lapangan).
Ada beberapa metode yang ditawarkan oleh para ahli dalam perumusan, penelitian dan pengembangan Psikologi Islam, yaitu:
a. Metode-Metode dalam Perumusan Psikologi Islam
Adapun metode-metode dalam perumusan Psikologi Islam meliputi: metode keyakinan, metode rasionalisasi, integrasi metode keyakinan dengan rasionalisasi, metode otoritas dan metode instuisi.[14]
1) Metode Keyakinan
Dalam metode keyakinan seseorang meyakini betul tentang kebenaran sesuatu (tanpa keraguan) yang bersumber dari al-Quran dan Hadis. Keyakinan bahwa Allah adalah pencipta kehidupan yang mengetahui seluk beluk dari makhluk ciptaan-Nya. Inilah ciri khas Psikologi Islam yang menempatkan wahyu di atas rasio.
2) Metode rasional
Metode rasional Psikologi Islam berpandangan bahwa manusia harus mempergunakan rasio secara optimal dengan menyadari keterbatasannya. Penggunaan akal ini sesuai dengan perintah Allah dalam al-Quran .
3) Metode integrasi metode keyakinan dengan rasionalisasi
Metode ini dapat digunakan untuk memahami al-Quran dan Hadis. Metode yang dipergunakan oleh mufassirin dengan Tafsir bil Ra’yi dapat pula dipergunakan pula oleh Psikolog Muslim. Contoh tafsir dari jenis ini adalah Tafsir al-Azhar karya Hamka.
4) Metode otoritas
Metode otoritas menyandarkan kepercayaan kepada orang yang mempunyai banyak pengetahuan dalam bidang tertentu seperti Tafsir bi al-Ma’tsur yang merujuk kepada penjelasan Rasulullah dan para sahabat dekatnya. Dalam Psikologi Islam juga dapat melakukan hal itu, termasuk penjelasan dari ulama yang mengetahui realitas di balik alam nyata.


5) Metode intuisi
Pendayagunaan kalbu atau hati nurani dapat membantu seseorang melihat dengan mata batinnya kenyataan yang dapat dilihat dan dirasakan oleh pancaindranya. Dan metode eksperimen spritual adalah membuat perlakuan tertentu dengan secara rohani mencoba untuk mengetahui dampaknya. Sebagai contoh membiasakan shalat malam, lalu ia berusaha mengetahui bagaimana rasa hati terhadap Tuhan dengan kebiasaan demikian.
b. Metode Penelitian dan Pengembangan Psikologi Islam
1) Pragmatis dan Metode Idealistik
a) Metode Pragmatis
Metode pragmatis adalah metode pengkajian dan pengembangan Psikologi Islam yang lebih mengutamakan aspek praktis dan kegunaannya. Metode ini sebenarnya ditransfer dari kerangka teori Barat kontemporer yang sudah mapan, teori tersebut dilegalisasi dan dijustifikasi dengan nash, hingga bernuansa islami.[15]
Kelebihan dari metode pragmatis ini adalah sifatnya yang responsif, akomodatif dan toleran terhadap perkembangan psikologi serta sangat efektif dan efesien untuk membangun disiplin baru dalam Psikologi Islam. Sedang kekurangannya terletak pada kekhawatiran terseretnya Psikologi Islam kepada frame Barat sekuler yang bertentangan dengan kode etik ilmiah-Qurani. Hal ini beralasan, karena perbedaan paradigma dan proses penyeleksian yang kurang ketat dapat membawa Psikologi Islam bercorak sekuler.
Kekhawatiran ini diungkapkan oleh Malik B. Badri dalam bukunya The Dilemma of Muslim Psychologits. Menurutnya ketidakselektifan psikolog muslim dapat menyebabkan mereka mengikuti cara hidup dan cara pandang mereka (Yahudi dan Kristen), meskipun cara itu berkualitas rendah dan tidak islami.[16] Rasulullah dalam Hadis beliau bahkan meramalkan: …”bahkan jika mereka masuk ke dalam lobang biawak pun , orang Islam tanpa pikir panjang akan mengikutinya.”[17]
Barangkali contoh kasus dalam masalah ini dapat dikemukakan apa yang dilakukan oleh Dawam Rahardjo yang cenderung menyamakan istilah super ego dengan al-nafs al-muthmainnah, ego dengan al-nafs al-lawwamah dan id dengan al-nafs al-ammarah.[18] Menurut penulis, masing-masing terma sebenarnya tidak bisa disamakan, karena masing-masing terma itu memiliki asumsi filosofis yang berbeda. Konsep al-nafs diasumsikan dari paradigma teosentris, sedang id, ego dan super ego diasumsi dari paradigma antroposentris yang menafikan makna keberagamaan dalam hidup manusia. Cara ini dapat mengakibatkan biasnya sains dan direduksinya agama ke taraf sains.
Langkah-langkah operasional dalam metode pragmatis adalah:
(1) Penguasaan disiplin ilmu modern dan penguraian kategori.
(2) Survai disiplin ilmu pengetahuan.
(3) Penguasaan khazanah Islam tahap analisis.
(4) Penemuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan.
(5) Penilaian kritis terhadap ilmu pengetahuan modern.
(6) Penilaian kritis terhadap khazanah Islam di masa kini.
(7) Survai pengetahuan yang dihadapi umat Islam.
(8) Survai pengetahuan yang dihadapi umat manusia.
(9) Analisis, kreatif dan sintesis.
(10) Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam.
(11) Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasi. [19]
b) Metode Idealistik
Metode idealistik adalah metode yang lebih mengutamakan penggalian Psikologi Islam dari ajaran Islam. Metode ini menggunakan pola deduktif dengan cara menggali premis mayor sebagai postulasi yang digali dari nash dan dijadikan sebagai “kebenaran universal” untuk menggali premis minornya.
Menurut Sardar, ada sembilan konstruksi kerangka epistemologis di dalam menerapkan metode idealistik, yaitu:
(1) Didasarkan pada kerangka pedoman mutlak dari Allah dan Rasul-Nya.
(2) Bersifat aktif.
(3) Memandang objektivitas sebagai masalah umum.
(4) Sebagian besar bersifat deduktif.
(5) Memadukan pengetahuan dengan nilai Islam.
(6) Mengakui pengetahuan bersifat inklusif, termasuk pengalaman pribadi.
(7) Menyusun dan mendorong pencarian pengalaman subjektif.
(8) Memadukan konsep dari tingkat kesadaran dengan tingkat pengalaman subjektif.
(9) Tidak bertentangan dengan pandangan holistik, sehingga epistemologi Islam sesuai dengan pengalaman pribadi dan pertumbuhan intelektual.[20]
Selain itu, Bastaman juga menawarkan rumusan tujuh prinsip berpikir ilmiah-Qurani, yaitu:
(1) Empiris-metaempiris.
(2) Rasional-intuitif.
(3) Objektif-partisipatif.
(4) Absolutisme moral yang berpijak pada keunikan sistem.
(5) Eksplisit mengungkap kemampuan spritual.
(6) Aksioma dari ajaran agama.
(7) Pendekatan holistik menurut model manusia seutuhnya, baru mengadakan parsialisasi ke bidang disiplin. [21]
Kedua kerangka di atas memberikan tantangan kepada para peneliti, pengkaji dan pemerhati Psikologi Islam untuk menggali khazanah yang dimilikinya. Dengan begitu Psikologi Islam dalam membicarakan jiwa manusia sarat nilai. Ia tidak hanya berbicara apa adanya, juga bagaimana seharusnya.
2) Metode Ilmu Tafsir dan Ushul Fiqh
Menurut Elmira N. Sumintardja, objek formal dari Psikologi Islam adalah konsep manusia berdasarkan al-Quran dan Hadis yang pemahaman interpretatifnya hanya dapat diperoleh dengan metode Ilmu Tafsir dan Ushul Fiqh. Pertimbangan yang diambil adalah bahwa manusia dapat menggunakan akal untuk proses pemahamannya. Kebenaran substansi dapat dicapai bila manusia meyakini bahwa ilmu diberikan Allah kepadanya (naqliyah) dan pengetahuan yang digali melalui akal sehatnya (aqliyah).[22]

a) Metode Ilmu Tafsir
Pendekatan dalam Ilmu Tafsir dapat dilakukan untuk mengkaji masalah kejiwaan manusia. Misalnya, Tafsir Maudhu’i/metode tematis berdasarkan tema tertentu dari Al-Quran . Untuk mengkaji konsep-konsep penting yang berhubungan dengan Psikologi Islam seperti insan, basyar, nas, Bani Adam, fithrah, ruh, nafs, akal, qalb dan lain-lain metode itu sungguh tepat. Caranya ayat al-Quran atau Hadis yang terkait dikumpulkan. Hasil inventarisasi dicarikan kaitannya agar masing-masing dapat menjelas-kan, lalu disistematisasi menurut disiplin psikologis, hingga didapatkan konklusi yang bernuansa psikologis pula.
Keunggulan cara ini adalah selain dapat menampilkan nash secara integral dan komprehensif juga dapat menghindari intervensi pemikiran manusia yang berlebihan. Sedang kelemahannya adalah bahwa masing-masimg ayat atau hadis dilatar belakangi oleh konteks dan kondisi yang berbeda.
Tafsir Tahlili/Tafsir bil Ma’tsur (analisis) yang menafsirkan ayat dengan ayat, riwayat nabi, sahabat dan tabi’in. Dengan metode ini dapat diketahui peristiwa yang terjadi di seputar turunnya wahyu al-Quran dan bagaimana situasi sosial-psikologis Rasul dan para sahabat sewaktu turunnya ayat itu.
Kelebihan prosedur ini adalah pengkaji dapat memilih ayat atau Hadis tertentu yang dianggap representatif saja, sehingga dapat mengkaji secara mendalam.[23] Kelemahannya bisa terjadi bila pengkaji terlalu jauh dalam analisisnya sehingga keluar dari konteks yang sesungguhnya.
Tafsir Maqarin prosedur perbandingan yaitu memperbandingkan antara ayat satu dengan ayat lain, ayat dengan Hadis, Hadis dengan ayat dan ayat dengan hadis. Pendapat ulama salaf atau ulama khalaf. Dari sini dapat diketahui adanya ayat yang terminologinya sama tetapi konteksnya berbeda.[24] Misalnya kata nafs dalam QS. Ali Imran ayat 185 tentang setiap nafs yang tenang.
Tafsir Ijmali/prosedur global mengemukakan penjelasan mengenai ayat-ayat atau Hadis yang berkaitan dengan psikologis secara global. Penjelasannya ringkas, bahasa popular dan mudah dimengerti. Prosedur terakhir ini jarang digunakan karena terwakili oleh ketiga prosedur tadi.
b) Metode Ushul Fiqh
Sementara itu metode Ushul Fiqh juga dapat digunakan. Metode ini berfungsi untuk merumuskan kaidah keilmuan dari dalil-dalil al-Quran dan Hadis dengan menggunakan penalaran akal yang logis dan rasional. Akal adalah sesuatu yang abstrak dan merupakan aktivitas hati. Kalbu adalah pusat awal kegiatan akal, karena itulah setiap perilaku manusia dihubungkan dengan niat sebagai kehendak yang kuat dan motif yang berasal dari hati. Para sufi yang menekankan pengendalian hati sebagai pemicu setiap perbuatan manusia memusatkan pembinaan akhlak melalui pintu hati ini. Prinsip inilah yang digunakan para pakar hukum Islam untuk mengukur keabsahan sesuatu tingkah laku secara hukum.[25]
c. Metode ilmiah dalam Psikologi Islam
Secara operasional, metode ilmiah dalam Psikologi Islam terdiri dari metode deskriptif dan metode eksperimental.
1) Metoda deskriptif
Metode deskriptif yang digunakan dalam metode ilmiah adalah observasi dan riset korelasi. Pada tingkat intervensi pengamat, terdapat dua observasi. Pertama, obsevasi tanpa intervensi. Kedua, observasi dengan intervensi.
Observasi tanpa intervensi mirip dengan telaah naturalistik, di mana pengamat lebih berperan sebagai pencatat pasif tentang rentetan peristiwa yang terjadi. Observasi dengan intervensi adalah: pertama, observasi partisipan di mana pengamat turut aktif berperan dalam situasi tingkah laku yang diamati, kedua, observasi terstruktur di mana pengamat mengadakan intervensi dengan maksud untuk melihat rentetan peristiwa yang terjadi kemudian, setelah ada intervensi, eksprerimen lapangan, di mana pengamat memanipulasi satu atau beberapa variabel dalam setting natural pada tingkah laku.
Adapun observasi dengan intervensi memungkinkan pembauran dengan nuansa alamiah dengan suatu intervensi dalam upaya menguji suatu teori. Adapun riset korelasi digunakan bila peneliti bertujuan mengidenti-fikasi hubungan prediktif melalui ukuran kovarian di antara berbagai variabel.
Metode eksperimental adalah metode ilmiah yang digunakan untuk melihat sebab akibat dengan prosedur kerja yang berhubungan dengan variabel independen dan variabel dependen. Metode observasi dan eksperimen pernah dilakukan oleh Malik B. Badri ketika melakukan studi banding antara proses tafakur dengan hukum-hukum alam dalam buku beliau Tafakur Perspektif Psikologi Islam.
Pada dasarnya, metode-metode yang ditawar-kan oleh para ahli di atas, tidak lepas dari pendekatan-pendekatan yang pernah dilakukan oleh para pemikir Islam di dalam mengkaji ilmu-ilmu keislaman, termasuk ilmu-ilmu tentang kejiwaan. Secara historis metode-metode yang ditawarkan memiliki dasar yang kuat, baik secara konseptual maupun operasional.

C. Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua masalah pokok dalam membahas Metodologi Psikologi Islam, yaitu masalah yang bersifat konseptual dan operasional. Secara konseptual, Psikologi Islam bertolak dari aksiologi yang didasarkan kepada al-Quran, epistemologi yang menyangkut perumusan dan pengembangan Psikologi Islam dan ontologi yang menetapkan substansi yang ingin dicapai.
Secara operasional, metodologi Psikologi Islam berbicara lebih lanjut tentang apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Dengan cara membicarakan metode penelitian baik melalui pengkajian leteral maupun lapangan.
Sebagai ilmu yang sarat nilai, Psikologi Islam yang terintegrasi dengan pola pendekatan disiplin ilmu keislaman lainnya, jelas memiliki kekhasan tersendiri secara paradigma maupun epistemologinya. Ketidaksamaannya dengan metodologi ilmiah secara umum tidaklah mengurangi keilmiahannya, jika kita mencoba mengkritisinya dengan berpedoman kepada paradigma dan epistemologi sendiri.

Daftar Pustaka

Ancok, Djamaluddin dan Fuad Nashori Suroso. Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikologi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995.

Badri, Malik B. The Dilemma of MuslimPsychologist, terj. Siti Zainab Luxfiati dengan judul: Dilema Psikologi Muslim, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1996.
Bastaman, Hanna Djumhana. Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta, Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996.

Faruqi, Ismail Raji, al-. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Wahyuni, Bandung, Pustaka, 1984.

James, William. The Varieties of Relegious Exprence, New York, Collier Books, 1974.

Muhaimin dan Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung, Trigenda Karya, 1993.

Muslim, Abu Husein Muslim ibn al-Hajjaj ibn. Shahih Muslim, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.

Nashori, Fuad. Psikologi Islam, Agenda Menuju Aksi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1997.

Nawawi, Rif’at Syauqi et. al. Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000.

Rahardjo, Dawam. Ensiklopedia Al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta, Paramadina, 1996.

Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Agama Sebuah Pengantar, Bandung, Mizan, 2003.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Quran dengan Metode Maudhu’i Dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Quran, Jakarta, Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran, 1983.

Syukur, M. Amin Abdullah dan Masyharuddin. Intelektualisme Tasawuf, Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, PT. Wihani Corporation, 1990/1991.
*Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin, menyelesaikan Program Pascasarjana IAIN Antasari tahun 2004.
[1]Malik B. Badri, The Dilemma of MuslimPsychologist, terj. Siti Zainab Luxfiati Dilema Psikologi Muslim,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 1. Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashorri Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 70-75. Lihat juga Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan, 2003), h. 163-174. Adapun psikologi umum yang dimaksud adalah psikologi Barat kontemporer, seperti aliran Psikoanalisis yang dipelopori Sigmund Freud, yang mencitrakan manusia buruk hakikat manusia. Psikologi Behavioristik yang dipelopori J.B. Watson yang mencitrakan manusia netral. Sedang Psikologi Humanistik yang dipelopori Abraham Maslow memandang manusia mempunyai otoritas mutlak atas kehidupannya.
[2]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996), h. 28.
[3]Rif’at Syauqi Nawawi, et.al., Metodologi Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 120.
[4]Hanna Djumhana Bastaman, op. cit., h 9. Adapun salah satu persyaratan sains adalah memiliki cara yang lazim disebut metode yang berfungsi untuk menemukan rahasia sunnatullah yang bekerja dalam dirinya, sekaligus berfungsi untuk mengukuhkan objektivitasnya.
[5]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al.,. op. cit., h. 105.
[6]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Wihani Corporation, 1990/1991), h. 279.
[7]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al, op. cit., h. 106-107.
[8]Ibid., h 110.
[9]M. Amin Abdullah Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 170-209.
[10]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al.,. op. cit., h. 111.
[11]Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakir, op. cit., h. 15.
[12]William James, The Varieties of Relegious Exprence, (New York: Collier Books, 1974), p. 22.
[13]Hanna Djumhana Bastaman, op. cit., h. 10.
[14]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al., op. cit., h. 111.
[15]Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 6.
[16]Malik B. Badri, loc. cit.
[17]Abu Husein Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 219.
[18]Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Quran,: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 265.
[19]Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Wahyuni, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 99-115.
[20]Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakir, op. cit., h. 20-21.
[21]Hanna Djumhana Bastaman, op. cit., h. 21.
[22]Rif’at Syauqi Nawawi, et. al, .op. cit., h. 138-139.
[23]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Quran dengan Metode Maudhu’i Dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Quran, (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran, 1983), h. 23.
[24]Ibid., h 38.
[25]Fuad Nashori, Psikologi Islam, Agenda Menuju Aksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 150-151.

Tksh Ibu Siti Faridah untuk tulisan ini

Hasyim Asy'ari

K.H.MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI

Riwayat Hidup dan Pemikirannya dalam Bidang Pendidikan

Abstrak
Sosok ulama yang satu ini sudah begitu akrab di telinga umat Islam Indonesia khususnya, karena beliau merupakan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Akan tetapi ketokohan dan keharuman nama beliau bukan hanya karena aktivitas dakwah beliau sebagai pendiri NU, melainkan juga karena beliau termasuk pemikir dan pembaharu Pendidikan Islam. Dilahirkan dari keluarga elit kiai di Jombang, K.H.M.Hasyim Asy’ari pernah belajar di berbagai pesantren di Jawa sebelum melanjutkan pendidikan ke tanah Hijaz. Kemudian kembali ke Indonesia dan mendirikan pesantren Tebuireng Jombang yang terkenal dengan ilmu haditsnya. Kedalaman ilmu, dan pemikirannya dalam pendidikan sangat brilian, sampai-sampai para kiai di Jawa memberinya gelar “Hadratus Syekh” yang berarti “Tuan Guru Besar”.

Kata kunci: K. H. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh NU, pemikirannya, bidang pendidikan.

A. Pendahuluan
Sejak pertengahan abad ke-19, telah banyak para kawula muda Indonesia yang belajar di Mekkah dan Madinah, untuk menekuni agama Islam. Di pusat-pusat studi di Timur Tengah, terutama di Mekkah, banyak bertebaran berbagai literatur ke-Islaman. Realitas ini amat memungkinkan bagi mereka yang belajar di sana, untuk mencapai tingkat pengetahuan yang lebih luas serta pandangan yang lebih terbuka mengenai sosok Islam.
Di antara mereka yang berhasil gemilang di dalam mengkaji Islam adalah Syekh Nawawi al Bantani dari Banten Jawa Barat, Syekh Mahfudz Attarmisi dari Pacitan Jawa Timur, serta Syekh Ahmad Chatib Sambas dari Kalimantan. Kesuksesan mereka ini ditandai dengan kedalaman ilmu yang mereka miliki, yang bukan saja diakui oleh masyarakat Tanah Suci Mekkah melainkan juga diakui oleh masyarakat Arab pada umumnya.[1]
Generasi berikutnya yang juga merupakan murid langsung dari mereka itu antara lain. Muhammad Hasyim Asy’ari. Hasyim Asy’ari yang haus akan ilmu pengetahuan, belajar dari pesantren ke pesantren di daerah Jawa, dan terus belajar ke Mekkah kurang lebih 7 tahun. Zamakhsyari Dhofier melukiskan pribadi Hasyim Asy’ari sebagai seorang yang memiliki kedalaman ilmu secara luar biasa, sehingga para kiai di Jawa lebih suka menyebutnya Hadratus Syekh yang berarti “Tuan Guru Besar” melalui tangan Hadratus Syekh inilah lahir ulama-ulama terkemuka di Jawa yang nyaris seluruhnya menjadi pendiri dan pengasuh pesantren di daerahnya masing-masing.
Hasyim Asy’ari adalah seorang kiai yang pemikiran dan sepak terjangnya berpengaruh dari Aceh sampai Maluku, bahkan sampai ke Melayu. Santri-santri ada yang dari Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan Aceh, bahkan ada beberapa orang dari Kuala Lumpur. Beliau terkenal orang yang alim dan adil, selalu mencari kebenaran, baik kebenaran dunia maupun kebenaran akhirat. Semasa hidupnya beliau diberi kedudukan sebagai Rais Akbar NU, suatu jabatan yang hanya diberikan kepada Hasyim Asy’ari satu-satunya. Bagi ulama lain yang menjabat jabatan tersebut, tidak lagi menyandang sebutan Rais Akbar melainkan Rais Am. Hal ini karena ulama lain yang menggantikannya merasa lebih rendah dibandingkan Hasyim Asy’ari.[2]
Pemikiran Hasyim Asy’ari dalam bidang Pendidikan lebih banyak ditinjau dari segi etika dalam pendidikan. Etika dalam pendidikan banyak diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin pada Bagian adab kesopanan pelajar dan pengajar. Dalam dunia pendidikan sekarang, banyak disinggung dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan. dan para ahli psikologi pendidikan, menyinggungnya dalam kepribadian yang efektif bagi pelajar dan mengajar.
Di antara adab pelajar menurut Al-Ghazali adalah: mendahulukan kesucian batin dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela, jangan menyombongkan diri dan jangan menentang guru, memulai belajar dalam bidang ilmu yang lebih penting, dan menghiasi diri dengan sifat-sifat utama. Sedangkan di antara adab seorang pengajar adalah: memulai pelajaran dengan basmalah, mempunyai rasa belas-kasihan kepada murid-murid dan memperlakukannya sebagai anak sendiri, mengikuti jejak Rasul, mengajar bukan untuk mencari upah tetapi semata-mata karena ibadah pada Allah, mengamalkan sepanjang ilmunya, jangan perkataannya membohongi perbuatannya.[3]
Pemikiran Hasyim Asy’ari sendiri dalam hal ini boleh jadi diwarnai dengan keahliannya dalam bidang hadits, dan pemikirannya dalam bidang tasawuf dan fiqh. Serta didorong pula oleh situasi pendidikan yang ada pada saat itu, yang mulai mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama (tradisonal) yang sudah mapan ke dalam bentuk baru (modern) akibat pengaruh sistem pendidikan Barat (Imperialis Belanda) yang diterapkan di Indonesia.

B. Riwayat Hidup K.H.Muhammad Hasyim Asy’ari

Hasyim Asy’ari lahir di desa Nggedang sekitar dua kilometer sebelah Timur Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pada hari Selasa kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah 1287 atau bertepatan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim ibn Asy’ari ibn Abd. Al Wahid ibn Abd. Al Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd. Al Rahman Ibn Abd. Al Aziz Abd. Al Fatah ibn Maulana Ushak dari Raden Ain al Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri.[4] Dipercaya pula bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tinggir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi Hasyim Asy’ari juga dipercaya keturunan dari keluarga bangsawan.[5]
Ibunya, Halimah adalah putri dari kiai Ustman, guru Asy’ari sewaktu mondok di pesantren. Jadi, ayah Hasyim adalah santri pandai yang mondok di kiai Ustman, hingga akhirnya karena kepandaian dan akhlak luhur yang dimiliki, ia diambil menjadi menantu dan dinikahkan dengan Halimah. Sementara kiai Ustman sendiri adalah kiai terkenal dan juga pendiri pesantren Gedang yang didirikannya pada akhir abad ke-19. Hasyim Asy’ari adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu Nafiah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan.
Dari lingkungan pesantren inilah Hasyim Asy’ari mendapat didikan awal tentang berbagai hal yang berkaitan dengan ke-Islaman. Hingga usia lima tahun, Hasyim mendapat tempaan dan asuhan orangtua dan kakeknya di pesantren Gedang. Mula-mula ia belajar pada ayahnya sendiri, lalu bergabung bersama santri lain untuk memperdalam ilmu agama dan pesantren itu para santri mengamalkan ajaran agama dan belajar berbagai cabang ilmu agama Islam.
Suasana ini tidak diragukan lagi mempengaruhi karakter Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar. Minat bacanya sangat tinggi, hingga yang dibaca bukan hanya buku-buku pelajaran dengan literatur-leteratur Islam, tetapi juga buku-buku lain dan umum.
Pada tahun 1876, ketika Hasyim Asy’ari berumur 6 tahun, ayahnya mendirikan pesantren di sebelah Selatan Jombang, suatu pengalaman yang di masa mendatang mempengaruhi beliau untuk kemudian mendirikan pesantren sendiri. Dari sini dapat dilihat bahwa kehidupan masa kecilnya di lingkungan pesantren berperan besar dalam pembentukan wataknya yang haus ilmu pengetahuan dan kepeduliannya pada pelaksanaan ajaran-ajaran agama dengan baik.
Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya.[6] Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri. Serta di kemudian hari kita saksikan sepak terjang dan perjuangannya di berbagai bidang.
Pada usia muda Hasyim Asy’ari mulai melakukan pengembaraan ke berbagai pesantren di luar daerah Jombang. Pada awalnya, ia menjadi santri di pesantren Wonokojo di Probolinggo, kemudian berpindah ke pesantren Langitan, Tuban. Dari Langitan santri yang cerdas tersebut berpindah lagi ke pesantren Trenggilis, hingga pesantren Kademangan Bangkalan, di Madura sebuah pesantren yang diasuh kyai Khalil. Terakhir sebelum belajar ke Mekkah, ia sempat nyantri dan tinggal lama di pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, di bawah asuhan kiai Ya’qub, sampai akhirnya diambil menantu oleh kiai Ya’qub, dinikahkan dengan anaknya yang bernama Khadijah tahun 1892.
Tidak berapa lama kemudian ia beserta isteri dan mertuanya berangkat haji ke Mekkah yang dilanjutkan dengan belajar di sana. Modal pengetahuan agama selama nyantri di tanah air memudahkan Hasyim memahami pelajaran selama di Mekkah. Akan tetapi setelah isterinya meninggal karena melahirkan, menyebabkannya kembali ke tanah air.
Rasa haus yang tinggi akan ilmu pengetahuan membawa Hasyim Asy’ari berangkat lagi ke tanah suci Mekkah tahun berikutnya. Kali ini ia ditemani saudaranya Anis. Dan ia menetap di sana kurang lebih tujuh tahun dan berguru pada sejumlah ulama, di antaranya Syaikh Ahmad Amin al Aththar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Abdullah al Zawawi, Syaikh Shaleh Bafadhal dan Syaikh Sultan Hasyim Dagastani.[7]
Minatnya begitu tinggi terhadap ilmu pengetahuan, terutama ilmu hadits dan tasawuf. Hal ini yang membuat Hasyim di kemudian hari senang mengajarkan hadits dan tasawuf. Pada masa-masa akhir di Mekkah beliau sempat memberikan pengajaran kepada orang lain yang memerlukan bimbingannya, dan ini yang menjadi bekal tersendri yang kemudian hari diteruskan setelah kembali ke tanah air.
Pada tahun 1899/1900 ia kembali ke Indonesia dan mengajar di pesantren ayahnya dan kakeknya, hingga berlangsung beberapa waktu. Masa berikutnya Hasyim menikah lagi dengan putri kiai Ramli dari Kemuning (Kediri) yang bernama Nafiah, setelah sekian lama menduda. Mulai itu beliau diminta membantu mengajar di pesantren mertuanya di Kemuning, baru kemudian mendirikan pesantren sendiri di daerah sekitar Cukir, pesantren Tebuireng di Jombang, pada tanggal 6 Pebruari 1906. Pesantren yang baru didirikan tersebut tidak berapa lama berkembang menjadi pesantren yang terkenal di Nusantara, dan menjadi tempat menggodok kader-kader ulama wilayah Jawa dan sekitarnya.
Sejak masih di pondok, ia telah dipercaya untuk membimbing dan mengajar santri baru. Ketika di Mekkah, ia juga sempat mengajar. Demikian pula ketika kembali ke tanah air, diabdikannya seluruh hidupnya untuk agama dan ilmu. Kehidupannya banyak tersita untuk para santrinya. Ia terkenal dengan disiplin waktu (istiqamah).
Tidak banyak para ulama dari kalangan tradisional yang menulis buku. Akan tetapi tidak demikian dengan Hasyim Asy’ari, tidak kurang dari sepuluh kitab disusunnya, antara lain:
1. Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih.
2. Ziyadat Ta’liqat, Radda fiha Mandhumat al Syaikh “Abd Allah bin Yasin al Fasurani Allati Bihujubiha “ala Ahl Jam’iyyah Nahdhatul Ulama.
3. Al Tanbihat al Wajibat liman Yashna al Maulid al Munkarat
4. Al Risalat al Jamiat, Sharh fiha Ahmaal al Mauta wa Asirath al sa’at ma’bayan Mafhum al Sunnah wa al Bih’ah.
5. Al Nur al Mubin fi Mahabbah Sayyid al Mursalin, bain fihi Ma’na al Mahabbah Libasul Allah wa ma Yata’allaq biha Man Ittiba’iha wa Ihya al Sunnahih.
6. Hasyiyah ‘ala Fath al Rahman bi Syarth Risalat al Wali Ruslan li Syaikh al Islam Zakaria al Ansyari.
7. Al Duur al Muntasirah fi Masail al Tiss’I Asyrat, Sharth fiha Masalat al Thariqah wa al Wilayah wa ma Yata’allq bihima min al Umur al Muhimmah li ahl thariqah.
8. Al Ribyan fi al Nahy ‘an Muqathi’ah al Ihwan, bain fih Ahammiyat Shillat al Rahim wa Dhurrar qatha’iha.
9. Al Risalah al Tauhidiyah, wahiya Risalah Shaghirat fi Bayan ‘Aqidah Ahl Sunnah wa al Jamaah.
10. Al Walaid fi Bayan ma Yajib min al’Aqaid.
Di samping bergerak dalam dunia pendidikan, Hasyim Asy’ari menjadi perintis dan pendiri organisasi kemasyarakatan NU (Nahdhatul Ulama), sekaligus sebagai Rais Akbar. Pada bagian lain, ia juga bersikap konfrontatif terhadap penjajah Belanda. Ia, misalnya menolak menerima penghargaan dari pemerintah Belanda. Bahkan pada saat revolusi fisik, ia menyerukan jihad melawan penjajah dan menolak bekerja sama dengannya. Sementara pada masa penjajahan Jepang, ia sempat ditahan dan diasingkan ke Mojokerta.[8]
Hasyim Asy’ari meninggal pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan dengan 25 Juli 1947 M di Tebuireng Jombang dalam usia 79 tahun, karena tekanan darah tinggi. Hal ini terjadi setelah beliau mendengar berita dari Jenderal Sudirman dan Bung Tomo bahwa pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Spoor telah kembali ke Indonesia dan menang dalam pertempuran di Singosari (Malang) dengan meminta banyak korban dari rakyat biasa. Beliau sangat terkejut dengan peristiwa itu, sehingga terkena serangan stroke yang menyebabkan kematiannya.[9]

C. Pemikiran Hasyim Asy’ari Dalam Bidang Pendidikan

Hasyim Asy’ari yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, serta banyak menuntut ilmu dan berkecimpung secara langsung di dalamnya, di lingkungan pendidikan agama Islam khususnya. Dan semua yang dialami dan dirasakan beliau selama itu menjadi pengalaman dan mempengaruhi pola pikir dan pandangannya dalam masalah-masalah pendidikan.
Salah satu karya monumental Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitabnya yang berjudul Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wama Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih, namun dalam penulisan ini kami tidak menemukakan kitab aslinya dan akhirnya banyak mengambil dari tulisan Samsul Nizar dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, dan buku-buku yang lain sebagai penunjang.
Pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih beliau tekankan pada masalah etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Di antara pemikiran beliau dalam masalah pendidikan adalah:
a. Signifikansi Pendidikan
Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.
Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan.[10]
Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.
b. Tugas dan Tanggung Jawab Murid
1) Etika yang harus diperhatikan dalam belajar
- Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniaan
- Membersihkan niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar dan qanaah
- Pandai mengatur waktu
- Menyederhanakan makan dan minum
- Berhati-hati (wara’)
- Menghindari kemalasan
- Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan
- Meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.[11]
Dalam hal ini terlihat, bahwa Hasyim Asy’ari lebih menekankan kepada pendidikan ruhani atau pendidikan jiwa, meski demikian pendidikan jasmani tetap diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur makan, minum, tidur dan sebagainya. Makan dan minum tidak perlu terlalu banyak dan sederhana, seperti anjuran Rasulullah Muhammad saw. Serta jangan banyak tidur, dan jangan suka bermalas-malasan. Banyakkan waktu untuk belajar dan menuntut ilmu pengetahuan, isi hari-hari dan waktu yang ada dengan hal-hal yang bermanfaat.
2) Etika seorang murid terhadap guru
- Hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan guru
- Memilih guru yang wara’
- Mengikuti jejak guru
- Memuliakan dan memperhatikan hak guru
- Bersabar terdapat kekerasan guru
- Berkunjung pada guru pada tempatnya dan minta izin lebih dulu
- Duduk dengan rapi bila berhadapan dengan guru
- Berbicara dengan sopan dan lembut dengan guru
- Dengarkan segala fatwa guru dan jangan menyela pembicaraannya
- Gunakan anggota kanan bila menyerahkan sesuatu pada guru.[12]
Etika seperti tersebut di atas, masih banyak dijumpai pada pendidikan pesantren sekarang ini, akan tetapi etika seperti itu sangat langka di tengah budaya kosmopolit. Di tengah-tengah pergaulan sekarang, guru dipandang sebagai teman biasa oleh murid-murid, dan tidak malu-malu mereka berbicara lebih nyaring dari gurunya. Terlihat pula pemikiran yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari lebih maju. Hal ini, misalnya terlihat dalam memilih guru hendaknya yang profesional, memperhatikan hak-hak guru, dan sebagainya.
3) Etika murid terhadap pelajaran
- Memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain
- Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama
- Mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar pada orang yang dipercaya
- Senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu
- Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya ditanyakan
- Pancangkan cita-cita yang tinggi
- Kemanapun pergi dan dimanapun berada jangan lupa membawa catatan
- Pelajari pelajaran yang telah dipelajari dengan continue (istiqamah)
- Tanamkan rasa antusias dalam belajar.[13]
Penjelasan tersebut di atas seakan memperlihatkan akan sistem pendidikan di pesantren yang selama ini terlihat kolot, hanya terjadi komunikasi satu arah, guru satu-satunya sumber pengajaran, dan murid hanya sebagai obyek yang hanya berhak duduk, dengar, catat dan hafal (DDCH) apa yang dikatakan guru. Namun pemikiran yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari lebih terbuka, inovatif dan progresif. Beliau memberikan kesempatan para santri untuk mengambil dan mengikuti pendapat para ulama, tapi harus hati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama.
Hal tersebut senada dengan pemikiran beliau tentang masalah fiqh, beliau meminta umat Islam untuk berhati-hati pada mereka yang mengklaim mampu menjalankan ijtihad, yaitu kaum modernis, yang mengemukakan pendapat mereka tanpa memiliki persayaratan yang cukup untuk berijtihad itu hanya berdasarkan pertimbangan pikiran semata. Beliau percaya taqlid itu diperbolehkan bagi sebagian umat Islam, dan tidak boleh hanya ditujukan pada mereka yang mampu melakukan ijtihad.[14]
c. Tugas Dan Tanggung Jawab Guru
1) Etika seorang guru
- Senantiasa mendekatkan diri pada Allah
- Takut pada Allah, tawadhu’, zuhud dan khusu’
- Bersikap tenang dan senantiasa berhati-hati
- Mengadukan segala persoalan pada Allah
- Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih dunia
- Tidak selalu memanjakan anak
- Menghindari tempat-tempat yang kotor dan maksiat
- Mengamalkan sunnah Nabi
- Mengistiqamahkan membaca al- Qur’an
- Bersikap ramah, ceria dan suka menabur salam
- Menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu
- Membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.[15]
Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika atau statement yang terakhir, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau.
Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis.
2) Etika guru dalam mengajar
- Jangan mengajarkan hal-hal yang syubhat
- Mensucikan diri, berpakaian sopan dan memakai wewangian
- Berniat beribadah ketika mengajar, dan memulainya dengan do’a
- Biasakan membaca untuk menambah ilmu
- Menjauhkan diri dari bersenda gurau dan banyak tertawa
- Jangan sekali-kali mengajar dalam keadaan lapar, mengantuk atau marah
- Usahakan tampilan ramah, lemah lembut, dan tidak sombong
- Mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuai dengan profesional yang dimiliki
- Menasihati dan menegur dengan baik jika anak didik bandel
- Bersikap terbuka terhadap berbagai persoalan yang ditemukan
- Memberikan kesempatan pada anak didik yang datangnya terlambat dan ulangilah penjelasannya agar tahu apa yang dimaksudkan
- Beri anak kesempatan bertanya terhadap hal-hal yang belum dipahaminya.[16]
Terlihat bahwa apa yang ditawarkan Hasyim Asy’ari lebih bersifat pragmatis, artinya, apa yang ditawarkan beliau berangkat dari praktik yang selama ini dialaminya. Inilah yang memberikan nilai tambah dalam konsep yang dikemukakan oleh Bapak santri ini.
Terlihat juga betapa beliau sangat memperhatikan sifat dan sikap serta penampilan seorang guru. Berpenampilan yang terpuji, bukan saja dengan keramahantamahan, tetapi juga dengan berpakaian yang rapi dan memakai minyak wangi.
Agaknya pemikiran Hasyim Asy’ari juga sangat maju dibandingkan zamannya, ia menawarkan agar guru bersikap terbuka, dan memandang murid sebagai subyek pengajaran bukan hanya sebagai obyek, dengan memberi kesempatan kepada murid-murid bertanya dan menyampaikan berbagai persoalan di hadapan guru.
3) Etika guru bersama murid
- Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu
- Menghindari ketidak ikhlasan
- Mempergunakan metode yang mudah dipahami anak
- Memperhatikan kemampuan anak didik
- Tidak memunculkan salah satu peserta didik dan menafikan yang lain
- Bersikap terbuka, lapang dada, arif dan tawadhu’
- Membantu memecahkan masalah-masalah anak didik
- Bila ada anak yang berhalangan hendaknya mencari ihwalnya.[17]
Kalau sebelumnya terlihat warna tasawufnya, khususnya ketika membahas tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendidik. Namun kali ini gagasan-gagasan yang dilontarkan beliau berkaitan dengan etika guru bersama murid menunjukkan keprofesionalnya dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari rangkuman gagasan yang dilontarkannya tentang kompetensi seorang pendidik, yang utamanya kompetensi profesional.
Hasyim Asy’ari sangat menganjurkan agar seorang pendidik atau guru perlu memiliki kemampuan dalam mengembangkan metode dan memberi motivasi serta latihan-latihan yang bersifat membantu murid-muridnya memahami pelajaran. Selain itu, guru juga harus memahami murid-muridnya secara psikologi, mampu memahami muridnya secara individual dan memecahkan persoalan yang dihadapi murid, mengarahkan murid pada minat yang lebih dicendrungi, serta guru harus bersikap arif.
Jelas pada saat Hasyim Asy’ari melontarkan pemikiran ini, ilmu pendidikan maupun ilmu psikologi pendidikan yang sekarang beredar dan dikaji secara luas belum tersebar, apalagi di kalangan pesantren. Sehingga ke-genuin-an pemikiran beliau patut untuk dikembangkan selaras dengan kemajuan dunia pendidikan.
d. Etika Terhadap Buku, Alat Pelajaran dan Hal-hal Lain Yang Berkaitan Dengannya
Satu hal yang menarik dan terlihat beda dengan materi-materi yang biasa disampaikan dalam ilmu pendidikan umumnya, adalah etika terhadap buku dan alat-alat pendidikan. Kalaupun ada etika untuk itu, namun biasanya hanya bersifat kasuistik dan seringkali tidak tertulis, dan seringkali juga hanya dianggap sebagai aturan yang umum berlaku dan cukup diketahui oleh masing-masing individu. Akan tetapi bagi Hasyim Asy’ari memandang bahwa etika tersebut penting dan perlu diperhatikan.
Di antara etika tersebut adalah:
- Menganjurkan untuk mengusahakan agar memiliki buku
- Merelakan dan mengijinkan bila ada kawan meminjam buku pelajaran, sebaliknya bagi peminjam menjaga barang pinjamannya
- Memeriksa dahulu bila membeli dan meminjamnya
- Bila menyalin buku syari’ah hendaknya bersuci dan mengawalnya dengan basmalah, sedangkan bila ilmu retorika atau semacamnya, maka mulailah dengan hamdalah dan shalawat Nabi.[18]
Kembali tampak kejelian dan ketelitian beliau dalam melihat permasalahan dan seluk beluk proses belajar mengajar. Etika khusus yang diterapkan untuk mengawali suatu proses belajar adalah etika terhadap buku yang dijadikan sumber rujukan, apalagi kitab-kitab yang digunakan adalah kitab “kuning” yang mempunyai keistimewaan atau kelebihan tersendiri. Agaknya beliau memakai dasar epistemologis, ilmu adalah Nur Allah, maka bila hendak mempelajarinya orang harus beretika, bersih dan sucikan jiwa. Dengan demikian ilmu yang dipelajari diharapkan bermanfaat dan membawa berkah.
Pemikiran seperti yang dituangkan oleh Hasyim Asy’ari itu patut untuk menjadi perhatian pada masa sekarang ini, apakah itu kitab “kuning” atau tidak, misalnya kitab “kuning” yang sudah diterjemahkan, atau buku-buku sekarang yang dianggap sebagai barang biasa, kaprah dan ada di mana-mana. Namun untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat dalam belajar etika semacam di atas perlu diterapkan dan mendapat perhatian.
Demikian sebagian dari pemikiran mengenai pendidikan yang dikemukan oleh Hasyim Asy’ari. Kelihatannya pemikiran tentang pendidikan ini sejalan dengan apa yang sebelumnya telah dikemukakan oleh Imam Ghazali, misalnya saja, Hasyim Asy’ari mengemukakan bahwa tujuan utama pendidikan itu adalah mengamalkannya, dengan maksud agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Imam Ghazali juga mengemukakan bahwa pendidikan pada prosesnya haruslah mengacu kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani. Oleh karena itu tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah “tercapainya kemampuan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat“.[19]Dan senada pula dengan pendapat Ahmad D.Marimba bahwa, “pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[20]
Begitu juga pemikiran Hasyim Asy’ari mengenai niat orang orang yang menuntut ilmu dan yang mengajarkan ilmu, yaitu hendaknya meluruskan niatnya lebih dahulu, tidak meng-harapkan hal-hal duniawi semata, tapi harus niat ibadah untuk mencari ridha Allah. Demikian juga dengan al Ghazali yang berpendapat bahwa tujuan murid menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah dan mensucikan batinnya serta memperindah dengan sifat-sifat yang utama. Dan janganlah menjadikan ilmu sebagai alat untuk mengumpulkan harta kekayaan, atau untuk mendapatkan kelezatan hidup dan lain sebagainya. Akan tetapi tujuan utama adalah untuk kebahagiaan akhirat. Dan mengenai guru al-Ghazali lebih keras, bahwa guru mengajar tidak boleh digaji.[21]
Mengenai etika seorang murid yang dikemukakan Hasyim Asy’ari sejalan dengan pendapat al-Ghazali yang mengatakan “hendaknya murid mendahulukan kesucian batin dan kerendahan budi dari sifat-sifat tercela… seperti marah, hawa nafsu, dengki, busuk hati, takabur, ujub dan sebagainya”.[22]

D. Penutup

K.H.Muhammad Hasyim Asy’ari dilahirkan dari keturunan eliet kiai (pesantren) pada tanggal 24 Zulhijjah 1287H bertepatan 14 Pebruari 1871M, tepatnya sebelah Timur Jombang Jawa Timur. Suasana kehidupan pesantren sangat mem-pengaruhi pembentukan karakter Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar, belajar dari pesantren ke pesantren di Jawa sampai ke Tanah Hijaz.
Sebagai pendidik merupakan bagian yang yang terpisahkan dari perjalanan hidupnya sejak usia muda. Setelah mengajar keliling dari pesantren orangtua hingga mertua, pada tahun 1899 Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren sendiri, mewujudkan cita-citanya di daerah Tebuireng Jombang, Jawa Timur.
Pemikiran Hasyim Asy’ari dalam bidang pendidikan lebih menekankan pada masalah etika dalam pendidikan , meski tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Dan dalam hal ini banyak dipengaruh dengan keahliannya pada bidang Hadits, dan pemikirannya dalam bidang tasawuf dan fiqih yang sejalan dengan teologi al Asy’ari dan al Maturidi. Juga searah dengan pemikiran al-Ghazali, yang lebih menekankan pada pendidikan rohani. Misalnya belajar dan mengajar harus dengan ikhlas, semata-mata karena Allah, bukan hanya untuk kepentingan dunia tetapi juga untuk kebahagian di akhirat. Dan untuk mencapainya seseorang yang belajar atau mengajar harus punya etika, punya adab dan moral, baik si murid ataupun si guru sendiri.

Daftar Pustaka


Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al Ma’arif, 1989).

Al- Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, (Singapure: Sulaiman Mar’ie, t.th.)

Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendididkan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1979).

Fathiyah Hasan Sulaiman, Mazahib fi at Tarbiyah Bahtsun fi al Mazahibi at Tarbiyah ‘ind al Ghazali. Alih bahasa Said Agil Husin al Munawar dan Hadri Hasan, (Semarang: Toha Putra, 1975).

Khairul Fathoni, Muhammad Zen, NU Pasca Khittah, Porspek Ukhuwah Dengan Muhammadiyah, (Yogyakarta: Media Widya Mandala, 1992).

Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama , Biografi K.H.Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LKIS, 2000).

Maksum Machfoedz, Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama, (Surabaya: Yayasan Kesatuan Umat, 1982).

Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002).

Pradjata Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, (Yogyakarta: UKIS, 1999).

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982).
*Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan sedang mengikuti Program Pasca Sarjana di IAIN Antasari Banjarmasin.
[1]Zamakhsyari Dhotier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), h.85-88.

[2]Khoirul Fathoni & Muhamad Zen, NU Pasca Khittah, (Yogyakarta: Media Widia Mandala, 1992),h.25
[3]Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, (Singapura: Sulaiman Mar’ie, t.th.), h.45-50.
[4]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002,) h.152.
[5]Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama, Biografi K.H.Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LKIS, 2000), h.14.
[6]Ibid, h.16.
[7]Ibid. h.18.
[8]Samsul Nizar, op.cit., h.54.
[9]Lathiful Khuluq, op.cit, h.21.
[10]Samsul Nizar, op. cit., h.155-157.
[11]Ibid., h.158.
[12]Ibid, h.159.
[13]Ibid., h.161.
[14]Lathiful Khuluq, op. cit, h.55-61.
[15]Samsul Nizar, op. cit, h.162.
[16]Ibid., h. 163-165.
[17]Ibid., h.165-166.
[18]Ibid., h.167-168.
[19]Fathiyah Hasan Sulaiman, Mazahib fi at Tarbiyah Bahtsun fi al Mazahibi at Tarbiyah ‘ind al Ghazali. Alih bahasa Said Agil Husin al Munawar dan Hadri Hasan, (Semarang: Toha Putra, 1975), h.18.
[20]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al Ma’arif, 1989), h.19.
[21]Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendididkan Islam, (Bandung: Bulan Bintang, 1979), h.167.
[22]Al Ghazali, op.cit., h.49.

Terimakasih Bu Rusdiana Hamid